Sabtu, 02 Februari 2008

REFORMASI TNI

QUO VADIS REFORMASI TNI

Oleh : Indra Alverdian


Wacana reformasi TNI merupakan sebuah ide yang muncul ketika suatu negara sebagaimana halnya Indonesia sedang dalam proses nation-building pasca pemerintahan yang otoriter. Keinginan untuk melakukan reformasi TNI disebabkan oleh kebutuhan dan permintaan masyarakat agar TNI meninggalkan doktrin dwifungsinya dimana militer terlibat dalam fungsi pertahanan serta sosial-politik. Keinginan untuk melakukan reformasi internal terhadap TNI dimulai pada tahun 1998 dengan diterbitkannya suatu publikasi tentang reformasi militer TNI yang dinamakan “Paradigma Baru”. Inti dari publikasi “paradigma Baru tersebut adalah pertama, TNI akan merubah metode dan posisi untuk selalu tidak di depan. Kedua, mengubah konsep dari menduduki ke mempengaruhi. Ketiga, TNI ingin mengubah dari cara-cara langsung menjadi tidak langsung. Keempat, TNI bersedia melakukan role sharing dalam pengambilan keputusan penting pemerintahan dan kenegaraan. Tiga tahun kemudian, melalui keputusan Majelis Perwakilan Rakyat No. VI/2000 dan No.VII/2000 ditetapkan berakhirnya peran dwifungsi TNI. Selain itu melalui keputusan tersebut ditetapkan pemisahan tugas antara TNI dengan Polri dimana TNI dikonsentrasikan untuk menjalankan pertahanan dari ancaman luar. Selain itu, pada bulan February 2002, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan undang-undang No.3/2002 mengenai pertahanan nasional terutama peran TNI yang mencakup pertahanan terhadap ancaman dari luar, mempertahankan kedaulatan territorial RI dan melindungi masyarakat dari segala ancaman. Undang-undang No.3/2002 juga menyatakan mengenai pelibatan TNI dibawah komando sipil dalam MOOTW atau Military Operations Other Than War serta kebutuhan untuk sebuah strategi pertahanan baru yang memperhatikan fakta bahwa Indonesia adalah sebuah negara maritim.


Analisis

Agenda reformasi TNI dikonfrontasikan pada beberapa permasalahan yang dapat menghambat perkembangannya. Pertama adalah merubah pemikiran berdasarkan pengalaman sejarah kemerdekaan bahwa TNI merupakan tentara revolusioner yang lahir dari rakyat berdasarkan pengalaman perang gerilya melawan penjajah. Mindset ini kemudian diperkuat pada masa orde baru yang memberikan TNI peran inti dalam pembangunan Indonesia melalui pendekatan keamanan dimana TNI adalah sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan.

Kedua, kemajuan reformasi TNI dalam hal perencanaan strategi pertahanan masih jauh dari harapan. Ini dapat terlihat dari masih dipertahankannya model sistem pertahanan semesta yang tercermin pada dominannya postur kekuatan angkatan darat dibandingkan dengan angkatan laut maupun angkatan udara. Berdasarkan struktur komando territorial, daerah dataran dibagi berdasarkan 12 komando daerah militer atau kodam yang cenderung lebih efektif untuk menghadapi ancaman internal yang berada di daratan. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara archipelagic yang terbesar di dunia dengan posisi yang secara geostrategis penting karena berada diantara laut Hindia dan Pasifik yang merupakan bagian dari alur laut pelayaran internasional atau sea-lanes of communications (SLOC). Masih berlakunya strategi pertahanan pulau besar yang berorientasi pada kekuatan darat mencerminkan masih adanya keinginan TNI untuk mempertahankan romantisme pengalaman masa lalunya. Sulitnya menghapus komando territorial bagi TNI disebabkan karena melalui koter TNI dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat dalam bentuk fungsi pembinaan territorial, membuka jalan bagi penyelenggaraan fungsi intelijen, pembinaan masyarakat dan penyelenggaraan kegiatan ekonomi dan politik oleh TNI yang melintasi batas kewenangan dan peran yang diamanatkan oleh konstitusi. Selain itu keberadaan Koter juga mempersulit garis pemisahan tugas diantara TNI dan Polri dimana ancaman dalam negeri menjadi tanggungjawab dan wewenang polisi. Hal ini dapat menimbulkan dualisme kepemimpinan di lapangan yang berpotensi konfliktual diantara kedua institusi negara tersebut. Dari sudut pandang anggaran pertahanan, keberadaan koter juga membebani karena 60 % dari personil TNI yang berada dalam koter berfungsi menjalankan tugas administrasi dan birokrasi dan bukan fungsi tempur sehingga tidak mengherankan ketika unit-unit tempur utama seperti Kostrad atau Kopassus harus mengalami rotasi dari satu daerah konflik ke daerah lainnya pada waktu yang sangat cepat meskipun disana terdapat komando daerah militer (kodam).

Dominannya koter membuat timpangnya kekuatan angkatan darat dengan angkatan lainnya dimana angkatan laut misalnya hanya memiliki dua armada yakni armada timur dan armada barat serta kekuatan serta peralatan alutsista yang secara kuantitas maupun kualitas tertinggal dengan negara-negara lainnya di Asia Pasifik sebagaimana dalam tabel berikut ini ;

Tabel I

NEGARA

PERSONIL

KAPAL SELAM

ARMADA LAUT UTAMA

PENGAWAS PANTAI

Australia

14.200

4

11

16

India

53.000

16

26

40

Indonesia

45.000

2

17

58

Jepang

43.800

16

55

3

Korea Utara

46.000

26

3

309

Korea Selatan

60.000

19

39

84

Malaysia

12.500

-

4

41

Filipina

20.500

-

1

67

Singapura

9.500

3

-

24

RRC

230.000

71

53

676

Taiwan

68.000

4

37

104

Thailand

73.000

-

15

88

Vietnam

42.000

2

6

40

Sumber : Diolah dari Military Balance 2003-2004, London: Oxford University Press

Berdasarkan data diatas nampak bahwa dengan wilayah laut terbesar di Asia Pasifik, kekuatan armada laut Indonesia sangat tidak mencukupi terutama untuk menjaga wilayah perairan yang berbatasan dengan negara lain.

Permasalahan lain yang terkait dengan reformasi TNI adalah pola hubungan antar institusi TNI dengan departemen pertahanan. Reformasi TNI seharusnya menghasilkan perubahan dalam pola kerja diantara institusi-institusi di dalam departemen pertahanan serta markas besar TNI. Hal ini berusaha dicapai melalui Undang Undang No.3 tahun 2002 tentang pertahanan negara dan undang undang No.34 tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia. Di dalam undang – undang tersebut salah satunya dinyatakan bahwa pertahanan negara yang legal dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang diajukan oleh Departemen Pertahanan berdasarkan permintaan kebutuhan yang diajukan oleh markas besar TNI. Keberadaan kedua undang-undang tersebut diharapkan mensahkan kekuasan otoritas sipil yang diwakili oleh Dephan terhadap entitas TNI. Namun pada implementasinya tidak dapat berjalan dengan baik karena terjadinya dualisme kepemimpinan dimana secara hierarkis panglima TNI bertanggungjawab langsung kepada President dan bukan kepada menteri pertahanan. Ketidakjelasan hierarki hubungan kewenangan Dephan dengan TNI disebabkan oleh pasal 4 ayat 2 dalam UU No.34/2004 yang hanya menyatakan bahwa ” dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI dibawah koordinasi departemen pertahanan”. Di pasal tersebut tidak dijelaskan bagaimana koordinasi dilakukan karena otoritas panglima TNI yang tidak berada dibawah Menhan serta mabes TNI yang belum menjadi bagian dari departemen pertahanan. Terdapat beberapa contoh kasus yang merupakan ekses dari dualisme kepemimpinan dalam pertahanan Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut ;

a. Pembelian pesawat Sukhoi pada tanggal 23 April 2003 yang ditandatangani oleh Panglima TNI pada waktu itu Endriartono Sutarto yang sebetulnya menyalahi prosedur pembiayaan dalam UU pertahanan negara.

b. Pembelian kapal KAL-35 oleh pemerintah daerah Riau untuk menambah kekuatan armada barat angkatan laut tanpa sepengetahuan Departemen Pertahanan.

Isu terakhir yang terkait dengan reformasi TNI adalah penataan bisnis TNI. Penataan kembali bisnis-bisnis TNI yang berbentuk yayasan ini diperlukan agar tidak lagi digunakan sebagai sumber-sumber pendanaan anggaran operasional pertahanan TNI sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 25 UU No.3 tahun 2002 bahwa anggaran pertahanan negara hanya berasal dari APBN. Namun demikian pada praktiknya pendanaan off-budget yang diantara lain berasal dari bisnis militer berkontribusi sekitar 70-75 % dari anggaran pertahanan karena APBN hanya dapat memenuhi sekitar 25 -30 % dari kebutuhan untuk anggaran pertahanan. Di dalam undang-undang No.34/2004 terdapat tiga pasal yang mengatur bisnis TNI. Pertama adalah pasal dua yang melarang keterlibatan anggota TNI dalam berbisnis karena merupakan tentara profesional. Sedangkan kedua pasal terakhir bertujuan mengatur pengambilalihan bisnis TNI oleh pemerintah pusat. Namun cara pengambilalihan bisnis TNI tersebut memerlukan suatu keppres atau keputusan presiden yang termasuk di dalamnya kompensasi bagi TNI yang dapat berbentuk misalnya peningkatan alokasi APBN untuk anggaran pertahanan. Keluarnya suatu keputusan presiden yang memiliki kekuatan hukum mengenai bisnis TNI akan dapat memperjelas bisnis atau kegiatan diluar ketentaraan yang harus dijauhi oleh personel TNI

Tidak ada komentar: