Sabtu, 02 Februari 2008

KPU BARU

Quo Vadis KPU : di bawah kendali anggota baru

Oleh : Achmad Aris

Kelembagaan KPU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan salah satu komisi independen/ekstra struktural/non-partisan bentukan pemerintah yang berfungsi sebagai lembaga penyelenggara Pemilu. Pendirian KPU mengacu pada UU No 4 tahun 2000 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen dan nonpartisan. Sebelumnya, Pendirian KPU mengacu pada UU No 3 tahun 1999 tentang Pemilu dimana keanggotaan KPU dijabat oleh para fungsionaris dan aktivis partai politik (partisan) peserta pemilu. Akibatnya, dalam kondisi tersebut unsur kepentingan parpol sangat mendominasi setiap kegiatan dan keputusan KPU yang berujung sering terjadinya deadlock. Atas dasar itulah maka kemudian dilakukan perubahan dimana keanggotaan KPU hanya boleh dijabat oleh orang-orang yang independen dan nonpartisan.

KPU mempunyai otoritas dan tanggung jawab dalam mekanisme pelaksanaan Pemilu dimana secara normatif KPU mengacu pada UU pemilihan Umum yang telah ditetapkan oleh DPR. Logika sederhananya adalah KPU tidak lain hanya sebagai even organizer yang bertugas menyelenggarakan hajatan pesta demokrasi (pemilihan umum) untuk memilih Anggota DPR/DPD/DPRD, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Anggotanya pun dipilih lima tahun sekali menyesuaikan dengan waktu pelaksanaan pemilu. Signifikansi Pemilihan Umum yang didalamnya berlangsung proses rotasi kekuasaan baik ditingkat legislatif maupun eksekutif dan posisi strategis KPU sebagai lembaga yang menjalankan penyelenggaraan proses tersebut menjadikan KPU cenderung politis.

Kelembagaan KPU yang independen dan secara struktural bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden dituntut harus mampu menjaga independensinya dalam rangka penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. Meningkatnya suhu politik jelang pelaksanaan pemilu praktis akan berpengaruh pada kinerja KPU. Dalam kondisi seperti ini, integritas KPU sebagai lembaga yang independen diuji. Meskipun KPU pasca dikeluarkannya UU No 4 tahun 2000 tampil dengan wajah baru yang lebih netral dan nonpartisan namun tidak ada jaminan bahwa para anggotanya bersih dari intervensi para elit politik.

KPU bisa dibilang menjadi lembaga yang masuk dalam kategori “green area” bagi konflik kepentingan baik secara internal maupun eksternal. Proyek pengadaan barang cenderung menjadi ruang apresiasi anggota KPU untuk melakukan korupsi. Beberapa contoh kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota KPU seperti kasus korupsi Mulyana W Kusumah dan Nasarudin Syamsudin membuktikan terjadinya anomali ditubuh KPU. Di sisi lain, kelembagaan KPU yang bersinggungan dengan wilayah politik menjadikan lembaga ini gampang terkontaminasi dan cenderung berubah bentuk menjadi politis pula. Beragam bentuk intervensi seperti money politic , pressure kebijakan dari para kontestan pemilu menjadi sebuah kelaziman yang sering terjadi. Lembaga yang seharusnya menjadi lokomotif penyelenggara pemilihan umum yang jujur dan adil sering mengalami disorientasi berubah menjadi lembaga yang menjadi kepanjangan tangan dari elit-elit politik tertentu. Tidak heran jika kemudian keputusan KPU terutama KPUD sering kontroversial dan dianggap memihak kubu politik tertentu.

Integritas Anggota KPU Baru

Proses seleksi anggota KPU yang oleh sebagian pihak dianggap cacat tentunya menjadi polemik tersendiri di tengah perdebatan mengenai kelembagaan KPU. Terlebih, mantan pejabat KPU lama banyak yang tersandung kasus dugaan korupsi dalam proses pengadaan barang. Proses seleksi yang dilakukan oleh Pansel KPU menjadi tahapan awal bagi konflik kepentingan. Hal ini terjadi karena KPU hanya merupakan organ mati yang kesemua arah kebijakannya ditentukan oleh aktor-aktor yang menduduki jabatan sebagai anggota. Artinya, Orientasi kebijakan KPU menjadi variable dependen dari aktor yang menjalankannya. Oleh karena itu, tidak heran jika kemudian proses seleksi anggota KPU terkesan sangat politis dan penuh dengan intrik-intrik politik untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Kasus tidak lolosnya mantan anggota KPU lama seperti Ramlan Surbakti, peneliti CSIS Indra J. Piliang dan kasus penjegalan calon anggota KPU Theofilus Waimuri oleh Komisi II DPR RI serta di anulirnya keanggotaan Syamsul Bahri merupakan beberapa contoh terjadinya intrik-intrik politik dalam proses seleksi anggota KPU.

Serangkaian seleksi yang dilakukan oleh Pansel KPU untuk menjaring anggota KPU yang memiliki kwalitas dan integritas tinggi, akan menjadi sia-sia ketika kualitas dan integritas tersebut tidak murni datang dari pribadi si anggota KPU. Buktinya, anggota KPU lama yang berasal dari kalangan akademisi justru korup. Yang dibutuhkan oleh anggota KPU bukanlah status akademik gelar doktor, Profesor atau pengalaman puluhan tahun melainkan yang dibutuhkan adalah integritas, profesionalitas serta loyalitas dalam mengemban tugas yang telah diberikan. Memang benar adanya jika kekuasaan akan cenderung membawa orang untuk berbuat korupsi (power tend to corrupt). Fakta membuktikan bahwa Akademisi sekelas Professor Nazaruddin Syamsuddin dan Mulyana W Kusumah yang awalnya dianggap cukup mampu menjaga reputasi pun akhirnya terbukti tidak mampu menjaga diri untuk tidak korupsi. Apalagi figur-figur anggota KPU yang baru terpilih sebagai tim KPU saat ini terbilang sangat miskin pengalaman sehingga wajar apabila integritas mereka diragukan. Terlebih ke depan, kinerja mereka pasti akan dihadapkan pada godaan dan tantangan korupsi yang memang sudah membudaya (corrupt culture) baik itu dalam bentuk proyek tender pemilu ataupun money politic.

Meskipun proses seleksi anggota KPU baru banyak menuai kontoversi, namun proses seleksi tersebut tetap berjalan dan berhasil mengukuhkan 6 figur kandidat sebagai anggota KPU yang baru. Adapun profil anggota KPU baru tersebut sebagai berikut :

No

NAMA

UMUR

JABATAN

PROFIL

1

Prof Abdul Hafiz

Anshary AZ MA

51

KETUA

· Meraih gelar Doktor bidang sejarah peradaban Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

· Guru Besar IAIN Antasari Banjarmasin

· Mantan Ketua KPU Provinsi Kalimantan Selatan

· Pernah mencalonkan diri sebagai wakil gubernur pada Pilkada Gubernur Kalsel 2005

· Mantan Ketua KPU Provinsi Kalimantan Selatan 2003-2005

· Ketua Umum Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK) Jakarta (1991-sekarang)

· Ketua MUI Kalimantan Selatan (1996-2011)

2

Sri Nuryanti SIP MA

37

Anggota

· S1 Ilmu Pemerintahan di UGM Yogyakarta

· Meraih gelar master dari Australia National University tahun 2001

· Peneliti LIPI khusus bidang politik

· Aktif sebagai peneliti bidang politik di LIPI

· Salah satu pendiri sekaligus peneliti di the Ridep Institute

· Aktif memberikan pendidikan politik lewat training dan maupun lewat media massa

3

Dra Endang Sulastri Msi

42

Anggota

· Meraih gelar sarjana dari Fisip UGM (1991) dan gelar master dari Fisip UI (2003)

· Wakil Dekan Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta

· Aktif dalam organisasi ICMI

· Aktif dalam Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan dan PP Nasyiatul Aisyiah

· Dosen di FIKOM UMB dan STIP Abdi Negara

· Anggota Tim Pokja Partisipasi Politik Perempuan pada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia

· Anggota Tiim Asistensi Hukum dan Politik PP Dian Kemala PP Polri

· Menjadi fasilitator pada pendidikan pemilih sejak tahun 1998 sampai kepada pendidikan untuk calon anggota legislatif perempuan

· Sering menjadi pemateri dalam diskusi dan seminar mengenai politik, Pemilu dan Pemilu Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

4

I Gusti Putu Artha SP Msi

41

Anggota

· Menyelesaikan pendidikan S1 di jurusan pertanian dan S2 program studi kajian budaya di Universitas Udayana, Bali

· Pernah menjadi produser dan presenter Bali TV (2001-2002) dan redaktur pelaksana Denpasar Pos (1998 - 2003)

· Anggota KPU Provinsi Bali periode 2003-2008

· Aktif menjadi pembicara dan penulis dalam bidang pers dan jurnalistik

5

Dra Andi Nurpati, MPd

41

Anggota

· Pendidikan sarjana diselesaikan di IAIN Alaudin Makassar (1992) dan gelar master di bidang pendidikan (2006) dari Universitas Lampung

· Guru pembina Madrasah Aliyah Negeri I Kota Lampung

· Menjadi dosen luar biasa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Lampung, IAIN Raden Inten Bandar Lampung

· Mantan anggota Panwas Provinsi Lampung (2004) dan Ketua Panwas Pilkada Kota Lampung (2005)

· Sekretaris Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi) Lampung 2004-2008 dan anggota Perludem Pusat (2004-2008)

· Aktif menjadi narasumber seminar, diskusi, dialog tentang politik, Pemilu dan peran perempuan dalam bidang politik, sosial dan kemasyarakatan

6

H Abdul Azis MA

53

Anggota

· Menyelesaikan pendidikan sarjananya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981) dan gelar master dari Monash University (1992)

· Peneliti Senior Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat Departemen Agama RI

· Direktur Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah

· Menghasilkan sejumlah karya ilmiah di bidang keagamaan yang sudah dipublikasikan antara lain : Islam Kontemporer (1988), Orientasi Keagamaan Pada Masyarakat Yang Sedang Berubah (1996), Biografi Menteri-menteri Agama (1998), Esei-esei Sosiologi Agama (2003, Islam Dan Masyarakat Betawi (1998), serta artikel lepas baik di surat kabar maupun majalah seperti Gatra

Source : data diolah dari berbagai sumber

Jika dilihat dari profil keenam anggota KPU baru diatas, memang menunjukkan masih minimnya pengalaman yang mereka miliki dalam teknis penyelenggaraan pemilu. Bahkan ada beberapa anggota KPU baru yang tidak memiliki pengalaman praksis dibidang penyelenggaraan pemilu seperti H Abdul Azis MA dan Sri Nuryanti SIP MA. Meskipun variable exsperience bukan satu-satunya penentu kualitas kinerja mereka, akan tetapi setidaknya itu akan menjadi starting point bagi kerja mereka ke depan sehingga tidak lagi menggunakan pola ”learning by doing”. Dengan kata lain, anggota KPU baru bisa langsung tancap gas mengingat sudah semakin dekatnya waktu pelaksanaan pemilu 2009.

Memang hampir semua kalangan pesimistis terhadap integritas yang dimiliki oleh anggota KPU baru saat ini. Ini terjadi karena, proses rekruitmennya yang dianggap cacat dan sosok figur yang lolos seleksipun dianggap tidak kredibel. Bahkan satu dari tujuh calon anggota KPU yang hendak dilantik terindikasi terkait kasus dugaan korupsi proyek Kawasan Industri Perkebunan Masyarakat (Kigumas) Kabupaten Malang senilai Rp

1,032 M

pada tahun 2003 yaitu saudara Syamsul Bahri. Ironis sekali dimana calon yang telah lolos dari serangkaian seleksi ternyata mempunyai track record yang buruk dan itupun baru diketahui setelah yang bersangkutan dinyatakan lolos seleksi. Minimnya pengalaman yang mereka miliki dan integritas yang belum teruji dimuka publik ditambah lagi dengan sistem birokrasi yang masih korup akan berpotensi kuat menggiring mereka untuk mengulangi kesalahan para pendahulunya. Pada akhirnya waktu juga lah yang akan membuktikan integritas dan kredibilitas serta profesionalitas mereka, apakah mereka mampu menjalankan job desk dengan baik atau justru akan terperosok pada lubang yang sama.

Anggaran KPU

Baru-baru ini, personil KPU baru mengusulkan anggaran pemilu 2009 sebesar Rp 47,9 trilliun dikarenakan sebagai konsekuensi atas pengaturan UU no 27 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu dimana disebutkan bahwa anggaran pemilu hanya berasal dari APBN meskipun ada kemungkinan dibantu dari APBD. Berbeda dengan pemilu 2004 yang secara implisit menyebutkan bahwa anggaran pemilu berasal dari APBN dan APBD. Besarnya nilai anggaran yang diajukan jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran pemilu 2004 yang hanya Rp 8 Trilliun sehingga secara otomatis usulan ini menimbulkan polemik tersendiri terkait polemik soal kelembagaan KPU dan integritas anggotanya. Nominal yang cukup besar yaitu hampir sepuluh kali lipat dari anggaran pemilu 2004. Lebih jauh lagi, usulan ini berpotensi menjadi blunder bagi anggota KPU baru dikemudian hari.

KPU berargumen bahwa jumlah rencana anggaran KPU sebesar Rp 47,9 trilyun yang dilansir media merupakan penjumlahan rencana anggaran tahun 2008 dan tahun 2009. Jadi, bukan hanya tahun anggaran 2009 saja melainkan merupakan penjumlahan dari rencana anggaran yang dibiayai APBN yang direncanakan sebesar Rp 22,3 trilyun dan prediksi anggaran yang dikeluarkan APBD sebesar Rp 25, 6 trilyun rupiah. Penjumlahan dilakukan oleh karena pendaan Pemilu 2009 menurut UU 22 Tahun 2007 ’’satu pintu’’ melalui APBN. Karena itulah, komponen-komponen yang dibiayai APBD dimasukkan dalam penghitungan. Berbeda halnya dengan anggaran Pemilu 2004 yang dihitung secara terpisah dimana hanya sebesar Rp 8 triliun dari APBN. Namun apabila berdasarkan penjumlahan anggaran APBN dan APBD, total biayanya (2003 dan 2004) mencapai Rp 56 trilyun.

Perbandingan anggaran Pemilu 2004 dan 2009

No

Sumber Anggaran

Tahun Anggaran

2003

2008

2004

2009

1

APBN

2,3 Triliun

8,2 Triliun

4,6 Triliun

14,1 Triliun

2

Perkiraan APBD

16,6 Triliun

10,3 Triliun

32,3 Triliun

15,2 Triliun

Jumlah

18,9 Triliun

18,6 Triliun

36,9 Triliun

29,3 Triliun

Perkiraan Efisiensi

377,9 Miliar

7,5 Triliun

Total anggaran 2003/2004

56 Triliun

Total anggaran 2008/2009

47,9 Triliun

Selisih

8,1 Triliun

Source : Di olah dari Pernyataan Pers KPU

Atas dasar perhitungan penggabungan tersebut, maka sebenarnya anggaran pemilu 2009 sebesar Rp 47,9 Trilliun yang diajukan KPU justru lebih hemat dibandingkan dengan anggaran pemilu 2004 yaitu sekitar Rp 8,1 Trilliun. Walaupun begitu, ditengah kondisi bangsa saat ini jumlah anggaran yang diusulkan KPU terbilang sangat besar apalagi dana tersebut hanya dipergunakan sebagai seremonial pelaksanaan pesta demokrasi yang hasilnya pun belum tentu sebanding dengan ongkos yang dikeluarkan. Buktinya, pemilu 2004 yang menghabiskan total biaya sekitar Rp 55,6 Trilliun tidak mampu menghasilkan pemimpin yang bisa membawa negeri ini keluar dari keterpurukan.

Meskipun pada akhirnya anggaran pemilu 2009 yang disepakati oleh pemerintah hanya Rp 10,4 Trilliun. Akan tetapi angka tersebut masih berupa perhitungan kasar karena angka pastinya masih menunggu keputusan dari DPR yang sedang menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Namun diharapkan jumlah anggaran yang ditetapkan tetap menjunjung tinggi prinsip efisiensi sebagaimana yang dipesankan oleh Wapres JK. Penciutan anggaran pemilu perlu dilakukan untuk mengefisiensikan anggaran pemilu agar tidak terlalu boros dan terkesan mahal karena yang dinilai dari keberhasilan sebuah proses pemilu adalah outputnya bukan besar kecilnya anggaran. Terlebih ditengah kondisi bangsa yang masih dalam proses pemulihan seperti saat ini dimana masih banyak pos-pos anggaran lain yang lebih membutuhkan.

Analisis

Kompleksitas permasalahan yang tengah dihadapi oleh KPU mulai dari kelembagaan, integritas anggota dan efisiensi anggaran pemilu akan menjadi tantangan berat bagi kinerja KPU kedepan. Pertama, Citra kelembagaan KPU tidak bisa dipisahkan dari citra para komisioner/anggotanya. Ini bisa dilihat dari perubahan landasan hukum pendirian KPU dari UU No 3 tahun 1999 beralih kepada UU No 4 tahun 2000 dimana syarat keanggotaannya harus berasal dari nonpartisan. Walaupun perubahan sudah dilakukan namun kelembagaan KPU hingga saat ini masih dianggap tidak independen. KPU cenderung menjadi lembaga yang politis. Skandal kasus korupsi yang melibatkan anggotanya semakin mencoreng citra lembaga penyelenggara pemilu ini. Anomali yang terjadi ditubuh KPU tidak terlepas dari kuatnya konflik kepentingan yang terjadi baik dari internal KPU sendiri maupun dari eksternal KPU.

Kedua, pentingnya integritas dan profesionalits anggota KPU berfungsi dalam implementasi tugas penyelenggaraan pemilu, sehingga menghasilkan proses pemilu yang benar-benar menjunjung tinggi azas langsung umum bebas dan rahasia serta jujur dan adil (luber/jurdil). Proses seleksi anggota KPU yang dinilai diluar norma kewajaran dimana pansel menggunakan metode atau mekanisme yang berbeda dalam proses seleksinya merupakan penyebab munculnya pesimistis publik terhadap output yang dihasilkan. Oleh karena itu, sosok anggota KPU baru saat ini yang integritasnya masih dipertanyakan ditambah lagi secara exsperience nya masih minim dikhawatirkan akan menjadi batu sandungan bagi kinerja KPU ke depan.

Ketiga, usulan anggaran pemilu 2009 oleh KPU sebesar 47,9 Triliun justru akan menjadi blunder bagi KPU, ditengah krisis kelembagaan KPU dan integritas anggotanya. Pasalnya, anggaran tersebut dinilai terlalu besar sehingga muncul anggapan publik bahwa ini merupakan pemborosan anggaran. Meskipun usulan tersebut atas dasar pertimbangan yang rasional namun menjadi tidak rasional ditengah jargon efisiensi anggaran yang dikampanyekan pemerintah saat ini. Seiring dengan gencarnya pemekaran daerah dan kenaikan inflasi yang menyebabkan taraf kebutuhan hidup juga semakin meningkat, memang sudah sewajarnya jika KPU mengusulkan anggaran pemilu yang terbilang cukup besar. Namun hal tersebut dalam konteks saat ini masih bisa diatasi dan belum menjadi kebutuhan yang mendesak. Artinya, efisiensi anggaran masih dapat dilakukan tanpa harus mengurangi substansi dari pada penyelenggaraan pemilu.

Polemik ditubuh KPU yang terus bergulir, ditambah lagi pembahasan RUU pemilu yang hingga saat ini belum selesai membuat semakin kompeks permasalahan. Pada satu sisi, KPU dituntut segera beraksi namun disisi lain aturan hukumnya belum selesai dibahas. Meskpun demikian, kondisi ini justru menjadi entry point sekaligus tantangan bagi anggota KPU baru untuk menunjukkan kemampuannya guna mematahkan anggapan miring dan pesimistis banyak pihak mengenai kredibilitas, profesionalitas dan integritas anggota KPU baru.

Tidak ada komentar: