Sabtu, 02 Februari 2008

POLITIK KAUM MUDA

KEBANGKITAN POLITIK KAUM MUDA

Oleh : Achmad Aris

Deskripsi

Perdebatan mengenai dikotomi sosok pemimpin dari golongan tua dan golongan muda menjadi isu yang seksi dan menarik banyak perhatian. Buktinya, meskipun isu ini muncul kepermukaan seiring dengan momentum peringatan hari sumpah pemuda 28 Oktober 2007 namun hingga bulan November 2007 perdebatan terus saja mewarnai di berbagai media massa cetak maupun elektronik. Masing-masing kubu mencoba saling serang dengan cara membangun dan mempertahankan argumen masing-masing. Bahkan, Wapres JK pun yang notabene berasal dari golongan tua turun tangan dengan mengeluarkan statment yang cukup pedas yakni ”kaum muda jangan hanya meminta jatah kekuasaan kepada kaum tua karena itu menunjukkan lemahnya kaum muda sekarang, kalau berani rebut”. Statment JK pun secara tidak langsung telah menambuh genderang perang. Alih-alih mengurusi nasib bangsa yang sedang carut marut, Wapres justru membuang energi demi merespon sesuatu permasalahan yang sebenarnya tidak perlu. Mungkin saja karena merasa posisinya terancam akibat wacana ”kepemimpinan kaum muda” sehingga JK pun merasa harus turun tangan padahal sikap tersebut justru menunjukkan ”ketidakdewasaan” JK sebagai seorang politisi.

Jelang pilpres 2009, semua isu yang berkaitan dengan Kekuasan menjadi suatu hal yang tidak luput dari perhatian semua pihak. Mulai dari pembahasan RUU politik, wacana calon independent, pencalonan capres dan wapres, koalisi antar partai, kepemimpinan kaum muda hingga manuver-manuver politik para elit. Akibatnya konstelasi politik domestik pun semakin meningkat. Gerakan politik kaum muda semakin gencar dilakukan mulai dari forum-forum diskusi, seminar, debat publik hingga berafiliasi dengan partai politik lama maupun partai politik baru. Kaum muda menganggap bahwa kepemimpinan kaum tua selama ini dianggap telah gagal sehingga sudah saatnya lah kaum muda yang memimpin baik itu ditingkatan pemerintah pusat maupun daerah.

Gelombang reformasi yang berhasil menumbangkan rezim otoritarian Soeharto ternyata belum mampu memberikan perubahan signifikan terhadap kondisi bangsa saat ini, sebagaimana yang di amanatkan dalam tuntutan reformasi yaitu penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi TNI/Polri serta pemberian otonomi daerah seluas- luasnya. Sudah sewindu reformasi berjalan, namun tanda-tanda akan terwujudnya keenam agenda reformasi tersebut masih jauh dari harapan. Capain dari program-program pemerintah paska reformasi 1998 hingga sekarang sebagai langkah merealisasikan ke-enam agenda reformasi tidak lebih hanya formalitas semu dan cenderung membias serta hanya menjadi komoditas politik saja.

Kepemimpinan nasional paska reformasi 1998 yang ternyata masih dipegang dan didominasi oleh actor-aktor lama “orde baru” yang notabene dari golongan tua disebut-sebut menjadi penyebab kegagalan gerakan reformasi 1998. Oleh karena itu, kaum muda merasa terpanggil untuk mengambil alih kendali kekuasaan. Kaum muda kemudian membangun konsolidasi dengan menamakan dirinya sebagai generasi kedua reformasi 1998 yang akan melakukan pelurusan tujuan reformasi yang selama ini telah diselewengkan oleh generasi pertama (golongan tua).

Selama ini memang kekuasaan di negeri ini cenderung dimonopoli oleh kaum tua sehingga kaum muda hanya diposisikan sebagai ”kacung”. Ini bisa dilihat dari peraturan perundang-undangan yang membatasi usia minimal calon pemimpin ditambah lagi sistem regenerasi struktural partai politik yang tidak membuka ruang bagi kaum muda untuk menduduki pos-pos strategis. Terlebih lagi secara ideologis, telah terkonstruksi sebuah anggapan bahwa kaum muda yang melakukan aktivitas politik praktis maka akan di cap sebagai kaum muda yang pragmatis dan tidak idealis. Sehingga dalam konteks ini, kekuasaan adalah suatu hal yang tabu bagi kaum muda. Kaum muda hanya diposisikan sebagai secondery actor yang tidak mempunyai hak untuk membuat keputusan.

Kali ini memang kaum muda tidak mau tinggal diam melihat pemerkosaan atas hak-hak mereka oleh kaum tua untuk menjadi seorang pemimpin. Dan kaum tua pun juga tidak tinggal diam melihat terancamnya singgasana kekuasaan mereka yang selama puluhan tahun mereka duduki. Akibatnya, kedua kubu saling bertarung memperebutkan kekuasaan. Kalau dulu para funding futhers bertarung memperebutkan kekuasaan melawan penjajah namun sekarang generasi penerus kemerdekaan justru terjebak pada perang saudara memperebutkan kekuasaan antara kaum muda dan kaum tua. Pada satu sisi ini adalah sebuah ironi, akan tetapi disisi lain ini menandakan kebangkitan politik kaum muda.

Di tengah perdebatan mengenai dikotomi kaum muda dan kaum tua yang terus bergulir dan menghangat, disaat yang bersamaan pula konstelasi politik saat ini menunjukkan adanya beberapa indikasi kebangkitan politik kaum muda sebagai bentuk perjuangan untuk merebut kekuasaan. Indikasi tersebut terlihat dari beberapa aktivitas :

  1. Di selenggarakannya PENA ‘ 98 (Pertemuan Nasional Aktivis 98) pada tanggal 27-29 Juli 2007 yang bertempat di Hotel Grand Cempaka Jakarta yang membahas bagaimana mekanisme gerak aktivis 98 dalam melakukan perebutan kekuasaan melalui pencalonan secara independent
  2. Pada bulan September 2007, beberapa politikus muda di Senayan membentuk kabinet bayangan (shadow cabinet).
  3. Pada perayaan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2007 tokoh-tokoh muda seperti Sukardi Rinakit, Faisal Basri, Yudi Latif, Ray Rangkuti, Efendi Ghazali dan tokoh-tokoh kaum muda lainnya, mendeklarasikan Ikrar bersama: saatnya kaum muda memimpin, Gedung Arsip Nasional
  4. Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia yang bertujuan merevitalisasi semangat nasionalisme kaum muda, 28-30 Oktober 2007, Hotel Sahid Jakarta.
  5. Gerakan "Bangkit Indonesia", yang digagas Rizal Ramli, juga mengkampanyekan tema yang sama: kebangkitan kaum muda dengan Jalan Baru, Gedung Perpusnas 31 Oktober 2007.
  6. Adanya targetan perebutan kekuasaan secara menyeluruh oleh kaum muda pada pemilu 2014 yang di gagas oleh tokoh muda seperti M. Fadjrulrachman dan Ray Rangkuti.
  7. Berafiliasinya beberapa tokoh muda seperti Budiman Sudjatmiko dan Yusuf Lakaseng serta tokoh-tokoh muda lainnya ke dalam partai politik.

Tidak bisa dipungkiri bahwa secara histories perkembangan bangsa ini, tidak terlepas dari peran serta kaum muda mulai dari Sumpah Pemuda 1928, gerakan-gerakan mahasiswa pro-demokrasi yang menuntut perubahan sejak 1961, 1978 dan 1998. Semua itu menandai jejak historis adanya inter-relasi politik kaum muda dengan dinamika politik Indonesia. Beberapa pemimpin partai pada masa pra-kemerdekaan relatif berusia muda, seperti Soekarno, ketika memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI), Bung Hatta dan Syahrir ketika memimpin Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Tan Malaka ketika mendirikan Partai Murba, dan lain sebagainya. Namun, belakangan pemimpin partai relatif berusia tua. Di banyak negara, posisi kaum muda sebagai kelas menengah juga selalu memberi arti bagi perubahan sosial dan politik. Gerakan Bolsevik di Rusia, misalnya, didorong oleh kelas menengah perkotaan. Demikian juga kemenangan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki. Oleh sebab itu, tidak heran jika kemudian kaum pemuda saat ini merasa terpanggil untuk mengambil alih kepemimpinan nasional.

Momentum peringatan hari Sumpah Pemuda ke – 79 kali ini nampaknya telah menginisiasi kebangkitan poitik kaum muda untuk menegaskan kembali keberpihakannya sekaligus menumbuhkan kembali “ghiroh” perjuangannya yang selama ini terkesan mati suri dan hanya menempati posisi sebagai penonton dalam panggung perpolitikan nasional. Meskipun kondisi yang sama juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya ketika hari sumpah pemuda diperingati, namun kali ini mengandung aura yang berbeda dimana kaum muda benar-benar ingin secara praksis menunjukkan eksistensinya.

Analisis

Kebangkitan politik kaum muda saat ini merupakan antitesis dari kegagalan kaum tua dalam menjalakan amanat reformasi 1998. Reformasi yang kita harapkan dapat memberi secercah harapan perubahan pada wilayah kultur politik dan menyentuh substansi demokrasi ternyata masih berada dalam wilayah prosedural demokrasi. Kultur politik kita masih bersalin rupa dari bentuk feodalisme politik Orde Baru menuju neo-feodalisme politik orde reformasi. Artinya, keberhasilan kaum muda dalam melengserkan rezim otoritarian Soeharto melalui gelombang reformasi 1998 yang tidak dibarengi dengan pola “cut generation” serta gerakan pengambilalihan kekuasaan oleh kaum muda menyebabkan proses reformasi berjalan tidak sesuai dengan rel yang telah digariskan. Akibatnya kendali reformasi diambil alih oleh para komparador “antek-antek rezim orde baru” yang pada akhirnya hanya semakin memperburuk kondisi bangsa ini. Atas dasar itulah, kemudian kaum muda ingin merebut kepemimpinan nasional. Dengan kepemimpinan kaum muda akan menjadi sebuah harapan baru terhadap arah politik Indonesia agar dapat terealisasikan dengan cepat, dan perubahan kultur politik menjadi niscaya.

Meskipun kebangkitan politik kaum muda saat ini masih pada level ide dan gagasan serta strategi karena belum tampilnya sosok figur alternatif dari kaum muda menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, namun diharapkan ke depan ada langkah konkrit guna membumikan ide dan gagasan serta strategi tersebut. Kekosongan sosok figure pemimpin dari kaum muda harus secepatnya diatasi karena hal ini secara tidak langsung akan melapangkan jalan bagi politisi tua untuk kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2009.

Prediksi

Gerakan politik kaum muda dalam upayanya merebut kekuasaan dari kaum tua guna meluruskan semangat reformasi 1998, akan semakin gencar menjelang pemilu 2009 dan puncaknya akan terjadi pada pemilu 2014. Artinya, momen pemilu 2009 kemungkinan hanya akan menjadi test case saja sedangkan pada pemilu 2014 kaum muda benar-benar akan melakukan perebutan kekuasaan secara menyeluruh baik ditingkatan pusat maupun daerah.

Tidak ada komentar: