Sabtu, 02 Februari 2008

Neoliberalisme

HEGEMONI NEOLIBERALISME
Oleh : M. Danial Nafis

Dinamika ekonomi politik Internasional,sampai saat ini sangatlah tidak bisa lepas dari kompleksitas interest conflict antar negara bangsa (state actor), interest capital and profit Multi National Corperations (MNC’s) hingga non state actor lainnya (NGO’s dan interest players). Adapun posisi kontemporer pada era saat ini,dominasi negara (state led development) secara radikal digeser oleh dominasi pasar bebas (market driven development),yang dalam beberapa dekade terakhir seringkali menjadi perdebatan yang sangat krusial dan memunculkan konskwensi-konskwensi logis terhadapa sosial-ekonomi-politik dan budaya dunia.

Pergeseran relasi dunia Internasioanal yang didominasi mazhab free market-neoliberal- optimum pareto dengan asas laissez faire-nya mengundang banyak kontroversi baik dari teori hingga ketimpangan kebijakan yang diterapkan oleh unholy trinity-rezim kapitalisme internasional ; International Monetary Fund (IMF), World Bank dan World Trade Organiztioan (WTO) yang tidak lebih merupakan lokomotif dan perangkat hegemoni kepentingan negara-negara industri maju.

Hegemoni Neoliberalisme

Bukti konkrit dominasi keuntungan oleh negara-negara maju terhadap negara berkembang dan dunia ketiga dalam relasi ekonomi politik internasional, dapat dilihat dari seringkalinya negara-negara maju menggunakan lembaga Internasional (unholy trinity) seperti dalam bidang investasi pembangunan dunia melalui kedok Bank Dunia (World Bank),bidang keuangan moneter internasional dengan IMF dan bidang perdagangan melalui World Trade Organization (WTO).

Hal ini dapat dilihat misalnya dari struktur keanggotaan dalam 184 negara anggota Bank Dunia, 150 negara berkembang di antaranya hanya memiliki kekuatan suara 33 persen. Sementara itu 34 negara maju di dalamnya memiliki kekuatan suara sebesar 67 persen suara hal ini menunjukkan dominasi struktur kepemilikan saham Bank Dunia,maka tidaklah mengherankan kebijakan yang lahir dari Bank Dunia, tidak lebih laksana koorporasi raksasa yang melahirkan kebijakan ”memfasilitasi” kepentingan pemegang saham terbesar. Mulai dari struktur kebijakan hingga penunjukan perusahaan rekanan Bank Dunia yang memiliki afiliasi terhadap negara maju.

Kebijakan penerapan pemberian utang berkedok bantuan luar negeri berupa proyek pembangunan maupun program kebijakan seringkali digunakan sebagai kontrol ekonomi dan politik negara maju terhadap negara penerima bantuan,hal ini dapat dilihat dari penerapan kebijakan Bank Dunia yang cenderung mendorong deregulasi,pencabutan subsidi ranah publik,perluasan pasar bebas, non proteksi, liberalisasi perbankan,regulasi dan liberalisasi briokrasi dan konstitusi (berbungkus program good governance) yang kesemuanya merupakan penerapan prinsip Washingthon Consensus (Baswir : 2003)

Kebijakan Moneter internasional yang dilakukan oleh IMF pada krisis yang menerpa Mexico dan Amerika Latin hingga krisis Keuangan Asia pada akhir tahun 90’an, yang dalam hal ini Indonesia mengalami krisis terparah, dapat dijadikan contoh sangat relevan, bagaimana peran-peran negara maju (Amerika, Uni Eropa dan Jepang sebagai pemegang saham mayoritas IMF) mendorong kebijakan liberalisasi segala sektor. IMF dengan resep ”mujarab” yang mematikan. Resep Structural Adjustment Program (SAP) atau dapat juga disebut sebagai program liberalisasi seluruh lini sektor-minimalisir peran negara,SAP diterapkan oleh IMF untuk atasi krisis moneter yang berkembang secara membabi buta, hingga menyebabkan krisis yang semakin berkelanjutan.

Secara umum, program penyesuain struktural (SAP) tersebut terdiri dari beberapa elemen. Pertama, pengurangan secara radikal pengeluaran pemerintah atas biaya kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan (pemotongan subsidi). Kedua, privatisasi dan deregulasi perusahaan-perusahaan negara. Ketiga, devaluasi mata uang. Keempat, liberalisasi impor dan menghaspuskan hambatan­-hambatan yang membatasi investasi asing. Kelima, memangkas upah dan menghapuskan atau melemahkan mekanisme-mekanisme perlindungan tenaga kerja (Danaher : 2001).

Penerapan SAP oleh IMF, diawali dengan pemberian suntikan dana moneter,salah satunya melaui mekanisme Utang Luar Negeri. Ketika Indonesia dan negara-negara miskin dan berkembang lainnya mengalami krisis ekonomi pada tahun 1990-an, pemerintah Amerika Serikat bekerjasama dengan pemerintah dari negara-negara maju lainnya, menekan negara-negara berkembang untuk masuk ke dalam paradigma pasar bebas sebagai sebuah kondisi atau syarat untuk mendapatkan pinjaman atau utang. Meskipun negara-negara berkembang tersebut menyadari bahwa kondisionalitas dalam bentuk structural adjustment program (SAP) tersebut merupakan sebuah bentuk baru dari imprialisme kapitalis, namun mereka tidak memiliki pilihan lain dan pemikiran dari para perumus kebijakan telah terkonstruksi oleh gagasan neoliberal ini, maka mereka harus mengikutinya jika ingin mendapatkan utang dengan dalih untuk pembiayaan pembangunan dan mencapai pertumbuhan. Dalam proses ini IMF berperan sebagai lembaga yang mengawasi dan memastikan diterapkannya kebijakan-kebijakan tersebut, dan Bank Dunia melakukan dorongan diberlakukannya reformasi serupa melalui kedok utang atau pinjaman yang dikondisikan untuk melahirkan kebijakan berorientasi kepada program penyesuaian struktural, dalam bentuk liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.

Dalam konteks ke Indonesian terhitung sejak 1950, pemerintah Indonesia memiliki dua jenis utang, yaitu utang luar negeri warisan pemerintah Hindia Belanda sebesar US$ 4 miliar dan utang luar negeri baru sebesar Rp. 4,5 miliar, pada era Soekarno utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar US$ 6,3 miliar, pada saat kejatuhan Soeharto, jumlah utang luar negeri Indonesia membengkak menjadi US$ 54 miliar. Prestasi besar dicatat oleh pemerintahan Habibie. Dalam tempo dua tahun, pemerintahan Habibie berhasil menambah utang luar negeri Indonesia sebesar 23 miliar dollar AS menjadi US$ 77 miliar. Penambahan utang ini terus berlanjut sampai ke pemerintahan berikutnya. Maka tidak heran kalau akhirnya pembayaran utang luar negeri Indonesia terhadap lembaga Keuangan Internasional (World Bank, Asia Develoment Bank (ADB), IMF dll) dan Negara-negara kreditor yang notabene Negara maju menyedot hampir 27-30% dari APBN hingga hari ini.

Karakteristik utang luar negeri yang dipenuhi oleh beragam kondisionalitas, pemenuhan kondisi oleh pemerintah di negara pengutang dalam rangka memperoleh tambahan dana untuk menutup defisit neraca pembayaran dalam bentuk kebijakan liberalisasi, privatisasi, dan pemotongan subsidi yang pada dasarnya lebih mencerminkan kepentingan negara kreditor, dan karakter utang yang bersifat elites alliance, kolaborasi antar elit dalam mekanisme pertanggungjawaban antar elit dan bukan kepada rakyat, telah berujung pada semakin terpuruknya kehidupan rakyat

Kritik Strukturalisme

Dalam perspektif paham strukturalisme, baik strukturalisme awal maupun neostrukturalisme, adanya konsepsi menolak ketimpangan-ketimpangan struktural sebagai sumber ketidakadilan sosial-ekonomi. Ketimpangan-ketimpangan struktural yang menyangkut pemusatan, penguasaan dan pemilikan aset dan sumber ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan, produktivitas dan kesempatan ekonomi, serta ketimpangan-ketimpangan dalam kelembagaan pemerintah, partisipasi dan emansipasi sosial-ekonomi, kemiskinan dan pengangguran struktural, merupakan pusat perhatian dan kepedulian kaum strukturalis.

Apabila strukturalisme cenderung menolak mekanisme pasar-bebas adalah karena pasar-bebas seringkali mengakibatkan ketidakadilan relasi sosial-ekonomi suatu negara bangsa,yang seringkali diakibatkan oleh dominasi dan hegemoni negara-negara maju (Swasono: 2002)

Inilah yang kemudian menjadi daya kritik kaum strukturalis, ketika melihat free market-neoliberal sebagai mazhab ekonomi politik Internasional Negara-negara maju melakukan proses dominasi global,yang akhirnya menyebabkan gaps antara kelas elit, menengah hingga rakyat bawah dalam jurang kemiskinan yang dalam. Maka tidaklah heran, jika ungkapan Frank (1984) mengumpamakan hubungan hubungan negara-negara industri Barat dengan non-industri dunia ketiga sebagai rangkaian hubungan dominasi dan eksploitasi antara metropolis dengan satelit-satelitnya. Ketergantungan Negara berkembang terhadap Negara maju sangatlah begitu kuat, pemaksaan dan penerapan mazhab strategi subtitusi import yang cenderung,memaksa Negara berkembang dan dunia ketiga mengekspor raw material terhadap Negara maju dan menerima limpahan paksa produk pasar dan masal dari Negara maju, baik teknologi maupun material perindustrian.

Setidaknya strukturalis mencoba melihat dari sudut pandang negara berkembang dan dunia ketiga. Tujuan ekspansi, dominasi dan hegemoni tersebut ke negara ketiga pada mulanya hanyalah untuk meluaskan pasar produknya yang sudah jenuh dalam negeri sendiri, serta untuk pemenuhan bahan baku. Namun, pada pekembangan lebih jauh, ekspansi kapitalis ini adalah berupa cara-cara produksi, sampai pada struktur ekonomi, dan bahkan idelologi dan budaya.

Struktur ketergantungan secara bertingkat mulai dari negara pusat sampai periperi disampaikan oleh Galtung (1980). Imprialisme neoliberal ditandai satu jalur kuat antara pusat di pusat dengan pusat di periperi (cC-cP).

Asumsi ini berdasar teori ketergantungan (dependensia), yang menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non Barat, atau industri dan negara ketiga,utara-selatan), dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan dan tidak lebih merupakan bentuk imprialisme baru. Keterbelakangan adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem standarisasi Negara maju penganut kapitalisme-neoliberal.

Karakteristik struktur ekonomi internasional tersebut,memungkinkan negara yang memiliki power yang dominan untuk menciptakan aturan-aturan yang mengendalikan aktifitas-aktifitas ekonomi internasional dalam rangka memenuhi kepentingan-kepentingan yang dimilikinya. Sebagai akibatnya terciptalah pola hubungan yang bersifat asimetris di antara negara hegemon dengan negara lainnya, yang berujung pada ketergantungan negara dunia ketiga kepada negara hegemon, baik itu dari segi ekonomi maupun politik, bahkan tidak jarang perubahan pada struktur domestik sebuah negara yang tergantung ditentukan oleh pola hubungan yang asimetris tersebut.

Bahkan secara ekstrim John Gallagher dan Ronald Robinson dalam artikel "The Imprialism of Free Trade", menulis bahwa cara seperti inilah yang disebut "kebijakan penjajahan". Kebijakan itu misalnya kini disebut: "penciptaan ekonomi terbuka, privatisasi, proteksi hak-hak investor luar negeri, aturan tentang ekspor bahan mentah,dll. Semua strategi ekonomi ini, biasanya diterapkan IMF pada negara peminjam dan akrab dengan telinga kita di Indonesia yang sudah terperangkap strategi "The Imperealism of Free Trade" Amerika Serikat (Habibie center: 2004)

State-Building, Sebuah Upaya Memperkuat Peranan Negara

The end of history, yang ditandai oleh kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal, menurut Fukuyama bukanlah merupakan sebuah proses yang otomatis, tetapi memerlukan perjuangan untuk mencapainya. Penyebaran asas-asas kapitalisme dan demokrasi liberal Barat secara universal ke berbagai wilayah di dunia tidaklah berjalan dengan sangat lancar, dan bahkan seringkali menemui hambatan atau yang paling ekstrem adalah terjadinya perbenturan. Fenomena negara yang “gagal” atau lebih sering dikenal dengan istilah failed-state dan kemunculan ancaman terorisme merupakan permasalahan yang muncul sebagai hasil dari penyebaran asas-asas kapitalisme dan demokrsi liberal Barat tersebut.
Dunia modern menawarkan sebuah paket yang sangat menarik, mengkombinasikan kesejahteraan material dari ekonomi pasar dengan kebebasan politik dan budaya dari demokrasi liberal. Akan tetapi modernitas liberal Barat ini dirasakan sangat sulit untuk dicapai oleh banyak masyarakat di berbagai belahan dunia ini. Bahkan tidak jarang upaya sebuah negara untuk menerapkan asas-asas ekonomi pasar dan demokrasi liberal yang sangat menarik tersebut malah membuahkan persoalan baru yang sangat pelik bagi mereka.


Pada tahun 1980-an dan 1990-an, pengurangan atau upaya untuk mengurangi ukuran dari negara atau pemerintah merupakan kecenderungan yang sangat dominan. Sebagai respon dari trend ini, institusi financial internasional seperti IMF dan Bank Dunia, sebagaimana juga halnya dengan pemerintah Amerika Serikat, memberikan tawaran yang menekankan pada pengurangan tingkat campur tangan negara dalam urusan ekonomi, dalam bentuk sebuah paket yang diberi label “Washington Consensus” yang diformulasikan atas asumsi “neoliberalisme”. Logika dari consensus Washington ini terletak pada keberadaan sektor negara di banyak negara berkembang di dalam banyak kasus merupakan hambatan bagi tercapainya pertumbuhan dan persoalan ini hanya dapat diselesaikan melalui apa yang mereka sebut sebagai liberalisasi ekonomi. Namun kenyataan yang terjadi, upaya liberalisasi ekonomi ini tidak membuahkan hasil seperti yang dijanjikan. Ketiadaan sebuah kerangka kerja institusional dari dimensi negara atau pemerintah di banyak negara, malah menghasilkan kehancuran setelah liberalisasi dilakukan.


Di sisi lain, masih dalam upaya penyebaran asas kapitalisme dan demokrasi liberal, pada periode yang sama, muncul kecenderungan untuk melakukan desentralisasi dalam konteks federalisme seperti yang terjadi dalam demokrasi liberal Barat. Logika dari upaya ini adalah pengambilan keputusan yang terdesentralisasikan akan menjadikannya lebih dekat dengan sumber informasi lokal dan karenanya menjadi lebih responsif pada kondisi dan perubahan di dalam lingkungan lokal. Pengambilan keputusan dapat dilakukan secara lebih cepat jika dapat dilakukan pada level lokal, dan ketika hal ini disebarkan ke dalam sejumlah unit yang lebih besar, maka akan terdapat kompetisi dan inovasi di antara unit-unit lokal tersebut. Dengan demikian, federalisme bermakna bahwa pemerintah menjadi lebih dekat dan lebih terjangkau oleh rakyat dalam konteks pelayanan, yang secara teoritis akan meningkatkan pertanggungjawaban dan legitimasi serta kualitas dari demokrasi. Akan tetapi, kenyataannya yang terjadi di banyak negara berkembang, upaya pendelegasian wewenang dari negara ke pemerintahan lokal seringkali bermakna pada penguatan elit-elit lokal dan jaringan patronase yang memungkinkan mereka memelihara kontrol atas urusan mereka sendiri, terhindar dari evaluasi eksternal. Di beberapa negara, seperti di Indonesia, upaya untuk menyebarkan otoritas ke pemerintahan lokal, malah berujung pada peningkatan ksempatan korupsi, di mana korupsi tidak hanya terjadi di puncak hirarki politik politik tetapi menyebar ke seluruh eselon.


Melihat keadaan seperti ini, Fukuyama berasumsi bahwa agenda state-building dengan cara memperkuat kapasitas institusional negara dan wacana resentralisasi dalam konteks pemberdayaan kapabilitas negara juga merupakan hal yang sangat penting. Dalam agenda pembangunan negara, ia memisahkan peranan negara menjadi dua bagian, yaitu scope atau cakupan dan strength kekuatan. Scope mengacu kepada fungsi-fungsi yang dijalankan oleh negara dan tujuan-tujuan yang diambilnya. Sedangkan strength lebih mengarah kepada kemampuan negara untuk merencanakan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan dan untuk menegakkan aturan-aturan hukum secara bersih dan transparan, atau dikenal juga dengan istilah kapasitas institusional atau kapasitas negara. Pemisahan ini sangat perlu dilakukan, menurutnya, karena seringkali terjadi kesalahpahaman di mana konsepsi strength tersebut seringkali digunakan untuk menyebut keduanya, baik itu scope ataupun strength itu sendiri.
Kapasitas negara atau kapasitas institusional memiliki kualitas yang beragam pada masing-masing fungsi yang dimiliki negara.

Pembangunan institusi negara menuju terwujudnya kapasitas yang efektif dalam menjalankan fungsi-fungsinya merupakan agenda dari state-building. Menurut Francis Fukuyama, kapasitas institusional dapat dipahami melalui sisi “supply” dan sisi “demand”. Dari sisi penawaran kapasitas institusional terkait dengan penciptaan institusi yang penting bagi pembangunan ekonomi dan bagaimana institusi seharusnya dirancang. Menurutnya terdapat empat aspek kenegaraan yang harus diperhatikan dalam upaya ini. Pertama, pengelolaan dan perancangan organisasional. Kedua, rancangan sistem politik. Ketiga, landasan legitimasi. Dan terakhir, faktor-faktor struktural dan kultural. Sisi penawaran ini kemudian harus ditopang oleh sisi permintaan atau demand, yaitu tuntutan dan dukungan dari rakyat di dalam suatu negara itu sendiri untuk perbaikan institusi secara internal, dan secara eksternal terdapat dukungan dari negara donor yang maju, bukan untuk memberikan institusi dengan kapasitas yang efektif, tetapi mendorong negara itu sendiri untuk menciptakan efektifitasnya sendiri.

Selama lebih dari satu generasi, kecenderungan di dalam politik dunia adalah untuk melemahkan peranan negara. Kecenderungan ini berasal dari alasan-alasan ekonomi dan normatif. Keberadaan negara-negara yang terlalu kuat dan agresif telah menghambat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan disfungsi dan inefisiensi. Karenanya, muncul kecenderungan untuk mengurangi ukuran dan sektor negara dan mengalihkannya kepada pasar atau kepada fungsi civil society. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi global telah mengikis otonomi dari negara-bangsa seiring dengan meningkatnya mobilitas informasi, modal, dan tenaga kerja. Akibatnya, muncul gagasan untuk mengurangi ruang lingkup negara-bangsa.

Namun periode pasca 11 September, telah menandai terjadninya pergeseran isu dalam politik global, yaitu tidak lagi mengenai bagaimana mengurangi peranan negara, tetapi sebaliknya mengenai bagaimana untuk membangun kekuatan negara. Isu utama yang dihadapi oleh negara-negara miskin dalam pembangunan ekonomi adalah ketidakberhasilan pembangunan institusi. Mereka tidak memerlukan negara yang terlalu luas dan besar peranannya, tetapi mereka membutuhkan negara yang kuat dan efektif dalam ruang lingkup yang terbatas dari fungsi-fungsi negara yang dibutuhkan. Upaya untuk memperkuat negara-negara ini melalui beragam bentuk nation-building merupakan tugas yang sangat vital bagi keamanan internasional. Upaya pembelajaran untuk membangun negara secara lebih baik sangat penting bagi masa depan tatanan dunia.

Di sisi lain, ketidakpastian akan entitas atau unit politik apakah yang akan menggantikan kekuatan kedaulatan negara-bangsa di dunia kontemporer, membuat kita tidak punya pilihan kecuali untuk kembali kepada kedaulatan negara-bangsa dan mencoba untuk memahami konsep ini sekali lagi, serta mempelajari cara mengenai bagaimana untuk memperkuatnya, namun bukan dalam pengertian bukan hanya semata kekuatan militer.

Penutup


Realitas hegemoni kebijakan ekonomi politik Negara maju melalui lembaga Internasional,cenderung memiskinkan rakyat negara dunia ketiga. Beban pembayaran Utang dan dampak liberalisasi dan pencabutan subsidi ranah public sector yang berikat langsung dengan rakyat bawah seperti liberalisasi pendidikan, privatisasi), jasa (kesehatan dan pendidikan) dan liberalisasi pertanian menyebabkan pemiskinan terjadi semakin progresif. Pemiskinan ini didorong terhadap ketergantungan dan hegemoni Negara-negara maju yang dikondisikan dalam struktur sistem kebijakan Negara dunia ketiga yang tidak lagi pro terhadap rakyat, dan peran Negara sekedar fasilitator tidak lagi sebagai regulator yang proteksionis (mensejahterkan).

Maka jelas apa yang dikemukakan oleh Raul Prebisch , pada dasarnya sistem ekonomi Internasional itu mengalami bias secara struktural yang lebih condong pada negara-negara industri dan berlawanan dengan kepentingan-kepentingan perkembangan dunia Selatan. Dampak dari liberalisme ekonomi adalah untuk mempertahankan dan memperkuat posisi negara-negara industri yang dominan, yaitu negara-negara yang berada di pusat sistem, dan untuk melanggengkan ketergantungan dunia terbelakang pada kebijakan – kebijakan ekonomi politik mereka (Lyn H.Miller : 2006).

Demikian pula yang diungkapkan Willian K.Tabb,secara lebih luas free market-neoliberal-imprialisme, juga melibatkan pengambilalihan kontrol ekonomi dan politik atas wilayah dan masyarakat lain, baik dengan kekuatan militer maupun dengan cara-cara yang lebih halus. adalah persoalan kebijakan dan praktik negara untuk memperluas kekuasaan dan dominasi, sering kali dengan menggunakan cara-cara ekonomi. Apresiasi terhadap hakekat kapitalisme sebagai sistem dunia dimana negara pusat memanfaatkan kekuasaan atas wilayah pinggiran, saling untuk memperoleh pengaruh dan kontrol, dan bekerjasama untuk menjadi yang terbaik, dengan menggunakan cara apapun (William K. Tab: 2006)

Wajar kiranya kaum strukturalis mulai menggunakan istilah-istilah keras untuk menyentak mind-set neoklasikal, seperti “turbo capitalism”, “greedy capitalism”, “new imperialism”, “the dangerous currents”, “the winner-takes-all market”, “the zero-sum society” dan “the winner-takes-all society”, dst dst. Jan Tinbergen mengatakan kepada saya (1992) bahwa lobang ozon makin besar karena kelakuan “the greedy capitalism”. Lebih lanjut Tinbergen mengatakan bahwa “the limits to growth" (Swasono:2002)

Akhirnya konklusi dari realitas ini menunjukkan, negara-negara maju (antagonist state) dalam frame strukturalis benar-benar mendominasi, mengkondisikan ketergantungan dan menyebabkan pemiskinan yang berkelanjutan pada Negara berkembang dan dunia ketiga. Kebijakan free market--Neoliberalisme yang segaris dengan globalisasi sekedar kepentingan total Negara-negara dan Kita perlu mengingat pula yang dikatakan oleh Henry Kissinger (Trinity College, 1998), bahwa “globalisasi adalah nama lain dari dominasi Amerika Serikat.” Friedman mengatakan “culturally speaking, globalization has tended to involve the spread (for better or worse) of Americanization.”

Sudah saatnya kita mencoba mengambil jalan alternative progresif yang lebih populis, menghadang kerakusan neoliberal-kapitalis, setidaknya dalam pandangan strukturalisme, peduli akan harkat manusia dalam lingkup moralitas ekonomi. Strukturalisme menolak homo economicus yang melahirkan akhlak homo homini lupus, menolak eksploitasi dan proses pemiskinan (impoverishment) sosial-ekonomi (Swasono:2002).

Cengkraman Neoliberalisme, hanya biasa dilawan dengan alternatif kekuatan solidaritas nasional dan penguatan kapasitas Negara (state building) yang berbasiskan populisme dus popular movement dan kearifan profetis. Kebangkitan dan pembebasan dari Rezim internasional dan subordinasi Imprialisme mesti dibendung dengan nasionalisme demokratik popular, bukan sekedar nasionalisme elitis yang sarat dengan basa basi dan jargon. Sound of revolution !

Daftar Bacaan :

Frank, Andre Gunder. 1984. Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan Sosiologi.Kata Pengantar Arief Budiman. Pustaka Pulsar,yogyakarta


Galtung, Johan. 1980. A Structural Theory of Imprealism. (pp. 261-298) In: Ingolf and Anthony R. de Souza (Eds). Dialectics of Third World Development, Montelair, New York.

Kevin Danaher, 2001, 10 Reasons to Abolish the IMF and World Bank , Global

Exchange, Canada

William K. Tab, 2006 Tabir Politik Globalisasi, Penerjemah:Uzair Fauzan dkk,. Lafadl Pustaka, Yogyakarta

Ivan A. Hadar, 2004,Utang, Kemiskinan dan Globalisasi: Pencarian Solusi Alternatif, Lapera, Yogyakarta

Francis Fukuyama, State-Building: Governance and World Order in the 21st Century, ( New York : Cornell University Press, 2004).

Budi Winarno, 2005, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru, TAJIDU Press, Yogyakarta

Robert Gilpin, 2001,Global Political Economy: understanding the international economic order, Princeton University Press, New Jersey

Robert Gilpin, 1987, The political Economy of International Relations, New Jersey : Princeton University Press

Lyn H. Miller, 2006, terjemahan, penerjemah daryatno, Agenda Politik Internasional,Pustaka Pelajar, Yogyakarta


Sri Edi Swasono,2002,Paper, Jati Diri Bangsa,Pertemuan Alumni Akbar FE UNDIP,

Semarang

Periode Liberalisasi Perdagangan dalam Kasus Beras Indonesia, accesed from http://.fspi.or.id/

Revrisond Baswir,Republik Utang,http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=15

Kenichi Ohmae, Hancurnya Negara-Bangsa – Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia tak Berbatas, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002.

Tidak ada komentar: