Sabtu, 02 Februari 2008

RAPBN 2008

KAMUFLASE POLITISASI DI BALIK OPTIMISME RAPBN DAN ASUMSI EKONOMI 2008

Oleh : Dodi Mantra

Secara umum, anggaran pemerintah yang dirumuskan dalam bentuk Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) merupakan suatu laporan keuangan berupa penerimaan dan pengeluaran yang direncanakan oleh pemerintah untuk setiap tahun fiskal. Sumber utama dari penerimaan negara adalah pajak yang terdiri dari pajak pendapatan dan pajak pengeluaran. Sementara itu, bagian utama pengeluaran adalah penyediaan barang dan jasa berupa pembayaran gaj untuk jasa kesehatan, pendidikan, polisi dan pembayaran jasa publik lainnya serta pembayaran untuk jasa-jasa sosial, pensiun dan pembiayaan barang-barang publik yang menjadi kewajiban pemerintah. Di Indonesia, anggaran yang dikenal sebagai APBN tersebut dimaknai sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember) dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Anggaran pemerintah dipahami secara umum memiliki dua manfaat. Pertama, anggaran tersebut menyusun dasar perencanaan keuangan pemerintah dalam jangka yang lebih panjang dari komitmen ekonomi dan sosialnya. Kedua, anggaran juga berfungsi sebagai instrumen kebijakan fiskal dalam mengatur tingkat dan komposisi permintaan agregat suatu perekonomian. Akan tetapi, manfaat atau fungsi dari APBN ini tidak bisa dimaknai secara sempit dan teknis fiskal semata. APBN seharusnya dapat menjadi instrumen strategis yang dimiliki pemerintah untuk menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi oleh rakyat.

Ironisnya, fakta APBN yang dirumuskan pemerintah selama ini belum mencerminkan fungsi fundamental anggaran sebagai instrumen strategis untuk mengentaskan kemiskinan, memberdayakan pendidikan dan mengarahkan kemandirian fiskal bangsa ini. Berbagai sektor publik yang seharusnya menjadi prioritas anggaran pemerintah seperti pendidikan dan kesehatan justru masih berada di bawah alokasi anggaran untuk pembayaran cicilan pokok utang luar negeri. Dalam RAPBN 2008 yang disampaikan pemerintahan SBY-JK pada Agustus lalu misalnya, anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 48,3 triliun, masih jauh di bawah alokasi minimum yang dijamin konstitusi sebesar 20 persen. Sementara anggaran untuk pembayaran cicilan pokok utang luar negeri mencapai Rp. 59,7 triliun.

Menariknya, di balik belum terpenuhinya fungsi utama APBN tersebut, pemerintahan SBY-JK justru mengemas RAPBN 2008 dalam bentuk yang optimistis dan ekspansif sehingga memunculkan citra yang populis. RAPBN 2008 yang disampaikan dalam pidato SBY tersebut memberikan janji prioritas anggaran dalam pembangunan dan perbaikan infrastruktur strategis di bidang pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan masyarakat kelompok miskin dan penciptaan kesempatan kerja. Dalam RAPBN 2008, tercatat proyeksi pendapatan negara dan hibah senilai Rp. 761,38 triliun. Sementara belanja negara diproyeksikan sebesar Rp. 836,41 triliun. Pemerintahan SBY-JK juga mematok beberapa asumsi ekonomi makro yang mengedepankan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang harus disertai pemerataan ekonomi (growth with equity) dengan pertumbuhan ekonomi 2008 ditargetkan pada level 6,8 persen dan rasio utang pemerintah pada akhir tahun 2008 sebesar 33 persen.

RAPBN 2008 yang cenderung optimis dan ekspansif ini menuai beragam kritik dari beragam kalangan. Pemerintah dinilai berupaya menyenangkan masyarakat dengan berbagai target yang tinggi serta “merekayasa” bahwa perekonomian nasional lebih baik dari kondisi yang sesungguhnya (window dressing). Pemerintah juga dipandang kurang memiliki strategi yang jelas untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Sehingga tidak heran jika banyak pihak yang pesimis terhadap target-target ekonomi makro yang dicanangkan oleh pemerintah dapat terwujud. Intinya, RAPBN 2008 pemerintahan SBY-JK tersebut disnyalir digunakan pmerintah hanya sebagai komoditas politik untuk terlihat populis di mata masyarakat menjelang pemilihan umum akan berlangsung tidak kurang dari dua tahun lagi. Benarkah RAPBN dan asumsi ekonomi makro 2008 tersebut terlalu optimistis? Apakah memang RAPBN tersebut hanya dijadikan sebagai komoditas politik untuk menyenangkan publik menjelang pemilu 2009?

Teori Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Pada tataran yang ideal APBN berperan sebagai instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. APBN berperan penting sebagai instrumen pemerintah yang juga mencakup sebagai strategi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan nasional. Dan yang terpenting dari APBN adalah juga sebagai instrumen untuk mencapai stabilitas ekonomi dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. Alokasi dana yang dituangkan secara sektoral dalam APBN menjadi cerminan strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan oleh pemerintah. Melalui APBN inilah peranan penting pemerintah dalam perekonomian dirumuskan.

Dengan demikian, APBN memainkan peranan yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara, di mana fungsi nyata pemerintah dalam pembangunan ekonomi dilandasi oleh kekuatan finansial yang dirumuskan dalam APBN. Hal ini tercermin dari beberapa fungsi yang terkandung di dalam APBN yang menjadi pedoman bagi peran aktif pemerintah dalam pembangunan. Pertama, fungsi otorisasi di mana APBN menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belana negara pada tahun yang bersangkutan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Kedua, dalam aspek perencanaan APBN berperan sebagai pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun anggaran. Ketiga, dalam kerangka fungsi pengawasan, APBN berfungsi sebagai pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan dan menjadi landasan bagi rakyat untuk menilai kinerja pemerintah dalam hal pengelolaan keuangan. Keempat, fungsi alokasi di mana anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian. Kelima, yang terpenting adalah APBN harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan dalam fungsinya sebagai instrumen distribusi. Terakhir, anggaran negara harus dapat menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.

Dalam penyusunan atau perumusannya, APBN masing-masing memiliki tiga prinsip dalam pos pendapatan dan pengeluaran yang harus diperhatikan pemerintah. Dalam aspek pendapatan, prinsip intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan penyetoran, intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara dan penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dan penuntutan denda merupakan tiga prinsip yang harus dijalankan. Sementara dalam aspek pengeluaran beberapa prinsip seperti hemat, efisien dan sesuai dengan kebutuhan, terarah terkendali dan sesuai dengan rencana program serta maksimalisasi penggunaan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan dan potensi nasional menjadi pedoman pemerintah dalam penyusunan APBN.

Yang terpenting dalam penyusunan APBN adalah asas kemadirian yang bertujuan untuk meningkatkan sumber penerimaan dalam negeri, disertai dengan asas penghematan atau peningkatan efisiensi dan produktifitas. Dan dalam penyusunan APBN, penajaman prioritas pembangunan harus dijadikan asas yang tidak boleh diabaikan serta tentu saja harus meitik beratkan pada asas-asas dan undang-undang negara.

Upaya Pengentasan Kemiskinan yang Terabaikan dari Prioritas RAPBN 2008

Secara simbolik dinyatakan bahwa pemerintah berencana lebih memfokuskan penggunaan anggaran keuangan negara pada RAPBN 2008 untuk pembangunan infrastruktur dan penanggulangan kemiskinan. Menko Perekonomian Boediono mengemukakan bahwa dana yang tersedia dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan penanggulangan kemiskinan dalam rangka mendukung triple track strategy sehingga pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan dapat tercapai. Dengan kata lain, pemerintah berupaya untuk menggunakan stimulus fiskal dalam bentuk prioritas alokasi pembangunan infrastruktur untuk merangsang aktifitas ekonomi yang dapat membuka lapangan kerja dan menurunkan angka kemiskinan. Hal ini tercermin dari peningkatan drastis alokasi APBN untuk Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Perhubungan yang masing-masing mengalami peningkatan 40,7 persen dan 63,6 persen dari Rp. 25,3 triliun menjadi Rp. 35,6 triliun untuk Departemen PU dan dari Rp. 9,9 triliun menjadi Rp. 16,2 triliun untuk Dephub.

Terdapat beberapa hal yang harus dikritisi dari strategi APBN yang katanya fokus pada penanggulangan kemiskinan melalui stimulus pembangunan infrastruktur ini. Pertama, melalui pembangunan infrastruktur pemerintah berharap pertumbuhan ekonomi 2008 yang ditargetkan sebesar 6,8 persen dapat tercapai melalui pembukaan lapangan kerja baru yang bermuara pada penurunan angka kemiskinan. Akan tetapi, pembangunan infrastruktur memiliki pengaruh yang sangat jauh dan tidak begitu langsung terhadap pengentasan kemiskinan. Terlebih lagi terdapat beberapa prekondisi lagi yang harus dipenuhi agar prioritas pembangunan infrastruktur dapat berjalan menopang pertumbuhan ekonomi, di mana dampak investasi infrastruktur hanya akan dapat dicapai jika terjadi sinergisitas antara investasi infrastruktur di tingkat nasional dengan daerah serta terkait dengan efektifitas alokasi anggaran dalam hal pengelolaan administratif keuangan. Di sisi lain, efektifitas pencapaian target pertumbuhan ekonomi tidak hanya bergantung pada investasi di sektor infrastruktur semata, investasi swasta, konsumsi masyarakat dan performa ekspor secara keseluruhan juga sangat berpengaruh. Kedua, revitalisasi pertanian dan pendidikan sebagai on the ground solution yang memiliki dampak lebih dekat kepada pengentasan kemiskinan justru belum menjadi prioritas dalam RAPBN 2008. Departemen Pertanian hanya mendapatkan alokasi sebesar Rp. 8,9 triliun atau meningkat 12 persen dari alokasi Rp. 7,9 triliun pada tahun anggaran sebelumnya. Terlebih lagi untuk sektor pendidikan yang dijamin oleh konstitusi untuk alokasi minimum sebesar 20 persen, kenyataannya hanya dianggarkan sebesar Rp. 48,3 triliun meningkat 22,5 persen dari tahun anggaran sebelumnya dan hanya mengambil porsi sebesar 5,7 persen dari total belanja negara, dibandingkan alokasi untuk pembangunan infrastruktur yang mencapai 6 persen. Ketiga, data kemiskinan yang digunakan pemerintah untuk merumuskan RAPBN 2008 yang fokus pada penanggulangan kemiskinan tersebut bersifat sangat meragukan, di mana dilaporkan bahwa jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 mengalami penurunan 16,6 persen menjadi 37,17 juta dibandingkan 39,30 juta pada tahun 2006. Angka ini sangat meragukan secara kuantitatif dan kualitatif. Terlebih lagi berdasarkan perhitungan Bank Dunia dengan menggunakan standar pengeluaran hidup US$2 per hari, terdapat 49 persen atau 108,7 juta jiwa penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Dengan demikian, upaya pemerintah untuk mengatasi kemiskinan melalui stimulus fiskal dalam RAPBN 2008 tidak ditopang oleh data yang akurat dan dipercaya oleh banyak pihak. Sehingga komitmen pemerintah untuk memprioritaskan pemberantasan kemisinan di negeri masih harus dipertanyakan lagi. Bukan hanya bersifat simbolik semata dalam bentuk janji-janji dan strategi abstrak yang tidak disertai oleh strategi yang komprehensif dan terperinci serta yang terpenting dilandasi oleh data yang akurat.

Dengan demikian, target asumsi makro 2008 yang memproyeksikan angka kemiskinan dapat diturunkan menjadi 15-16,8 persen juga mendapatkan pertanyaan besar dalam konteks ini. Berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sinergis terhadap strategi pemberantasan kemiskinan yang masih abstrak semakin meningkatkan pesimisme akan tercapainya target tersebut. Kebijakan konversi minyak tanah ke gas yang tidak disertai strategi antisipatif dampak dari kebijakan tersebut justru semakin menambah beban rakyat miskin. Belum lagi kebijakan untuk menaikkan tarif jalan tol yang juga berpengaruh pada tingkat inflasi dalam bentuk kenaikan harga barang, juga menyimbolkan bagaimana justru kebijakan pemerintah sendiri yang menghambat perbaikan kondisi riil ekonomi masyarakat.

Over-Optimism dalam Target-target Asumsi Makro Ekonomi 2008

Tanpa tanggung-tanggung dalam Pidato Kenegaraan dan Keterangan Pemerintah atas RAPBN dan Nota Keuangan 2008 yang berisikan target-target dan asumsi ekonomi, pemerintah Indonesia mentargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen pada tahun 2008. Dalam nominal dengan pertumbuhan pada level tersebut, diproyeksikan produk domestik bruto Indonesia pada 2008 mencapai Rp. 4.306,6 triliun dengan PDB per kapita sebesar Rp. 2.077 triliun. Inflasi juga ditargetkan berada pada level yang rendah, yaitu sebesar 6,0 persen dengan nilai tukar rupiah rata-rata Rp. 9.100 per dolar AS. Optimisme lainnya yang terkandung di dalam asumsi makro ekonomi 2008 tersebut terlihat dari angka kemiskinan yang ditargetkan turun menjadi 15 – 16,8 persen dari total populasi dan angka pengangguran menjadi 8-9 juta jiwa di tahun depan. Sementara itu, di tengah trend penurunan produksi minyak nasional selama hampir sepuluh tahun terakhir, pemerintah lagi-lagi menaikkan target produksi minyak menjadi 1,034 juta barel per hari dibandingkan realisasi tahun 2006 yang hanya sebesar 959 ribu barel per hari.

Pertama, angka pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 6,8 persen pada tahun 2008 tersebut terlihat sangat optimistis dan cenderung mengabaikan kondisi ekonomi riil dan situasi pasar. Sampai saat ini, instrumen APBN belum berjalan dalam asas yang mengutamakan kemandirian, di mana penerimaan dalam negeri dimaksimalkan sebagai sumber pembiayaan. Sejauh ini perekonomian Indonesia benar-benar bergantung pada pendanaan asing dalam bentuk investasi dan utang luar negeri, di mana posisi APBN hanya sebagai stimulus untuk merangsang masuknya modal asing. Dengan mematok angka pertumbuhan mencapai 6,8 persen, pemerintah berupaya menggunakan RAPBN 2008 yang memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur untuk menstimulus investasi di bidang tersebut sehingga membuka lapangan kerja dan target pertumbuhan dapat tercapai. Kondisi ini juga terlihat dari upaya pemerintah yang telah dimulai sejak dini untuk menaikkan tarif tol dan privatisasi Jasa Marga yang juga bertujuan untuk menarik investasi. Dengan kata lain, di balik RAPBN yang kelihatannya populis dan optimis tersebut pemerintah justru semakin membuat negeri ini bergantung pada investasi asing terlepas jauh dari asas kemandirian. Selain itu, meskipun secara retorika SBY menyatakan lebih mendorong terciptanya pertumbuhan yang berbasis pemerataan, jika kita mencermati strategi untuk mencapai pertumbuhan tersebut masih berada dalam strategi pertumbuhan a la neoklasik yang mengedepankan penambahan input dalam bentuk modal dan tenaga kerja yang pada akhirnya juga akan menciptakan pertumbuhan yang tidak merata. Konsepsi endogenous growth yang dalam upaya menciptakan pertumbuhan lebih mengacu pada faktor-faktor endogen dalam pertumbuhan seperti pendidikan dan penelitian dalam bentuk pengembangan kualitas sumber daya manusia dan teknologi justru diabaikan pemerintah.

Kedua, terkait dengan angka inflasi yang ditargetkan berada pada level 6,0 persen, pemerintah tampaknya tidak mempertimbangkan secara matang trend kekacauan pada pasar saham dunia yang berdampak pada depresiasi nilai tukar rupiah sehingga biaya impor meningkat dan inflasi dalam bentuk kenaikan harga bahan-bahan pokok yang tidak terkendali. Terlebih lagi jika pemerintah mau berkaca pada pengalaman inflasi yang terjadi pada dua bulan terakhir, di mana laju inflasi mengalami peningkatan signifikan, 0,72 persen pada bulan Juli dan 0,75 persen pada bulan Agustus, yang mencerminkan kondisi perekonomian Indonesia yang masih sangat rapuh diterpa guncangan nilai tukar. Anehnya, tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) justru diturunkan menjadi 7,5 persen pada tahun anggaran 2008. Maknanya, arus modal kepada aktifitas ekonomi akan semakin besar sehingga aktifitas produksi dan konsumsi justru akan menyebabkan tingkat inflasi yang tinggi. Dengan demikian, terlihat bahwa pemerintah tidak memiliki integritas strategi dalam menyusun target asumsi makro ekonomi untuk tahun 2008. Indikasi politisasi yang ditujukan hanya untuk menyenangkan masyarakat dan terlihat populis melalui angka-angka makro ekonomi yang positif semakin terlihat dari target-target ekonomi makro tersebut.

Ketiga, produksi minyak di tahun 2008 yang ditargetkan mencapai 1,034 juta barel per hari tampak sangat tidak realistis jika melihat kapabilitas sektor migas Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Target tersebut juga akan jauh dari realisasi, jika pemerintah tidak memiliki strategi yang jelas untuk meningkatkan produksi minyak nasional. Sementara itu, sampai saat ini pemerintah belum memiliki strategi untuk mengatasi berbagai kendala yang menghambat aktifitas produksi minyak baik yang bersifat internal ataupun eksternal. Pemerintah hanya mengandalkan sumur-sumur tua yang kapasitas produksinya semakin menurun. Sebagaimana halnya asumsi-asumsi makro tahun-tahun sebelumnya, pemerintah selalu optimis dan yakin bahwa target produksi minyak dapat tercapai. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa kecenderungan yang terjadi, produksi minyak justru terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Sebagaimana asumsi target produksi minyak dalam RAPBN 2007 yang mencapai 1 juta barel per hari justru direvisi dalam RAPBN-P 2007 menjadi 950 ribu barel per hari.

Defisit dan Penghematan Anggaran yang tidak Berpihak kepada Rakyat

Penghematan memang merupakan salah satu asas utama dalam penyusunan APBN. Begitu juga halnya dengan defisit anggaran tidak selamanya bermakna negatif, di mana dengan adanya defisit berarti pemerintah berupaya untuk menggerakkan perekonomian melalui berbagai sektor pembangunan. Akan tetapi, asas penghematan dan strategi defisit yang bermanfaat bagi rakyat justru tidak terjadi dalam RAPBN 2008 dan cenderung mengandung kebijakan yang kontradiktif. Secara umum, terdapat dua kategori kebijakan fiskal, yaitu kebijakan fiskal ketat dan kebijakan ekspansif. Dalam kerangka kebijakan ketat, pemerintah melakukan penghematan dengan cara mengurangi atau membatasi pembiayaan untuk sektor publik dan menaikkan pajak serta menaikkan tingkat suku bunga. Sementara, dalam kebijakan ekspansif pemerintah mengalokasikan dana besar-besaran untuk memicu aktifitas perekonomian dengan menurunkan tingkat suku bunga dan pembiayaan publik serta menurunkan pajak. Dalam RAPBN 2008 terdapat kontradiksi dalam kebijakan anggaran ini. Di satu sisi pemerintah cenderung bersifat ekspansif dengan meningkatkan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan menurunkan tingkat suku bunga. Akan tetapi, di sisi lain pemerintah melakukan penghematan untuk sektor-sektor tertentu seperti pendidikan dan pencabutan subsidi.

Penghematan dan defisit dapat ditolerir bahkan didukung oleh masyarakat jika dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan. Ironisnya, dalam RAPBN 2008, program penghematan dan defisit yang dikemas selaras dengan karakteristik ekspansif justru tidak berpihak kepada rakyat. Hal ini tercermin dari alokasi anggaran yang besar sebagai hasil dari penghematan dan menciptakan defisit tersebut justru dialokasikan untuk pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang alokasinya melebihi anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Dalam RAPBN 2008, alokasi untuk pembayaran cicilan pokok utang luar negeri mencapai Rp. 59,7 triliun. Karakter ekspansif RAPBN 2008 yang ditandai peningkatan alokasi untuk pembangunan infrastruktur justru tidak berdampak langsung pada kesejahteraan. Akan tetapi, kedua kombinasi tersebut telah menyebabkan terjadinya defisit yang sangat besar dalam RAPBN 2008 yang mencapai angka 1,7 persen. Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah masih menggunakan gaya lama yaitu melalui utang luar negeri yang mencapai angka Rp. 43 triliun dalam RAPBN 2008. Dengan kata lain, kebijakan defisit tersebut justru membawa perekonomian Indonesia semakin tergantung pada pembaiayaan dari utang luar negeri, sehingga asas kemandirian yang seharusnya menjadi pedoman dalam penyusunan RAPBN benar-benar menjadi semakin tersingkirkan. Dan sekali lagi, rakyat yang dikorbankan untuk membiayai defisit tersebut melalui pencabutan subsidi dan mahalnya biaya barang-barang publik seperti pendidikan dan kesehatan.

Kebohongan Publik melalui Mekanisme RAPBN-Perubahan

Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 yang mengatur mengenai perubahan APBN yang dapat diajukan pemerintah sewaktu-sewaktu bila dianggap perlu, dijadikan pemerintah sebagai instrumen baru untuk memanipulasi persepsi publik terhadap RAPBN. Melalui instrumen ini, maka pemerintah dapat menjadikan RAPBN sebagai komoditas politik bukan sebagai instrumen pembangunan ekonomi dengan tampilan yang bersifat optimistis, ekspansif dan menyenangkan rakyat. Hal ini sangat mungkin terjadi di mana RAPBN yang diajukan pemerintah untuk tahun anggaran tertentu, bukanlah merupakan anggaran final yang dapat berfungsi dalam kerangka pengawasan, sehingga rakyat dapat menilai kinerja pengelolaan keuangan pemerintah. Bisa jadi dalam satu tahun anggaran pemerintah merencanakan RAPBN yang populis, akan tetapi dalam realisasinya dilakukan revisi melalui instrumen RAPBN-Perubahan tersebut. Namun, pemerintah menggunakan strategi dengan cara menyampaikan RAPBN untuk tahun anggaran berikutnya yang lebih optimistis lagi, sehungga revisi RAPBN sebelumnya tidak mendapatkan sorotan dari masyarakat. Hal ini berarti RAPBN 2008 bukan hanya sekedar optiimisme yang berlebih, tetapi lebih merupakan “kebohongan publik" oleh pemerintah, di mana tahun 2008 nantinya, target capaian yang tidak mungkin dicapai tersebut juga akan direvisi dengan RAPBN-Perubahan 2008 yang sekali lagi dikemas berbarengan dengan RAPBN 2009 yang akan lebih ekspansioner dan optimis lagi. Mengingat pemilu 2009 sudah di depan mata, maka dapat diprediksikan RAPBN 2009 akan lebih optimistis dan populis lagi secara simbolik untuk menyenangkan hati rakyat dan menaikkan popularitas menjelang pemilu.

Kesimpulan

Mencermati beragam kontradiksi yang terkandung di dalam RAPBN dan asumsi makro ekonomi 2008, baik itu antara target dan kemampuan realisasi ataupun antara strategi dan kebijakan, upaya pemerintah untuk menjadikan RAPBN tersebut sebagai komoditas politik dalam rangka memperoleh pencitraan populis dari rakyat sangat kental terlihat. Substansi RAPBN yang tidak memberi prioritas pada pengentasan kemiskinan justru dikamuflase dengan ciri ekspansif alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur yang pada kenyataannya tidak relevan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat secara riil. Target-target asumsi makro yang sangat optimis dijadikan strategi untuk menyenangkan hati masyarakat, meskipun tidak ada jaminan target tersebut benar-benar akan terealisasi mengingat kapabilitas pemerintah dan kondisi ekonomi riil Indonesia. Kemandirian yang seharusnya menjadi asas utama dalam penyusunan RAPBN justru semakin menenggelamkan negeri ini dalam jurang ketergantungan terhadap utang luar negeri dan investasi asing. Pemborosan yang dikemas dalam citra penghematan yang menyebabkan terjadinya defisit yang sangat besar semakin membebani kehidupan ekonomi masyarakat. Ironisnya, politisasi RAPBN 2008 untuk kepentingan kekuasaan tersebut justru dikamuflase dan dikemas dengan sangat rapi dalam tampilan yang bersifat optimistis, ekspansif dan populis, yang nantinya juga akan direvisi dalam bentuk RAPBN-Perubahan di tahun mendatang.

Tidak ada komentar: