Sabtu, 02 Februari 2008

WEEKLY REPORT

No. III/1 /07 Agustus 2007

A. EKONOMI

SUMMARY

Penandatangan Economic Partnership Agreement (EPA) antara pemerintah Republik Indonesia dan Jepang memulai perkembangan perekonomian Indonesia pada pekan ketiga di bulan Agustus ini. Pertemuan antara Presiden SBY dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada 20 Agustus lalu membuahkan hasil kesepakatan untuk menghapuskan hambatan tariff dalam perdagangan di antara kedua negara di bawah skema EPA tersebut. Berlandaskan kerangka kerjasama ini, Indonesia akan mengurangi tariff sampai sebesar 93 persen dari 11.163 tarif yang berlaku atas produk Jepang. Sementara Jepang berkomitmen untuk membuka lebih dari 90 persen dari tariff yang berlaku atas produk Indonesia. Kesepakatan liberalisasi perdagangan antara Jepang dan Indonesia ini mendapatkan tanggapan beragam dari berbagai kalangan. Khususnya dalam perspektif pemerintah, kerangka EPA ini dipandang sebagai peluang besar untuk meningkatkan investasi dan daya saing produk Indonesia. Akan tetapi, tidak sedikit juga pihak yang memandang kerjasama perdagangan ini bersifat sangat timpang, di mana Indonesia akan cenderung lebih dirugikan dan Jepang mendapatkan banyak keuntungan dari kerjasama ini.

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2008 yang disampaikan SBY dalam rapat paripurna dengan DPR pekan lalu, juga masih menjadi warna utama dalam isu ekonomi yang berkembang pada minggu ini. Persoalan RAPBN yang berkembang diwarnai oleh reaksi berupa kritik dan pesimisme terhadap optimisme pemerintah yang tercermin dalam RAPBN dan asumsi makro ekonomi 2008. Berbagai kritik terutama muncul dari beberapa fraksi di DPR yang menyoroti titik kelemahan dari RAPBN dan asumsi makro ekonomi Indonesia di tahun 2008 yang dinilai terlalu optimis dan tidak realistis.

Antrian panjang untuk mendapatkan minyak tanah terjadi di beberapa daerah selama satu pekan terakhir. Kelangkaan minyak tanah ini terjadi disinyalir sebagai dampak dari kepanikan masyarakat akan pasokan minyak tanah terkait dengan upaya pengurangan pasokan dalam kerangka program pemerintah untuk mengkonversi penggunaan minyak tanah ke elpiji. Sejak dimulainya program konversi ini pada bulan Mei sampai dengan Agustus, tercatat sebanyak 506.680 keluarga yang telah mencapat kompor gas gratis di daerah Jakarta, Tangerang dan Depok. Pertamina kemudian mengurangi suplai minyak tanah ke wilayah-wilayah tersebut mencapai 32.250 kilo liter. Kenaikan harga minyak tanah pun tidak dapat dihindari sebagai akibat dari kelangkaan pasokannya. Tindakan spekulan yang menimbun minyak tanah untuk menggandakan keuntungan juga disinyalir berada di balik persoalan kelangkaan minyak tanah di beberapa daerah selama sepekan ini.

Persoalan yang dihadapi oleh berjuta keluarga miskin di negeri ini seakan tak pernah berhenti. Seiring dengan terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga minyak tanah, harga bahan-bahan kebutuhan pokok juga menunjukkan kenaikan drastis pada minggu ini. Di Bogor misalnya, sejak awal bulan harga bahan-bahan pokok mengalami kenaikan sebesar 4-10 persen. Di tambah lagi dengan harga minyak goreng yang terus meroket selama beberapa bulan terakhir, semakin menambah beban ekonomi yang harus ditanggung keluarga miskin di Indonesia. Ironisnya, Wapres Jusuf Kalla justru menyarankan kepada masyarakat agar mengurangi konsumsi terhadap barang-barang pokok yang mengalami kenaikan. Dengan demikian, masyarakat miskin yang telah berada dalam keadaan minim kondisi justru disarankan untuk mengurangi lagi konsumsi mereka, sungguh pemerintah yang tidak memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap kondisi riil masyarakat miskin.

Renegosiasi kontrak karya pertambangan yang disarankan Joseph Stiglitz tampak sebagai sebuah strategi yang efektif untuk mengatasi persoalan keterbatasan dana pemerintah yang tercermin dalam APBN dan sebagai sebuah upaya untuk menciptakan keadilan bagi rakyat. Sedikitnya tiga strategi yang ditawarkan Stiglitz kepada pemerintah Indonesia sebagai amunisi untuk melakukan renegosiasi kontrak karya dengan perusahaan pertambangan asing. Ia juga mencontohkan kisah sukses Bolivia yang berhasil merenegosiasi kontrak karya dari 12% menjadi 82%. Sehingga wacana renegosiasi bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan pemerintah, dan jika pemerintah memiliki keberanian dan keinginan kuat maka upaya renegosiasi tersebut dapat tercapai. Akan tetapi, rencana yang ditunjukkan pemerintah Indonesia untuk melakukan renegosiasi kontrak karya dengan PT. Freeport yang berkembang pada pekan lalu, tampak hanya sekedar isapan jempol semata dan marak dinodai oleh kepentingan politik kekuasaan, bukan untuk memberikan keadilan kepada rakyat.

Sementara itu, dominasi paradigma neoliberal dalam bentuk penegasian cakupan dan efektifitas entitas negara dalam perekonomian semakin menguat seiring dengan upaya pemerintah untuk melakukan liberalisasi total wilayah-wilayah perbatasan dalam bentuk kawasan ekonomi khusus atau kawasan perdagangan bebas. Sebagaimana konsep negara kawasan yang digulirkan oleh seorang hyper-globalis Kenichi Ohmae sebagai entitas ekonomi, politik dan budaya yang lebih relevan di tengah derasnya arus globalisasi, bentuk-bentuk penyatuan ekonomi kawasan ini memandang negara-bangsa sebagai entitas ekonomi politik telah usang dan tidak relevan lagi. Akan tetapi, justru pemerintah Indonesia sendiri yang memfasilitasi terbentuknya kawasan-kawasan ekonomi liberal tersebut. Pada tahun pemerintah telah menyepakati pembentukan kawasan ekonomi khusus Batam-Bintan-Karimun (BBK) yang terintegrasi dengan ekonomi Singapura, di mana Peraturan Pemerintah yang melandasi pembentukan kawasan perdagangan bebas tersebut telah diberlakukan oleh pemerintah.

RECENT ECONOMIC DEVELOPMENT

1. RI-Jepang Economic Partnership Agreement (IJEPA)

Pada tanggal 20 Agustus 2007, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian kerjasama perdagangan dengan Jepang dalam skema Economic Partnership Agreement (EPA). Terdapat beberapa poin penting yang menjadi substansi dari perjanjian kerjasama ekonomi di antara kedua negara tersebut. Pertama, penghapusan hambatan tariff dalam perdagangan antara kedua negara. Indonesia akan mengurangi tariff mencapai 93% dari 11.163 tarif yang berlaku terhadap produk Jepang, 58% dari tariff tersebut akan dihapuskan mencapai nol persen segera setelah kesepakatan tersebut diimplementasikan. Sementara Jepang akan membuka lebih dari 90% dari 9.275 tarif yang ada atas produk Indonesia di mana 80% di antaranya akan dimulai dalam waktu dekat. Kedua, EPA juga mengandung kerjasama teknis dalam bentuk institutional capacity building pada sektor swasta dan pemerintah yang dinilai sebagai vital dan strategis bagi Indonesia. Banyak kalangan yang memandang bahwa tanpa adanya kapasitas institusional yang kuat untuk dapat memenuhi standar kualitas barang dan jasa Jepang, maka Indonesia tidak akan mampu memanfaatkan peluang perdagangan yang tercipta dari EPA tersebut. Ketiga, bantuan teknis Jepang terhadap Indonesia dalam bentuk pembangunan pusat-pusat industri manufaktur; pembentukan badan sertifikasi di Indonesia untuk dapat memenuhi standar Jepang atas produk-produk pertanian, kehutanan dan perikanan; kerjasama teknis dalam pengembangan sistem pelatihan di Indonesia untuk pekerja kesehatan, nelayan dan pekerja di bidang pariwisata; peningkatan iklim investasi dan penyederhanaan prosedur izin usaha. Keempat, pasokan gas yang stabil dari Indonesia ke Jepang menjadi landasan dari kerjasama ini, di mana dalam kesempatan yang sama pemerintah RI dan Jepang juga menyepakati proyek minyak, gas bumi dan listrik bernilai US$3,97 miliar. Kelima, isu-isu non-konvensional juga menjadi pokok bahasan dalam pertemuan kedua pemimpin negara dalam kerangka EPA tersebut, di mana dikeluarkan pernyataan bersama mengenai isu perubahan iklim dan energi serta pemberian hibah oleh pemerintah Jepang kepada Indonesia sebesar US$ 15 juta untuk menangani kasus flu burung. Keenam, Japan External Trade Organization (JETRO) dalam kerangka kerjasama EPA ini juga akan membantu pengembangan sektor usaha kecil dan menengah dan memfasilitasi program pembangunan kapasitas untuk mempromosikan produk Indonesia di Jepang.

Terdapat dua pandangan terhadap skema kerjasama EPA antara pemerintah Indonesia dan Jepang ini. Pertama, pandangan yang optimis bahwa kerjasama perdagangan ini akan membawa dampak yang sangat positif bagi perekonomian Indonesia. Menteri Perdagangan misalnya, memandang kerjasama EPA tersebut akan menjadi momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing produk dan iklim investasi. Ketua Kadin MS. Hidayat juga memiliki pandangan yang serupa, di mana ia menilai bahwa pengembangan pengetahuan dan ketrampilan industri pendukung di Indonesia akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap barang-barang industri impor. Ia menyatakan bahwa terdapat sekitar 40 juta UKM di Indonesia, dengan mengembangkan 5% saja dapat memiliki dampak signifikan bagi perindustrian, di mana dalam lima tahun ke depan Indonesia akan mampu memasok 50% dari komponen yang dibutuhkan oleh industri otomotif. Kedua, pandangan yang skeptis dan pesimis akan kerjasama perdagangan RI-Jepang di bawah payun EPA ini. Kesepakatan ini dinilai hanya akan menguntungkan Jepang dan beberapa perusahaan besar dalam sektor tertentu di Indonesia. Bantuan yang diberikan Jepang kepada Indonesia akan dilakukan dalam bentuk program pengembangan yang fokus pada kapabilitas manufaktur UKM, sehingga mereka hanya akan menjadi perusahaan pendukung bagi rantai produksi yang lebih besar dalam sektor otomotif, elektronik dan konstruksi. EPA juga dinilai hanya akan memberikan kebebasan dan jaminan kepada investor Jepang berinvestasi di Indonesia. Sementara itu di lain pihak tidak ada kepastian atau kewajiban bagi para investor tersebut untuk datang ke Indonesia. Liberalisasi sektor jasa yang juga menjadi poin penting dalam kerjasama ini dinilai membahayakan kelangsungan sektor jasa yang terkait dengan kepentingan publik, terutama sektor pendidikan dan kesehatan. Terlebih lagi, jika kita menyimak hubungan antara Indonesia dan Jepang selama ini yang tidak pernah membuat Indonesia menjadi semakin mandiri, kerangka kerjasama baru ini justru akan semakin meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap Jepang. Pengusaha-pengusaha nasional juga skeptis terhadap EPA ini. APINDO misalnya, menilai Jepang menerapkan standar ganda dalam menjalin kerjasama EPA ini. Berbagai permasalahan dunia usaha di Indonesia masih memunculkan keraguan apakah investor Jepang berani mengambil resiko untuk menginvestasikan dananya di Indonesia. Terlebih lagi, dimasukkannya unsur kerjasama dalam proyek energi dalam EPA ini semakin memperbesar kecurigaan bahwa Jepang hanya menggunakan EPA untuk menjamin pasokan energi dari Indonesia ke negeri matahari terbit tersebut. Terlebih lagi pasokan gas bumi dari Indonesia ke Jepang menjadi fondasi bagi kerjasama EPA tersebut.

2. Kritik atas RAPBN dan Asumsi Makroekonomi 2008

RAPBN dan asumsi ekonomi makro tahun 2008 yang disampaikan SBY pada pekan lalu, terus mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Kali ini, hujan kritik datang dari beberapa fraksi di DPR yang secara umum menilai RAPBN dan asumsi ekonomi makro tersebut terlalu ambisius dan gagal dalam menopang perekonomian dan kesejahteraan masyarakat banyak. Fraksi PDI-P memandang bahwa target pertumbuhan 2008 yang dicanangkan pemerintah mencapai 6,8% adalah tidak realistis. Alokasi Rp. 2 triliun untuk proyek pembangunan infrastruktur hanya akan menguntungkan perusahaan. Jaminan tersebut seharusnya hanya dialokasikan untuk sektor-sektor yang benar-benar menguntungkan publik seperti pertanian. Sementara itu, fraksi PAN menilai target pertumbuhan tahun depan yang dicanangkan pemerintah terlalu optimistis, dengan mempertimbangkan pengeluaran pemerintah yang melampaui penerimaan pajak negara. Begitu juga dengan fraksi PKS yang menilai laju inflasi rendah yang diasumsikan pemerintah di tahun 2008 bersifat kontradiktif dengan kenyataan. Sementara itu, fraksi PPP mempertanyakan kapabilitas pemerintah dalam untuk meningkatkan investasi sebesar Rp. 1, 296 triliun di tahun depan untuk menopang target pertumbuhan yang dipatok 6,8%.

Jika kita menyimak perdebatan seputar RAPBN dan asumsi ekonomi makro 2008, tampak bahwa persoalan anggaran telah menjadi hanya sekedar komoditas politik bagi kepentingan kekuasaan. Bagi SBY sendiri, RAPBN dan asumsi ekonomi makro yang optimistis tersebut merupakan sebuah bentuk politik pencitraan yang ditujukan untuk mendapatkan predikat populis di mata masyarakat menjelang pemilu 2009. Sementara, bagi partai politik yang ada di DPR, setiap titik celah kelemahan di dalam RAPBN dan asumsi ekonomi makro yang disampaikan pemerintah dijadikan sebagai komoditas politik untuk menekan pemerintah dan menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka lebih pro kepada publik, bukan pemerintah.

3. Kelangkaan Minyak Tanah

Hampir setiap hari dalam satu pekan terakhir, media massa memberitakan mengenai kelangkaan minyak tanah yang melanda beberapa daerah di Indonesia. Terdapat beberapa faktor yang dinilai menjadi penyebab bagi terjadinya krisis minyak tanah yang sangat membebankan rakyat miskin ini. Pertama, program konversi minyak tanah ke elpiji yang dimulai pemerintah pada Mei 2007 menyebabkan pasokan minyak tanah untuk wilayah-wilayah yang telah mendapatkan distribusi kompor dan tabung gas dikurangi. Kondisi di mana penggunaan kompor gas belum berjalan sepenuhnya, namun pasokan minyak tanah sudah dikurangi inilah yang menjadi penyebab terjadinya kelangkaan minyak tanah. Banyak keluarga yang hanya memiliki kemampuan untuk membeli minyak tanah satu liter per hari, dan mereka tidak mampu untuk membeli gas yang bisa digunakan untuk tiga hari. Sehingga, masyarakat yang telah mendapatkan kompor dan tabung gas tetap membeli minyak tanah, sementara pasokannya sudah mulai dikurangi. Kedua, spekulan juga disinyalir menjadi salah satu penyebab dari terjadinya kelangkaan minyak tanah ini.

Perdebatan pun akhirnya dimulai, mengenai siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya kelangkaan minyak tanah di beberapa daerah ini. DPR menyalahkan pemerintah yang tidak mampu mengawasi pendistribusian minyak tanah sehingga diselewengkan oleh para spekulan atau mafia minyak. BPH Migas dan Hiswana akan dipanggil DPR untuk menjelaskan hal ini. Pemerintah juga dinilai tidak berhasil dalam melakukan sosialiasi program konversi minyak tanah ke elpiji kepada masyarakat, sehingga masyarakat tetap memilih menggunakan minyak tanah. Pertamina juga menyalahkan BPH Migas sebagai pihak yang bertanggung jawab atasi kelangkaan minyak tanah, karena pengawasan terhadap penyelewengan distribusi minyak tanah sehingga menyebabkan kelangkaan adalah tugas dari BPH Migas bukan wewenang Pertamina yang hanya bertugas menyalurkan. Pertamina sendiri menyatakan bahwa yang terjadi bukanlah kelangkaan, karena stok minyak tanah tetap pada kondisi yang aman, 27 hari. Akan tetapi, ada aturan kuota karena minyak tanah tersebut disubsidi, sehingga penyalurannya tidak boleh sembarangan. Ironisnya, SBY justru menyalahkan rakyat sebagai penyebab dari kelangkaan minyak tanah tersebut. Ia berargumen bahwa meski konversi minyak tanah sudah disosialisasikan, namun masyarakat kembali menggunakan minyak tanah dan minyak tanah kembali digunakan bukan hanya untuk keperluan rumah tangga, tetapi juga keperluan di luar rumah tangga. Menyedihkan memang, bagi rakyat kecil yang sedang menanggung berat beban perekonomian yang semakin mahal harus menerima ekses dari inkapabilitas pemerintah dalam mengatasi persoalan ekonomi, bahkan mereka juga yang harus disalahkan sebagai penyebab dari permasalahan tersebut.

Pada dasarnya, akar dari kelangkaan minyak tanah yang terjadi pada beberapa hari terakhir terletak pada program konversi minyak tanah ke elpiji yang dicanangkan oleh pemerintahan SBY-JK. Dalam tataran ideal, program konversi minyak tanah ke gas ini memang bersifat positif, mengingat pasokan gas bumi yang cukup besar dibandingkan dengan minyak bumi yang semakin menipis. Akan tetapi, terdapat beberapa persoalan yang sangat penting yang harus kita soroti di balik program konversi yang berdampak pada kelangkaan pasokan minyak tanah yang menjadi konsumsi rakyat miskin. Pertama, program konversi ini sarat dengan tarik menarik kepentingan ekonomi politik pengusaha penguasa. Jika kita menelusuri proses dari program ini, terlihat bahwa pada awalnya SBY mengusulkan agar dilakukan konversi dari minyak tanah ke batubara, tetapi dampak lingkunganya sangat besar. Program konversi ke elpiji merupakan program JK, yang sarat dengan kepentingan ekonomi, karena program konversi minyak tanah ke elpiji merupakan proyek yang membutuhkan biaya besar. Terlebih lagi jika kita melihat yang terlibat dalam produksi kompor dan tabung gas, bukanlah industri kecil, tetapi industri dengan kapasitas yang besar yang memiliki teknologi produksi tersendiri. Dengan kata ain, terdapat segelintir pengusaha yang mengeruk keuntungan besar di balik program konversi minyak tanah ke gas. Sementara, rakyat miskin yang memang bergantung pada bahan bakar minyak tanah ini menjadi korban. Tidak hanya itu, produsen kompor minyak dan para pengecer minyak tanah yang jumlahnya ribuan juga menjerit sebagai ekses dari program ini. Kedua, program konversi minyak tanah ke gas ini dilaksanakan secara premature tanpa ditopang oleh strategi yang jelas yang disertai dengan antisipasi atas berbagai persoalan yang muncul. Transisi pemakaian dari minyak tanah ke gas memerlukan waktu yangcukup panjang. Dibutuhkan pertimbangan yang matang atas banyak hal terutama terkait dengan daya beli masyarakat yang masih sangat rendah. Selain itu, pemerintah juga tidak dapat begitu saja melepaskan subsidi setelah program konversi dilaksanakan. Pemerintah harus tetap mensubsidi masyarakat untuk membeli minyak tanah dan mensubsidi masyarakat yang sudah menggunakan elpiji. Terlebih lagi, persoalan minyak tanah memang melekat dalam kehidupan rakyat miskin, sehingga pertimbangan pengalihan pemakaian ke gas tidak hanya mempertimbangkan faktor ekonomis, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor psikologis, sosial dan budaya masyarakat. Ketiga, program konversi minyak tanah ke elpiji ini pada intinya merupakan upaya pemerintah untuk menutupi defisit RAPBN-P 2007 yang mencapai 1,6 persen. Dengan adanya program konversi ini pemerintah mentargetkan penghematan subsidi sebesar Rp. 745,05 miliar pada tahun 2007 dengan target volume minyak tanah yang terkonversi sebesar 319.042.680 liter. Pada akhir tahun ini pemerintah mentargetkan telah terdapat 5,6 juta keluarga di Jabodetabek, Jabar, Jateng, DIY, Jatim dan Bali yang mengkonversi pemakaian minyak tanah ke gas. Hal ini berarti, untuk membiayai defisit APBN sebagai hasil dari pembiayaan proyek-proyek pembangunan infratsruktur yang belum tentu dirasakan masyarakat hasilnya dan dari pembiayaan belanja pemerintah dalam bentuk kenaikan gaji pegawai dan pejabat negara serta yang terpenting adalah untuk membayar utang luar negeri yang selalu menjadi biang defisit APBN, rakyat justru yang harus menanggung bebannya. Keempat, program ini juga bermakna ketidakmampuan pemerintah untuk memaksimalkan produksi minyak yang harus ditanggung oleh rakyat. Menyimak trend penurunan produksi minyak Indonesia selama beberapa tahun terakhir di mana pada tahun 1999 produksi minyak yang mencapai 1,4 juta barrel per hari, sementara pada tahun 2007 ini turun drastis hanya sebesar sekitar 970 ribu barrel per hari, terlihat bahwa kapasitas pemerintah semakin menurun untuk memproduksi minyak. Dan sekali lagi, rakyat yang harus menanggung beban dari ketidakmampuan pemerintah tersebut. Ironisnya, trend penurunan produksi minyak tersebut sangat terkait dengan keberadaan UU Migas tahun 2001 yang justru diterbitkan ketika SBY menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi.

4. Kenaikan Harga Bahan-Bahan Pokok

Kenaikan harga bahan-bahan pokok mulai terjadi di beberapa daerah selama beberapa hari terakhir. Di Bogor misalnya, terhitung sejak awal Agustus harga bahan-bahan pokok mengalami kenaikan sebesar 4-10 persen. Hal serupa juga terjadi di Jakarta Timur, di mana terjadi kenaikan harga bahan pokok seperti telur, cabe dan gula. Sementara itu, harga minyak goreng yang memang telah mngalami kenaikan selama beberapa bulan terakhir terus menunjukkan kecenderungan yang serupa. Ironisnya, JK justru menyarankan kepada masyarakat agar mengurangi konsumsi bahan-bahan pokok yang mengalami kenaikan tersebut.

Kenaikan harga bahan-bahan pokok akan terus menjadi persoalan yang menghantui perekonomian rakyat miskin dalam jangka panjang di negeri ini. Terdapat dua faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama¸ liberalisasi perdagangan dan liberalisasi harga yang diimplementasikan pemerintah Indonesia secara premature sejak mengikat komitmen dengan WTO. Harga bahan-bahan pokok terutama produk-produk pertanian terus bersifat fluktuatif yang cenderung mengalami kenaikan sejak pemerintah menyepakati Agreement on Agriculture (AOA) pada saat pendirian WTO di tahun 1995. Sejak saat itu, berbagai hambatan perdagangan terhadap produk-produk pertanian di Indonesia dihapuskan. Terutama dengan dilepaskannya status state trading enterprise BULOG, pasar domestik beras dibanjiri oleh beras impor yang tentu saja sangat merugikan petani Indonesia. Bahkan negara-negara maju seperti Uni Eropa, Jepang dan Korea Utara pun tetap mempertahankan proteksi terhadap petani dan produk pertanian mereka, ironisnya Indonesia justru membuka lebar-lebar pintu masuk produk-produk pertanian impor. Kedua, penghapusan subsidi bahan-bahan pokok oleh pemerintah sebagai kondisionalitas utang yang tercantum dalam letter of intent dengan IMF. Bahan-bahan pokok yang mengalami kenaikan dewasa ini merupakan produk-produk yang dalam daftar LOI IMF harus dihapuskan subsidinya. Kenaikan harga merupakan konsekuensi langsung dari penghapusan subsidi pemerintah dalam kerangka pemenuhan kondisionalitas IMF yang diimplementasikan dari tahun 1997 sampai 2003. Ketiga, khusus mengenai kenaikan harga minyak goreng sebagai akibat dari tingginya harga dan permintaan minyak goreng di tingkat internasional, proteksi terhadap konsumen domestik harus dijadikan prioritas pemerintah. Pemenuhan kebutuhan domestik harus menjadi prioritas bukan pemenuhan ekspor yang hanya menguntungkan pengusaha semata. Sekali lagi ini merupakan ekses dari liberalisasi perdagangan. Pemerintah seharusnya tidak hanya menempuh upaya peningkatan pungutan ekspor dan operasi pasar semata. Tetapi, yang paling penting harus dilakukan untuk mengatasi kenaikan harga minyak domestik adalah dengan memberlakukan kuota ekspor sehingga kebutuhan minyak goreng domestik dapat terpenuhi.

Jika trend kenaikan harga bahan pokok ini terus berlanjut, dapat diprediksikan laju inflasi pada bulan Agustus ini akan semakin tinggi. Sebagaimana masih kuat dalam ingatan kita bagaimana laju inflasi pada bulan Juli yang diumumkan BPS pada awal Agustus lalu sebesar 0,72 persen telah memicu sentimen negatif pada pasar dan berdampak pada semakin terdepresiasinya rupiah dan menjadi lingkaran setan bagi kenaikan harga kembali.

5. Renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan

Sebagaimana pada pekan lalu telah dilaporkan mengenai upaya pemerintah untuk merenegosiasi kontrak karya dengan PT. Freeport yang cenderung lebih bersifat mengakomodir kepentingan politik kekuasaan, pada pekan ini Joseph E. Stiglitz memberikan beberapa strategi yang dapat ditempuh pemerintah untuk melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan dengan perusahaan-perusahaan asing. Menurut Stiglitz, renegosiasi kontrak karya bukanlah merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Pengalaman Bolivia di bawah kepemimpinan Evo Morales yang berhasil merenegosiasi kontrak bagi hasil dari 18 persen menjadi 82 persen untuk pemerintah. Renegosiasi kontrak karya pertambangan ini memang merupakan sebuah keharusan untuk diimplementasikan, di mana selama ini perusahaan-perusahaan pertambangan meninggalkan lingkungan dalam keadaan rusak tanpa membayar dengan harga pasar secara penuh. Namun bagaimana caranya? Menurut Stiglitz, setidaknya terdapat tiga cara yang dapat ditempuh pemerintah. Pertama, pemerintah dapat menjalin sekutu dengan NGOs di Amerika Serikat dan Eropa yang peduli dengan kekayaan alam yang berguna untuk rakyat seperti NGO Revenue Watch dan Publish What You pay. Keberadaan NGOs ini menunjukkan bahwa persoalan keadilan dalam bagi hasil kontrak karya pertambangan tidak hanya menjadi perhatian oleh negara-negara dunia ketiga, tetapi juga masyarakat di negara maju sendiri juga peduli dengan hal ini, sehingga dengan kata lain Indonesia punya sekutu di negara-negara asal perusahaan-perusahaan pertambangan itu sendiri. Kedua, kontrak karya pertambangan di Indonesia diuat sebagian besar pada masa pemerintahan Soeharto dan banyak yang korup. Jika pemerintah Indonesia sekarang mempertahankan kontrak pertambangan tersebut sama artinya dengan mempertahankan korupsi. Jika pemerintahan SBY-JK memang berkomitmen untuk memberantas korupsi, maka renegosiasi kontrak karya pertambangan merupakan salah satu upaya yang cukup efektif. Sementara SBY sibuk mengejar asset negara yang dilarikan koruptor ke luar negeri, asset negara yang terus dikeruk secara tidak adil oleh perusahaan pertambangan di Indonesia terus terjadi. Ketiga, pemerintah juga dapat memaksa perusahaan-perusahaan pertambangan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan. Upaya ini dapat dilakukan melalui aturan-aturan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan. Jika ketiga strategi tersebut juga dirasakan masih sangat sulit untuk merenegosiasi kontrak, maka pemerintah dapat menempuh upaya mengenakan pajak yang lebih tinggi kepada perusahaan-perusahaan tersebut.

Jika kita mencermati konteks wacana yang berkembang di dunia internasional dewasa ini, di mana intervensi pemerintah dalam bentuk proteksi dan regulasi tidak lagi menjadi hal yang tabu, bahkan IMF sendiri juga telah mengalami pergeseran pandangan yang melihat tidak melakukan intervensi terhadap pasar itu berbahaya dikarenakan instabilitas pasar, maka renegosiasi kontrak pertambangan merupakan sebuah bentuk intervensi pemerintah yang positif. Sekarang tinggal menunggu keberanian dan keinginan politik dari pemerintah untuk dapat melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan secara maksimal, yang menjadi tolok ukur keberpihakan pemerintah kepada rakyat atau lebih kepada korporasi-korporasi asing yang merusak lingkungan dan menyengsarakan rakyat.

6. Kawasan Ekonomi Khusus Batam-Bintan-Karimun (BBK)

Upaya pemerintah Indonesia dan Singapura untuk membentuk kawasan ekonomi khusus (special economic zone) di kepulauan Batam, Bintan dan Karimun (BBK) terus bergulir pada pekan ini. Rencananya awal September diusulkan akan dibentuk Dewan Kawasan Batam, Bintan dan Karimun. Di masing-masing kawasan akan terdapat Dewan Kawasan yang diajukan menyusul 3 Peraturan Pemerintah yang terkait dengan Kawasan Ekonomi Khusus, yaitu PP No. 46 tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam, PP No. 47/2007 tentang KPBPB Bintan dan PP No. 48/2007 tentang KPBPB Karimun. Dengan dibentuknya Dewan Kawasan ini tidak berarti bahwa Badan Otorita Batam (BOB) akan bubar, tetapi bisa dimanfaatkan atau dilebur. Target investasi lima tahun ke depan di kawasan BBK sebesar US$ 15 miliar. Sementara saat ini, total investasi yang telah terealisasi di kawasan tersebut sekitar US$ 9 miliar.

Wacana pembentukan kawasan ekonomi khusus ini terinspirasi oleh kemajuan ekonomi yang terjadi di segitiga pertumbuhan kawasan selatan China yang ditopang oleh peleburan ekonomi provinsi-provinsi selatan China dengan Hong Kong. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, segitiga pertumbuhan Singpura-Johor-Riau (Sijori) yang telah dibentuk sejak awal tahun 1990-an merupakan sebuah bentuk kawasan pertumbuhan ekonomi yang dinilai oleh berbagai kalangan sebagai efektif. Kenichi Ohmae merupakan pendukung dari penciptaan kawasan-kawasan ekonomi khusus di dunia. Ia melihat bahwa di tengah derasnya arus globalisasi yang ditandai oleh pergerakan bebas investasi, industri, informasi dan individual consumen, menyebabkan keberadaan entitas negara-bangsa yang selama ratusan tahun menjadi unit ekonomi politik dan sosial telah usang dan tidak relevan lagi. Untuk itu menurutnya, diperlukan unit baru yang lebih relevan sebagai entitas ekonomi, politik dan sosial di tengah era globalisasi. Integrasi ekonomi di kawasan ekonomi khusus seperti yang terjadi di China dan Hong Kong yang ia sebut sebagai negara kawasan merupakan unit yang paling relevan dan efektif. Di dalam negara kawasan tersebut, peranan pemerintah menjadi sangat minimal karena individu telah memiliki preferensi sendiri dalam menentukan aktifitasnya.

Akan tetapi, semakin derasnya wacana pembentuk kawasan ekonomi khusus ini tidak sepenuhnya positif dan mengandung berbagai resiko dan bahaya. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang terpusat di kawasan tersebut tidak menjamin adanya distribusi dan manfaat yang dirasakan oleh wilayah lainnya. Sehingga potensi disparitas ekonomi antar kawasan akan semakin tinggi. Sebagaimana yang terjadi di China, meskipun laju pertumbuhan begitu tinggi namun kesenjangan ekonomi tetap tinggi yang bermakna tidak adanya pemerataan. Hal ini tercermin dari indeks gini China yang masih berada pada level yang tinggi. Begitu juga halnya dengan segitiga pertumbuhan Sijori, tidak menjamin adanya pemerataan di kawasan-kawasan lainnya. Kondisi akan memicu terjadinya disparitas kawasan yang tinggi dan dapat juga memicu terjadinya konflik. Kedua, khusus mengenai kawasan Sijori yang telah bertahun-tahun berjalan lebih ditopang karena komplementaritas dalam bentuk pertukaran pemenuhan kebutuhan. Riau menyediakan sumber energi bagi Singapura dan sebaliknya Singapura menjadi sumber investasi bagi perekonomian Riau. Sementara itu, Malaysia menjadi pemasok air bersih bagi Singapura. Integrasi ekonomi di kawasan yang telah terjalin sejak lama tersebut juga tidak menjamin adanya konsistensi investasi di Riau. Di mana investasi dari Singapura juga mengalami fluktuasi, karena kebebasan investasi dan informasi tersebut maka investor akan lari ke wilayah-wilayah yang mereka nilai lebih menguntungkan. Ketiga, karena interaksi masyarakat di kawasan tersebut semaki intens, maka tidak menutup kemungkinan penduduk di kawasan tersebut akan kehilangan rasa kebangsaan. Begitu juga dengan preferensi bebas individu dalam menentukan konsumsi, dapat dipastikan bahwa penduduk di kawasan tersebut akan lebih memilih produk-produk dari kawasan sendiri dan produk di luar kawasan tersebut akan kalah bersaing. Untuk itu, pemerintah sebaiknya lebih memikirkan matang-matang upaya pembentukan kawasan-kawasan ekonomi khusus ini dengan mempertimbangkan dampak yang akan mengikutinya.

B. POLITIK

SUMMARY

Memasuki minggu ke III di bulan agustus 2007, nampaknya semua energi para politikus dan kelompok kepentingan di negeri tercinta ini mulai fokus dan mengarah pada pola-pola marketing untuk menarik simpati dan perhatian publik (brand image/political image)guna pencapaian target “suksesi kekuasaan” pada 2009. Tidak perlu heran ataupun kaget karena memang realitas seperti inilah yang selalu terjadi di negeri ini menjelang di selenggarakannya pesta demokrasi. Demokrasi hanya dijadikan sebagai symbol untuk memuaskan libido kekuasaan oleh para elit politik. Rakyat yang secara substantif adalah pemegang kedaulatan dan majikan yang seharusnya dilayani dan dipenuhi semua hak kebutuhannya justru di jadikan sebagai objek eksploitasi sekaligus pihak yang haknya selalu dinegasikan ketika para elit tersebut berkuasa. Namun ketika pesta demokrasi sudah mulai menjelang, para elit tersebut berbondong-bondong “sowan” kepada rakyat dengan “sok” menunjukkan rasa kepeduliannya terhadap nasib rakyat dimana tujuan mereka sebenarnya tidak lain adalah untuk menggenjot popularitas mereka. Maka bisa dikatakan bahwa elit politik kita saat ini adalah kumpulan para pembohong dengan political hypocrite yang diterapkan.

Nuansa political image para elit jelang pemilu 2009 tersebut dapat kita deteksi dari dua sisi: pertama, secara internal yang meliputi beberapa kebijakan pemerintah dan kinerja parlemen yang cenderung bersifat pro-rakyat. Kedua, secara eksternal dalam hal ini menyangkut upaya-upaya elit non-government yang berusaha memanfaatkan peluang atau momentum untuk mengakomodasi kepentingan politiknya sekaligus guna memperoleh sorotan media sehingga popularitasnya akan terangkat.

Selain seputar political image, ada empat hal menarik lainnya dalam minggu ini yaitu pertama, mengenai hasil rapat konsultasi antara Presiden dengan DPR yang membahas tentang revisi UU 32 2004 terkait dengan putusan MK yang mengabulkan Judicial Review UU tersebut tentang calon independen untuk pilkada. Kedua, perkembangan persidangan PK munir yang menghadirkan novum dalam bentuk rekaman telepon antara Polly dengan Indra dimana sejumlah nama pejabat tinggi negara jadi ikut terseret. Ketiga, kondisi empirik terjadinya ketimpangan antara pusat dan daerah soal alokasi anggaran dana dalam RAPBN 2008. Hal tersebut diungkap dalam sidang paripurna DPD tanggal 23 Agustus 2007. Dan yang terakhir adalah perkembangan proses penanganan kasus BLBI yang mencoba menjalin kerjasama dengan pemerintah Australia dalam hal pengajuan ekstradisi atas dua koruptor BLBI.

RECENT POLITICAL DEVELOPMENT

1. Political Image Pemerintah jelang 2009

Tahun ini, pemerintah nampaknya memang sudah membuat rencana strategis guna persiapan 2009 dengan sejumlah kebijakan publiknya yang cenderung bersifat populis dan politis. Hal ini terlihat dari Tema Besar yang diusung pemerintah dalam pembangunan tahun 2008 yaitu “Percepatan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan”. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut adalah pertama, dengan merumuskan RAPBN 2008 yang bersifat ekspansif dan optimistis dengan target pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 % di tengah-tengah gonjang-ganjing krisis keuangan global yang merupakan ekses dari krisis subprime mortgage di AS. Di satu sisi, pemerintah memberikan harapan besar kepada rakyat namun di sisi yang lain perekonomian kita sedang menghadapi ancaman besar dari pasar global. Sepertinya pemerintahan SBY-JK ingin dilihat populis di mata masyarakat dengan RAPBN 2008 tersebut, meskipun kondisi pasar global sedang mengalami gonjang-ganjing namun pemerintah tetap berusaha menunjukkan komitmennya untuk mengedepankan kepentingan rakyat.

Kedua, statement-statement dari pemerintah dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden tentang penyikapan terhadap sejumlah kasus kriminal, seperti kasus penculikan raisyah, kasus penganiayaan TKI, kasus pembakaran pasar tradisional, dan kasus penggergajian rel kereta api mengindikasikan bahwa SBY-JK baik secara individu maupun secara institusional seolah-olah ingin dilihat sebagai sosok yang peduli dengan permasalahan-permasalahan yang tengah dihadapi oleh rakyatnya. Hal ini menjadi sesuatu yang berlebihan apabila seorang presiden atau wakil presiden terlalu sering mengobral statemen yang sebenarnya tidak mempunyai nilai urgensi karena presiden dan wakil presiden sudah mempunyai lembaga-lembaga khusus yang bertugas menanganinya. Terlebih hal tersebut baru dilakukan menjelang pesta demokrasi yang tinggal satu tahun lagi. Jika memang pemerintah punya kepedulian terhadap permasalahan rakyatnya, seharusnya hal tersebut dilakukan semenjak mereka dilantik sebagai Presiden dan wakil presiden. Pertanyaannya kenapa hal tersebut baru dilakukan sekarang?

Ketiga, wacana pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi diantaranya dengan bentuk menaikkan gaji PNS sebesar 20% dan mereformasi sistem pensiun. Lagi-lagi pemerintah ingin memperlihatkan keseriusannya dalam melaksanakan amanat reformasi 1998 yang sebenarnya boleh dibilang terlambat karena baru dilakukan sekarang. KKN, disfungsi institusi dan disfungsi apparatus negara bersumber dari buruknya sistem birokrasi. Oleh karena itu, idealnya reformasi birokrasi menjadi prioritas kebijakan pemerintah yang pertama kali harus dilakukan karena birokrasi di Indonesia adalah akar dari semua permasalahan yang tengah kita hadapi sekarang.

Keempat, adanya upaya politis pemerintah untuk merevisi UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang ingin memasukkan unsur gaji guru ke dalam variabel anggaran pendidikan sehingga dengan demikian target untuk merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dalam RAPBN 2008 bisa terpenuhi. Dapat disimpulkan bahwa upaya revisi UU sisdiknas merupakan akal-akalan pemerintah untuk menutupi target anggaran 20% dari APBN yang pada intinya juga ingin menunjukkan komitmen pemerintah di bidang pendidikan.

Kelima, pembentukan tim pansel KPU oleh Presiden yang belakangan kinerjanya menuai banyak kritik. Secara politis KPU adalah lembaga independen yang sangat strategis terkait dengan fungsinya sebagai penyelenggara pemilu 2009 sehingga terjadinya konflik kepentingan tidak bisa dihindari. Proses atau tahapan penyeleksian anggota KPU oleh Pansel KPU tergolong “nyleneh” dan belum pernah terjadi di Negara-negara lain. Terlebih sejumlah nama-nama mantan anggota KPU tidak lolos dalam tahapan seleksi tersebut. Peranan presiden dalam pembentukan tim pansel KPU di sinyalir tidak hanya membentuk namun juga ikut terlibat jauh “intervensi” untuk kepentingan politiknya di 2009.

2. Konstelasi politik di Parlemen jelang 2009

Parlemen (DPR) adalah lembaga legislasi yang anggotanya berasal dari partai politik yang heterogen sehingga konflik kepentingan antar anggotanya pun menjadi suatu keniscayaan terlebih menjelang pemilu 2009. Ada anggapan yang mengatakan bahwa kerja partai politik di Indonesia dalam 5 tahun adalah 3 tahun pertama membangun konsolidasi politik untuk mencapai kepentingan politiknya dan 2 tahun berikutnya setelah masa suksesi sudah dekat yang dilakukan parpol adalah melakukan persiapan pemilu. Nah, karena anggota DPR adalah orang parpol maka yang dilakukan oleh anggota DPR adalah amanat dari parpolnya sehingga untuk periode 2 tahun menjelang pemilu para anggota DPR sibuk melakukan manuver-manuver politik untuk mendongkrak perolehan suara pada pemilu 2009 nanti. Selama seminggu ini maneuver-manuver politik yang dilakukan oleh para anggota DPR adalah sebagai berikut:

1. Melakukan upaya untuk mempersulit calon independen dalam bursa persaingan di pilkada melalui penetapan standar prosentase dukungan suara yaitu 15% dukungan suara pemilih. Dan juga upaya penolakan terhadap calon independen dalam bursa persaingan di pilpres 2009.

2. Penolakan usulan amandemen UUD 1945 yang di usulkan oleh DPD.

3. Menerapkan political image untuk menaikkan popularitasnya dengan cara melakukan upaya-upaya interpelasi terhadap isu-isu kerakyatan seperti rencana interpelasi lapindo dan rencana interpelasi RAPBN 2008 terkait dengan tidak dipenuhinya anggaran pendidikan sebesar 20%.

4. Pemanfaatan masa reses yang digunakan untuk melakukan kampanye.

5. Upaya saling menjatuhkan kredibilitas sesama anggota DPR dengan mengangkat isu aliran dana BI ke kantong sejumlah anggota DPR.

3. Hasil Rapat Konsultasi Presiden dengan DPR

Rapat konsultasi antara Presiden dengan DPR yang membahas mengenai revisi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah terkait putusan MK yang memperbolehkan calon independen ikut dalam bursa persaingan pilkada telah dilaksanakan pada hari rabu 22 Agustus 2007 kemarin. Alhasil rapat pun menghasilkan sejumlah keputusan yang intinya akan segera menindak lanjuti revisi tersebut dengan target penyelesaian akhir tahun 2007. Artinya, mulai 2008 calon independen sudah bisa ikut berpartisipasi dalam pilkada. Meskipun demikian ada satu keputusan hasil rapat konsultasi yang bertentangan dengan putusan MK yaitu keputusan yang menyatakan bahwa pilkada 2007 tanpa calon independen. Padahal sebelumnya MK telah menyatakan bahwa pilkada yang dilaksanakan setelah keputusan MK tanpa mengikutsertakan calon independen adalah illegal/inkonstitusionil sebab keputusan MK berlaku mengikat segera setelah dibacakannya keputusan tersebut. Nampaknya pemerintah berkerjasama dengan DPR sengaja untuk mengulur-ulur waktu bagi calon independen untuk mengikuti pilkada dengan alasan melakukan revisi UU 32/2004 dulu. Mengingat wacana calon independen untuk pilkada sudah tidak bisa dibendung lagi, maka anggota DPR “orang-orang parpol” pun menggunakan opsi kedua yang bertujuan untuk menghambat calon independen yaitu dengan cara menetapkan prosentase syarat dukungan suara yang dinilai sangat memberatkan calon independen yaitu minimal 15%.

Pada dasarnya untuk membuat payung hukum tentang calon independen tidak perlu menunggu revisi UU 32/2004 karena bisa dengan jalan membuat perpu atau memberikan kewenangan kepada KPU untuk membuat aturan. Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, KPU berwenang membuat regulasi tentang tatacara penyelenggaraan Pilkada. Dalam hal ini KPU bisa menggunakan ketentuan Pasal 68 Ayat (1) Pemerintahan Aceh sebagai acuan. Menurut MK pula, kebijakan tentang pilkada Aceh tidak bertentangan dengan konstitusi sehingga sah-sah saja untuk dijadikan acuan terlebih adanya kesamaan unsur yang melatarbelakangi yaitu krisis kepercayaan terhadap parpol. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan untuk merevisi UU 32/2004 hanya mengulur-ulur waktu untuk menunda pelaksanaan pilkada yang mengikutsertakan calon independen.

4. Novum PK munir

Persidangan lanjutan PK munir yang digelar pada tanggal 22 Agustus 2007 menghadirkan lima orang saksi dan juga barang bukti rekaman percakapan antara Polly dengan Mantan Dirut Garuda Indra Setiawan. Dalam rekaman percakapan tersebut menyeret nama sejumlah pejabat tinggi negara seperti Presiden SBY, Ketua MA Baqir Manan, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji terlibat dalam konspirasi pembunuhan aktivis HAM munir. Rekaman tersebut juga membuktikan adanya keterlibatan BIN lewat surat permintaan (yang berkop surat BIN) kepada Indra Setiawan untuk menugaskan polly sebagai divisi keamanan maskapai. Kesaksian lainnya datang dari Ucok sebagai anggota BIN yang disebut memberikan surat tugas BIN kepada Indra. Ucok mengakui bahwa dirinya sudah sejak lama merencanakan untuk membunuh munir namun sempat gagal. Hal menarik lainnya adalah adanya pengingkaran Ongen atas kesaksiannya dalam BAP dengan alasan intimidasi dari polisi saat pemeriksaan. Namun kesaksian Ongen tersebut dibantah oleh Arini yang mengaku melihat Ongen, Polly dan Munir duduk bareng sedang ngobrol di Coffe Bean Changi. Kontradiksi kesaksian antara satu saksi dengan saksi lainnya semakin mengaburkan siapa dalang sesungguhnya dari kasus pembunuhan munir. Jelas sekali bahwa dalam persidangan lanjutan tersebut menyiratkan ada upaya untuk menghilangkan dugaan keterlibatan Polly dalam konspirasi tersebut sekaligus upaya mem-politisasi kasus munir untuk menjatuhkan kredibititas sejumlah pejabat Negara dan institusi Negara. Dengan kata lain, Pihak yang sebenarnya bertanggung jawab atas pembunuhan munir sengaja ingin melimpahkan kesalahannya kepada pihak lain.

5. Ketimpangan antara Pusat dengan Daerah

Berdasarkan pidato Presiden dalam sidang paripurna DPD menyebutkan bahwa pemerintah pusat telah menaikkan anggaran belanja daerah sebesar 7,6 persen dari APBN-P 2007 yaitu sekitar Rp 19,3 trilliun. Hal tersebut pemerintah lakukan sebagai upaya menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal ke daerah. Meskipun demikian kenaikan alokasi anggaran daerah tersebut masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan kenaikan alokasi anggaran untuk pemerintah pusat yang mencapai 7,2 persen sedangkan alokasi anggaran untuk pemerintah daerah hanya naik 3,2 persen. Jelas sekali masih terdapat ketimpangan perihal alokasi anggaran antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah ketimpangan yaitu sekitar 35,02 % antara belanja pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Struktur belanja pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang timpang seperti ini nyaris tidak berubah sejak APBN 2005 dan berlanjut hingga sekarang. Hubungan antara Pusat dengan Daerah mempunyai sensitifitas yang tinggi sehingga apabila tidak dikelola dengan baik akan melahirkan benih-benih separatisme. Ketidakadilan dan ketimpangan antara pusat dengan daerah di sebut-sebut sebagai biang terjadinya aksi-aksi separatisme seperti yang terjadi di Papua, Maluku, dan Aceh. Idealnya untuk menghindari potensi-potensi konflik yang tidak di inginkan, pemerintah pusat harus mengalokasikan anggaran pusat dan anggaran daerah yang berimbang guna menyeimbangkan kemampuan fiskal antara pusat dan daerah. Dan apabila memang kondisi ini masih sulit untuk direalisasikan maka setidaknya alokasi tersebut minimal hampir seimbang sehingga disparitasnya tidak terlalu jauh seperti sekarang ini. Terjadinya disparitas yang jauh antara pusat dan daerah dalam RAPBN 2008 membuktikan bahwa pemerintah hingga saat ini belum sungguh-sungguh dalam menjalankan kebijakan otonomi daerah.

Ironisnya, dalam pidatonya di hadapan Sidang Paripurna dengan DPD, SBY justru menyatakan bahwa upaya untuk meningkatkan kesejahteraan daerah dalam bidang ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan merupakan salah satu strategi yang efektif untuk mengatasi kesenjangan atau disparitas yang bisa memicu separatisme. Akan tetapi, jika kita melihat perbandingan kenaikan anggaran untuk Pusat dan Daerah yang sangat jompang tersebut, terlihat bahwa komitmen SBY untuk meningkatkan kesejahteraan di daerah bersifat retorika belaka tanpa adanya upaya kongkrit untuk mengimplementasikannya. Sementara ai sendiri menyadari bahwa kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah dapat memicu terjadinya separatisme.

6. Perkembangan Penanganan Kasus BLBI oleh Kejagung

Meskipun upaya penanganan kasus BLBI dinilai diskriminatif namun nampaknya kejagung tidak ambil pusing mengenai apa komentar orang. Sejauh ini kejagung telah membentuk Tim Pemburu Koruptor yang bertugas memburu koruptor BLBI yang berada di luar negeri. Tim tersebut dibentuk guna menindaklanjuti masalah ekstradisi dua terpidana kasus BLBI yang berada di Australia. Dua terpidana tersebut adalah mantan Komisaris Bank Harapan Sentoso (BHS) Eko Edy Putranto dan mantan Dirut Bank Surya Adrian Kiki Ariawan Tim pemburu koruptor saat ini tengah melakukan pembicaraan dengan pemerintah Australia terkait dengan Central of Authority Australia dan juga proses perundingan yang harus di tempuh secara G to G . Menurut Ketua Tim Pemburu Koruptor Muchtar Arifin rencananya pada akhir September, kejaksaan dan kepolisian Australia akan datang ke Indonesia untuk memfinalkan permintaan ekstradisi. Apalagi, Indonesia dan Australia memang sudah memiliki perjanjian ektradisi. Meskipun demikian kita tidak boleh optimistis dulu karena meskipun antara Indonesia dan Australia sudah memiliki perjanjian ekstradisi akan tetapi pada kasus masyarakat papua yang minta suaka di Australia, permintaan ekstradisi Indonesia tidak dilayani oleh Australia. Ataupun kemungkinan lainnya adalah kasus Hendra Raharjda mantan Komisaris Bank Harapan Sentosa (BHS) yang buron  dan di sidang secara in absentia serta kemudian dijatuhi vonis penjara seumur hidup dalam kasus BLBI senilai Rp 1,9 trilliun akan terulang lagi dimana ketika pemerintah Australia kemudian menyetujui permintaan ekstradisi atas Edy Putranto dan Adrian Kiki Ariawan tiba-tiba mereka dinyatakan sudah meninggal otomatis akan menggugurkan kasus pidananya dan ekstradisi pun tidak akan berlaku lagi. Koruptor BLBI umumnya adalah orang kaya yang lari ke luar negeri dengan membawa uang hasil korupsinya di Indonesia bahkan seperti Adrian Kiki Ariawan di sebut sudah berstatus sebagai warga negara Australia, oleh karena itu bukan menjadi hal yang sulit bagi mereka untuk mengganti identitas mereka ataupun membuat pernyataan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah meninggal dengan maksud untuk menggugurkan kasus pidananya.

Di luar itu, Kejagung juga memanggil Kwik Kian Gie untuk meminta keterangan dalam kapasitasnya sebagai mantan Menkoekuin dan mantan Ketua Bappenas dan ex officio anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang pada masa itu mengetahui kronologis permasalahan BLBI. Tindakan kejagung memanggil kwik untuk berdiskusi mengenai permasalahan BLBI (lih. Statement Kwik) hanya membuang-buang waktu dan energi saja karena kerugian negara akibat kasus BLBI dan siapa saja koruptor BLBI sudah jelas tidak perlu dibicarakan lagi. Yang diperlukan dalam penyelesaian kasus BLBI saat ini bukanlah dengan dialektika dan diskusi namun yang diperlukan adalah aksi riil dari kejagung.

C. SECURITY

SUMMARY

Keamanan domestik semakin memprihatinkan di minggu terakhir bulan Agustus ini dimulai dengan peristiwa terbakarnya 4 pasar besar berturut-turut yang membuat SBY geram dan meminta Kapolri untuk mengusutnya. Beragam prasangka dan kecurigaan muncul menghiasi dinamika keamanan dalam negeri yang semakin perlu diantisipasi ketat, apalagi adanya peluru yang nyasar kepondok pesantren mantan presiden RI Gusdur menjadi kegundahan apakah gejolak perseteruan kepentingan politik sedang dimulai dan menanjak dalam menuai benih konflik untuk menggoyang kredibilitas pemerintah yang semakin terasa memburuk. Kebijakan-kebijakannya dan kerap banyak mengandung kepentingan politik dalam perebutan kekuasaan di pemilu 2009 atau memang ini hanya faktor ketidaksengajaan. Indikasi semakin memprihatinkannya keamanan domestik dikuatkan dengan peristiwa penculikan yang membuat SBY dan menteri pemberdayaan perempuan beserta jajaran pemerintahnya sampai turun sikap untuk mengusut tuntas kasus ini tetapi ironisnya peristiwa yang sama memprihatinkan terhadap tindak kekerasan kepada TKI kita tidak dituntaskan seperti kasus penculikan Raisah padahal kejadian kekerasan terhadap pahlawan devisa ini dari tahun ketahun semakin meningkat tetapi penanganan dikepemimpinan SBY-JK tidak kongkrit sejarah kelampun masih terjadi mulai dari korban penyiksaan yang mengakibatkan cacat fisik hingga mental dan mengakhiri penderitaannya dengan bunuh diri dan banyak korban nyawa sia-sia dibantai majikannya tetapi sang pelaku tidak mendapatkan sangsi hukum yang setimpal oleh negara yang bersangkutan justru pemerintahan kita cenderung menyerah mengamininya dengan tidak memperkarakan peristiwa yang melanggar HAM ini. Menangani peristiwa amoral ini pemerintah hanya mengeluarkan Kaukus yang tidak kongkrit dan relevan dalam penanganan kekerasan TKI tidak seperti penanganan kasus penculikan Raysa yang begitu gegap gempita hebohnya.

Di sebuah keprihatinan lonjakan harga kebutuhan bahan pokok di pasaran akibat kekeringan kemarau panjang dan kelangkaan minyak tanah dampak dari konversi sebuah penyelundupan daging impor terbongkar, dimana telah terungkap ada sebanyak 112 kontainer bermuatan Meat Bone Meal tepung daging dan tulang dari daging sapi, babi dan ayam illegal impor dari Eropa disita pihak kepolisian dipelabuhan tanjung priok yang selama ini dideteksi terjangkit penyakit mulut dan kuku sapi gila diperkirakan dari peristiwa ini negara akan dirugikan Rp. 5,61 Miliar. Artinya memang selama ini kerap terjadi penyelundupan barang impor dari eropa dan negara lain yang sangat merugikan dan mengancam kesehatan konsumen Indonesia dimana mentalitas penyelundup para pengeruk keuntungan dari hasil impor barang baku makanan bisnis ini masih menjangkit para pengusaha kita selain merugikan negara dari sindikat impor daging dari Eropa ini berdampak pada stabilitas harga yang mematikan peternak dan petani lokal Indonesia akibat gempuran impor barang dari luar yang lebih murah.

Minggu ini keutuhan wilayah NKRI coba untuk dikuatkan kedaulatan wilayahnya oleh pemerintah dengan mendaftarkan pulau-pulau terluar Indonesia yang belum mempunyai nama dan terdaftar di PBB. Ada sekitar 4.981 pulau di Indonesia dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa untuk diakui keberadaannya sebagai pulau milik Indonesia, tetapi apakah pendaftaran pulau ini mampu menjamin status pulau Indonesia akan aman dari sengketa negara-negara lain dimana ada 10 negara yang berbatasan darat atau laut dengan Indonesia, yaitu Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, Australia, India, Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina dimana posisi Indonesia selama ini selalu dirugikan dalam hal batas wilayah dan kepemilikan dipergulatan dunia internasional seperti kasus lepasnya sipadan dan ligitan. Perjanjian keamanan Selat Malaka dalam minngu ini yang diadakan selama dua hari di Sanur, Bali dimana Indonesia-Malaysia-Singapura semakin menguatkan koordinasi untuk pengamanan Selat Malaka dalam Asean Regional Forum (ARF) akankah akan memberikan sebuah kontribusi keamanan wilayah perbatasan Indonesia yang lebih adil dan setara atau justru Indonesia hanya menjadi pelengkap dari legitimasi wilayah terdekat Selat Malaka dari kekuatan dan penguasaan kontrol negara tetangga kita yang lebih modern dan maju armada militarnya seperti Singapura dan Malaysia, karena pertemunan kali ini bertujuan untuk bertukar pikiran dalam menyamakan persepsi di antara negara partisipan ARF yang membahas masalah-masalah terkait keamanan maritim di kawasan Asia Pasifik. Indonesia semakin menunjukkan komitmen kerjasama militer dengan negara-negara lainnya dalam penguatan pertahanan keamanan seperti pembelian sukoi dari Rusia dan kerjasama pertahanan keamanan dengan Jerman dalam menguatkan kekuatan armada militer dan peningkatan profesionalisme kinerja TNI disebuah minimnya alokasi anggaran pertahanan pada APBN 2008 akankah peningkatan pertahanan keamanan Indonesia semakin kuat dalam menangani gejolak konflik dalam negeri dan ancaman kedaulatan wilayah NKRI dari negara lain dapat maksimal melihat dinamika keamanan domestik dan wilayah perbatasan pulau terluar belum tertangani dengan baik apakah permasalahan kekurangan kapasitas militer kita akan semakin menguat dengan mengandalkan perbaikan persenjataan dan penambahan armada perang tanpa diiringi dengan perbaikan mental prajurit yang rela berkorban secara total seperti yang tercantum dalam janji prajurit disebuah gempuran pragmatisme dan konsumerisme dari pengaruh kekuatan hegemoni kapitalisme global yang semakin merusak tatanan nilai kebangsaan dalam tubuh militer prajurit kita dan dinamika reformasi TNi yang belum berjalan dengan baik dimana dinamika politik kekuasaan membuat elit-elit ditubuh TNI genit dengan kekuasaan 2009 yang ini dapat mengganggu keberlangsungan pembenahan dan pungutan internal militer Indonesia karena tidak fokus dan semakin bercabang berdampak kepada kendornya soliditas didalam tubuh TNI.

Garis besar perguliran isu keamanan minggu ini masih kepada kerapuhan stabilitas jaminan keamanan dan mengantisipasi gejolak keamanan dalam negeri yang belum tertangani dengan baik diiringi dengan jalinan kerjasama pertahanan keamanan yang tidak memberikan kontribusi secara riil untuk melindungi warga negara Indonesia beserta keutuhan wilayah NKRI terbukti dari beberapa kasus yang belum ditangani serius oleh pemerinta seperti permasalahan TKI, teror keamanan penculikan, penembakan dan pembakaran pasar ditengah-tengah tingkat kemiskinan meningkat dalam masyarakat dan belum terkelolanya aset-aset nasional kita dalam penguatan keutuhan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia dalam memberdayakan potensi ekonomi, SDM dan sumber daya alam pulau–pulau terluar Indonesia.

RECENT SECURITY DEVELOPMENT

1. Terbakarnya Pasar

Terbakarnya Pasar Turi di Surabaya membuat SBY khawatir dengan seketika segera memerintahkan kepada Kapolri untuk mengusut motif dibalik pembakaran Pasar tersebut pasalnya kejadian terbakarnya pasar berturut-turut mulai dari terbakarnya Pasar Cipanas, Pasar Bandaro Semarang dan Pasar Turi Surabaya. Biasanya Pasar terbakar disebabkan hubungan singkat arus listrik tetapi kali ini SBY sampai menduga ada ancaman terorisme pihak tertentu dengan motif ekonomi atau kepentingan bisnis dan ingin mengacaukan stabilitas keamanan masyarakat melihat kerugian akibat terbakarnya pasar mencapai milyaran rupiah dan pasar yang terbakar adalah pasar-pasar yang strategis. Kenapa setiap peristiwa bencana yang merugikan masyarakat hingga milyaran rupiah selalu saja terorisme dikambing hitamkan oleh pemerintah dimana fungsi aparat keamanan selama ini yang menjadi konsen SBY sendiri dalam berkampanye akan menjaga stabilitas keamanan nyatanya masih belum terkoordinasi dengan baik antara pemerintah dengan pihak kepolisian dalam mengkondusifkan keamanan domestik dan penjagaan terhadap aset vital masyarakat seperti pasar, jika benar apa yang dituduh SBY bahwa ada aksi terror yang dioperasikan pihak-pihak tertentu untuk mengacaukan keamanan dilandasi dengan motif ekonomi dan bisnis atau bertujuan untuk mengacaukan keamanan justru yang perlu dicurigai adalah pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari kejadian hangusnya pasar yaitu pemerintah itu sendiri yang sering bersengketa dengan pedagang untuk relokasi ruang dan merenovasi pasar dimana sering pedagang tidak mau pindah tempat dagangannya sehingga yang terjadi penggusuran dan ketika pedagang diberikan tempat jualan yang baru tidak seramai semula sehingga penghasilan menurun karena lokasi yang tidak strategis dan menimbulkan kecemburuan sosial dengan pedagang yang mampu menyewa toko di lokasi strategis dengan harga mahal yang omsetnya tidak terganggu bahkan cenderung meningkat pelanggannya karena pedagang pesaing telah dipindah kelokasi yang aman. Motif konflik internal seperti ini dengan kecemburuan sosial antara pedagang yang mempunyai modal besar untuk menyewa toko dan pedagang kaki lima yang serba kekurangan tidak bisa dikelola secara baik oleh pengurus pasar dan pemerintah maka kenapa sekarang marak terbakarnya pasar justru sistem keamanan dan kenyamanan pasar belum mampu menjamin menunjang keamanan pasar. Bahkan sangat ironis dan patut dicurigai bahwa peristiwa pembakaran pasar kemungkinan besar dilakukan pihak pemerintah itu sendiri karena seperti beberapa pemda mempunyai program untuk melakukan peremajaan pasar untuk direnovasi bangunannya dan kendala utama pemda seringkali dihadapkan kepada para pedagang yang tidak mau pindah ataupun kesulitan dalam proses pengosongan pasar secara total untuk direnovasi bangunannya sebab pasar-pasar yang sangat besar dan strategis sulit untuk melakukan tahap pemindahan apalagi pengosongan untuk kebutuhan renovasi atau peremajaan pasar yang sebagian besar struktur bangunannya sudah tua dan kuno estetika keindahannya sehingga perlu peremajaan oleh karena itu salah satu jalan pintasnya adalah dengan melakukan pembakaran karena lebih efisien untuk dilakukan peremajaan kembali bangunan pasar. Sikap reaksioner SBY semakin menunjukan bahwa dalang pembakaran beberapa pasar yang diduga dilakukan oleh kelompok teroris untuk menciptakan konflik di masyarakat yang terorganisir kemungkinan besar benar yaitu dilakukan oleh pihak pemerintah daerah beserta pengusaha konstruksi bangunan yang sangat memiliki kepentingan dalam hal ini karena dengan terbakarnya pasar maka akan masuk uang proyek untuk peremajaan pasar yang sangat sulit dilakukan karena aktivitas pasar tidak mungkin diberhentikan apalagi direlokasikan ketempat lain untuk proses peremajaan. Sikap prihatin SBY hanya kamuflase belaka dan membuyarkan perhatian publik akan peristiwa ini bahwa dalang dan aktor sesungguhnya adalah aparat pemerintah itu sendiri di sebuah dinamika keamanan yang tidak pasti maka masyarakat akan percaya begitu saja bahwa ini adalah aksi teror dan sabotase dengan kamuflase seolah-olah SBY prihatin dan serius mengungkapnya dengan secara reaksioner memerintahkan Kapolri untuk mengusutnya dan lagi-lagi terorisme dikambinghitamkan yang mana SBY pernah berjanji sewaktu kampanye akan menjamin stabilitas keamanan domestik akan semakin membaik dan tidak akan ada lagi aksi-aksi terror nyatanya SBY telah melakukan manipulasi permasalahan terorisme dalam kasus terbakarnya beberapa Pasar untuk pencitraan dirinya agar semakin populis.

2. Peluru Nyasar Ke Pondok Pesantren GUSDUR

Keamanan bagi mantan presiden Republik Indonesia ternyata belum mendapat jaminan secara intensif, kejadian dimana peluru tajam menancap di kediaman pondok pesantrennya di Ciganjur perlu mendapatkan perhatian khusus bagaimanapun juga sebagai mantan orang nomor satu republik ini dan salah satu tokoh ulama yang menjadi panutan seharusnya terjamin keamanannya. Kejadian masuknya tembakan kepesantren Gurdus mengambarkan sebuah realitas keamanan yang belum kondusif dan setiap saat dapat mengancam siapapun baik itu masyarakat awam maupun pejabat elit pemerintah. Pelaku penembakan hingga kini belum diselidiki polisi secara tuntas dan cenderung ditutup-tutupi agar tidak menjadi kekhawatiran masyarakat luas agar semakin menunjukan bahwa keamanan di Indonesia masih kondusif sehingga kejadian ini diredam padahal masalah kepemilikan senjata seharusnya dapat dikontrol dengan baik. Ada kemungkinan ini adalah sebuah fenomena terror politik yang senang marak seperti yang terakhir terjadi pelemparan geranat nanas disalah satu rumah pejabat kegurbenuran Aceh di Sumatra barat oleh lawan politiknya, jika modus terror semacam ini makin marak dijakarta maka tidak menutup kemungkinan stabilitas keamanan mendekati pemilu 2009 akan semakin banyak diwarnai bentuk-bentuk terror semacam ini. Kejadian seperti ini seharusnya direspon kritis oleh pemerintah dan aparat kepolisian bukannya diredam tetapi perlu adanya intensitas keamanan yang terkoordinasi keseluruh elemen masyarakat terhadap kepemilikan senjata api dan sejenisnya tetapi pemerintah belum menunjukan keseriusan sikap untuk mengantisipasi model-model terror seperti penembakan dan pelemparan geranat sebagai serangan perang politik.

3. Kekerasan Terhadap TKI

Kasus kekerasan terhadap TKI semakin hari semakin mengkhawatirkan dan selalu saja terulang tanpa ada penanganan yang serius oleh pihak pemerintah padahal banyak kesepakatan yang sudah cukup jelas berkomitmen untuk melindungi TKI seperti dalam kesepakatan ratifikasi konvensi ILO No.143 tentang konvensi pekerja migran cukup jelas perlindungannya terhadap buruh migran tetapi mengapa selalu saja terjadi tindak kekerasan dan penanganan kasusnya oleh pemerintah selalu mengambang tanpa adanya proses peradilan hukumuman yang berimbang. Kaukus yang disodorkan parlemen kepada pemerintah belum ditangapi dengan serius padahal pemerintah menargetkan pendapatan devisa dari TKI hingga 2009 sampai Rp.40 Triliun tetapi penanganannya tidak serius dan cenderung diabaikan. Angka kematian TKI dan TKW dalam setahun terakhir tercatat 102 kasus yang dilaporkan dengan rincian Malaysia (36 kasus), Arab Saudi (18), Singapura (12) Yordania (7), Hong Kong (5), Taiwan (9), Kuwait (3), Jepang (1) dan tidak diketahui negara tujuannya (4 kasus). Tidak adanya formula yang sistimatis dari pemerintah mengakibatkan penangan terhadap TKI dan TKW semakin marak dan tergantung kasusnya, pemerintah lebih menunjukan sifat lembeknya terhadap negara-negara yang bersangkutan dengan tidak berani mengambil sikap politik yang keras padahal korban dari kekerasan ini sudah beberapa kali merengut nyawa tetapi dengan realitas terbunuhnya TKI pemerintah belum berani menunjukkan sikap politik diplomasi yang tegas seperti halnya memutus hubungan diplomasi jika itu harus diambil karena korban dari kekerasan sudah tidak sangat manusia dan menginjak-injak harkat martabat bangsa. Seharusnya Pemerintah mengambil sikap tegas dengan memecat pejabat yang bertanggungjawab seperti keteledoran yang dilakukan BNP2TKI yang sudah diberi tanggung jawab menangani masalah TKI tetapi tidak bersungguh-sunguh. Di semakin sulitnya dan terbatasnya jumlah persediaan lapangan pekerjaan di Indonesia telah membuat jumlah tenaga pengangguran kian meningkat setiap tahun dimana luluasan SMA dan Sarjana menumpuk. Sehingga, peluang bekerja di luar negeri menjadi pilihan terakhir yang harus diambil. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi hak rakyatnya untuk bekerja di manapun mendapatkan pekerjaan. Kepala Departemen Tenaga kerjapun seharusnya dicopot jabatanya jika sudah memakan korban jiwa terhadap TKI, Depnaker tidak hanya berfungsi sebagai lembaga monitor dan mengevaluasi kinerja PJTKI. Tetapi seorang Menteri Tenaga Kerja harus memastikan dengan jelas tiap perjanjian bilateral dengan negara-negara tujuan jangan sampai merugikan TKI, tercantum pasal yang memungkinkan pemerintah Indonesia lebih jauh memberikan perlindungan kepada TKI di negara tersebut, sehingga keterjaminan terhadap TKI terlindungi dan terjamin keamanan Jiwa dan Raganya. Kita tidak butuh basa-basi diplomasi dalam penanganan kekerasan terhadap TKI tetapi dengan sikap yang keras dan sikap tanggap pemerintah yang cepat dalam merespon permasalahan kekerasan terhadap TKI apalagi sudah banyak memakan korban jiwa.

4. Penyelundupan 112 kontainer tepung tulang

Sebagaimana kita ketahui kerugian negara mencapai hingga milyaran jika penyelundupan barang impor dari Eropa yang tertangkap di Tanjung Priok beredar dipasaran domestik dan dampaknya tidak hanya merugikan negara, persaingan hargapun akan mematikan perternakan nasional dan produksi pertanian lokal yang sedang terancam kekeringan, selama ini belum bisa memenuhi kebutuhan nasional. Indikasi terhdap penyebaran penyakit kuku dan mulut sapi gila berpotensi sangat besar akan menginfeksi konsumen indonesia apabila 112 kontainer tepung tulang dari daging sapi, babi dan ayam dari impor Eropa ini dikonsumsi masyarakat. Dampaknya sangat luas dan memprihatinkan kenapa masih saja ada mentalitas penyelundupan terhadap barang beracun impor ini yang nyata-nyata sangat mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Sungguh sangat dilematis dan menyedihkan sekali satu sisi ketahanan pangan indonesia lemah dilain pihak banyak oknum-oknum yang memanfaatkan kondisi kesenjangan sosial ekonomi dengan mengeruk keuntungan yang besar dengan menjual barang selundupan yang terjangkit penyakit menular dan mematikan yang di negara asalnya sendiri sudah dimusnahkan dianggap berbahaya tetapi kenapa ada 112 kontainer parkir ditanjung priok membawa racun untuk keberlangsungan hidup rakyat indonesia. Ini semakin menunjukan bahwa indonesia hanya dijadikan tong sampah yang membayar artinya Indonesia selalu dijadikan tempat buangan barang-barang sisa dari negara-negara maju dan menghargainya dengan nilai rupiah yang cukup besar untuk ukuran barang sampah yang sudah tidah dipakai atau tidak layak konsumsi. Tepung tulang mungkin salah satu bentuk penyelundupan yang bisa ditangkap oleh Bea Cukai tetapi selama ini penyelundupan barang-barang buangan ataupun jenis barang lainnya sangat marak dan telah masuk kejantung hidup masyarakat. Penyelundupan seperti ini marak dilakukan menjelang lebaran, natal dan tahun baru dimana kebutuhan barang pokok meningkat sedangkan ketersediaan dalam negeri tidak tersedia dengan maksimal akhirnya pengimporan seperti ini dilakukan untuk memenuhi kelangkaan barang dipasaran dan sudah banyak yang tidak lolos seleksi serta dikonsumsi masyarakat tanpa adanya pantauan yang intensif kandungannya penyakitnya. Pelanggaran impor seperti ini seharusnya diperketat karena penyebaran penyakit melalui makanan sangat cepat dan akut tetapi pemerintah belum jelas dan tegas mengantisipasi hal tersebut buktinya 112 kontainer masih dibiarkan menumpuk yang seharusnya wajib dibakar untuk dimusnahkan agar potensi penyebaran penyakitnya musnah. Tindakan menyalahgunakan izin impor PMM selain melanggar Kepmentan No.445/2002 tentang Pelarangan Pemasukan Ternak Ruminansia dan Produknya dari Negara Tertular Penyakit BSE, melainkan juga Kepmentan No. 367/Kpts/TN.530/12/2002 tentang Pernyataan Negara Indonesia Tetap Bebas Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) pada 12 Desember 2002, yang hingga kini tetap berlaku ini sudah cukup jelas ada ungsur kesengajaan pemerintah untuk memperbodoh masyarakatnya dengan memberikan makanan yang berpotensi memendekan umur dan mendangkalkan kecerdasan dan mematikan geliat industri peternakan lokal dan pertanian yang selama ini tidak diprioritaskan oleh pemerintah justru dihancurkan.

5. Pendaftaran Pulau Ke PBB

Tujuan Indonesia mendaftarkan data nama 4.981 pulau di Indonesia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa bermaksud untuk menjamin status pulau Indonesia aman dari sengketa dengan negara-negara lain. Apakah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ini cukup efektif dan rasoinal melihat Indonesia bersingungan dengan negara-negara yang selama ini selalu merecoki batas wilayah pulau terluar dan klaim sepihak ke dunia internasional mengenai pengakuan pulau apakah akan aman begitu saja ketika pulau-pulau terluar Indonesia ini masuk daftar nama pulau Indonesia di PBB sedangkan rongrongan terhadap wilayah kedaulatan Indonesia yang nyata-nyata sudah terdaftar di PBB dan masuk dalam wilayah NKRI masih diperebutkan seperti masih terjadinya geser-menggeser patok perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan. Pendataan Bakorsutanal, pada sidang kelompok ahli nama-nama geografis (United Nations of Experts on Geographical Names - UNGEGN) yang berlangsung pada 20-31 Agustus 2007, Indonesia telah menyertakan data nama pulau yang tersebar di 14 Propinsi. Propinsi yang sudah diverifikasi adalah Sumatra Selatan (23 pulau), Kepulauan Bangka Belitung (361), Jawa Timur (445), Sulawesi Utara (258), Gorontalo (123), Maluku (471), Maluku Utara (783), Jawa Tengah (33), DI Yogyakarta (28), Jawa Barat (10), Sulawesi Tenggara (511), Lampung (130), Bengkulu (10), Kepulauan Riau (1.794), dan Pulau Berhala yang masih diperebutkan Provinsi Jambi dan Kepulauan Riau. Jika ditelisik apakah sebegitu mudahnya kepemilikan pulau bisa dimiliki Indonesia melihat persinggungan dengan negara-negara tetanggapun menunjukan keinginan yang sama untuk memiliki pulau-pulau terluar yang telah Indonesia beri nama dan daftarkan sedangkan banyak persingungan wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga yang belum tentu mengakuinya dan menyetujui keberadaannya di Indonesia dan batasan wilayah yang belum disepakati bersama menunjukan potensi kedaulatan untuk menguatkan pulau-pulau terluar ini dalam bingkai wilayah NKRI semakin terancam kedaulatan dan kedudukannya. Dimana 10 negara yang berbatasan darat atau laut dengan Indonesia, seperti Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, Australia, India, Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Harus diajak bicara bersama dalam sebuah kompromi untuk pengakuan dan ukuran batas wilayah yang harus disepakati bersama tanpa adanya bahasan bersama dalam menetapkan pulau ini maka nantinya yang terjadi justru perebutan pulau karena kepentingan masing-masing. Peraturan Pemerintah No. 38/2000, Indonesia memiliki 194 pulau yang menjadi titik-titik terluar yang dipakai sebagai garis pangkal kepulauan dan batas wilayah Indonesia. pengakuan sebuah pulau seharusnya jangan hanya simbolisasi saja dengan penamaan dan pengukuran batas wilayah tetapi yang harus diprioritaskan adalah pemberdayaan dan pemeliharaan potensi pulau tersebut yang akan semakin menguatkan keberadaan wilayah NKRI bahwa dengan pemberdayaan dan potensi pulau tersebut akan semakin menancapkan namanya di wilayah NKRI tetapi justru sebaliknya kalau hanya sekedar penamaan tetapi tidak dipelihara dan tidak digali potensi lokalitas maka yang terjadi seperti lepasnya Sipadan dan Ligitan dan pemerintahan sekarang cenderung mengarah seperti itu hanya sekedar pendataan dan penamaan simbolis tanpa menukik pada titik substansi. Seharusnya memberdayakan potensi ekonomi dan sumber daya alam pulau terluar ini dapat kita buktikan kepada dunia sehingga pandangan mengenai Indonesia dalam memperhatikan dan pemberdayaan pulau terluar semakin menguatkan eksistensinya untuk berada di wilayah kedaulatan NKRI.

6. Perjanjian Pengamanan Selat MALAKA

Kesepakatan untuk pengamanan Selat Malaka dalam Sidang ASEAN Regional Forum (ARF) dengan agenda bahasanya hanya bertukar pikiran dalam menyamakan persepsi diantara negara partisipan ARF yang membahas masalah-masalah terkait keamanan maritim di kawasan Asia Pasifik dengan sebuah kesepakatan bahwa Keamanan Selat Malaka sepenuhnya dipegang Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Negara lain tetap diminta bantuannya untuk meningkatkan kapasitas ketiga negara dalam menjaga jalur pelayaran internasional itu. Potensi gangguan keamanan di Selat Malaka memang tinggi dengan pasukan bajak lautnya makanya butuh pengaman secara ketat dari ketiga negara yang diberi wewenang. Selat Malaka adalah jalur strategis laut yang rawan perampokan dan banyak negara memanfaatkan Jalur ini tidak heran kalau Cina sangat mendukung Indonesia dalam menfasilitasi pertemuan ARF demi pengamanan Selat Malaka, Amerika dengan bantuan Radarnya kepada Indonesia yang dipasang di Selat Malaka menunjukkan bahwa besarnya kepentingan negara maju untuk menguasai akses Selat Malaka. Indonesia mempunyai posisi yang terlemah dalam sistem pertahanan dan persenjataan dibandingkan Singapura dan Malaysia, kewenangan APF ada ditiga negara ini dan bagaimana mengola keamanan Selat malaka siapa yang mendominasi tentunya negara yang memiliki peralatan militer yang lengkap, canggih dan modern disertai kapasitas prajurit yang handal menguasai informasi teknologi. Keutamaan itu sayangnya tidak dimiliki Indonesia padahal perompak Bajak Laut kebanyakan dari Indonesia ini menunjukkan kelemahan Indonesia dalam menjaga keamanan wilayah perbatasan sedangkan Bajak Lautnya handal-handal mampu merampok kapal barang dari China, Jepang dan negara Asia yang lain. Indonesia dalam perguliran kerjasama keamanan dan pertahanan di wilayah asia seharusnya lebih ditingkatkan dan diprioritaskan karena keamanan wilayah dalam menjalin solidaritas Asia harus dikuatkan karena permasalahan Selat Malaka adalah kewenangan total untuk mengalang kerjasama pertahanan lingkup Asia Tenggara dan posisi negara seperti Amerika harusnya disingkirkan jauh dalam permaslahan keamanan Selat Malaka walaupun Indonesia telah menerima bantuan Radar yang dipasang di Selat Malaka ini akan mepunyai implikasi buruk terhadap kekuatan hegemoni negara-negara Adikuasa yang selalu menganggap remeh kemampuan negara-negara berkembang di Asia apalagi Amerika mempunyai kredibilitas yang buruk dalam kebijakan politik militernya yang arogan dan aggresif. Indonesia harus memanfaatkan forum kerjasama pertahanan lingkup Asia dengan maksimal dan cerdik walaupun alokasi anggaran pertahanan APBN 2008 yang dibuat SBY tidak berpihak terhadap ketahanan Nasional dan keutuhan NKRI padahal SBY seorang militer tetapi tidak bisa memahami kebutuhan militer dimana reformasi TNI dimata SBY.

7. Kerjasama Pertahanan

Indonesia dalam menjalin kerjasama militer antara Rusia dalam melengkapi skuadron TNI yang akan menambah 6 pesawat Sukhoi beserta beberapa persenjataan militer lainnya dan dengan Jerman dalam kerjasama penanganan permasalahan keamanan domestik seperti gejolak separatisme, terorisme dan akses informasi kesemuanya dalam rangka peningkatan kapasitas ketahanan pertahan militer kita yang serba minim dan ketinggalan jauh dari negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Semakin terbenahinya kapasitas profesionalisme prajurit dalam menguasai perkembangan peralatan teknologi informasi militer dan perbaikan dalam bidang lainnya menunjukan sebuah kerapuhan sistim pertahanan keamanan indonesia dalam menjaga keamanan dalam negeri dan menjaga keutuhan NKRI. Masih sangat ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang sudah naik dua level dari Indonesia dalam peningkatan kemampuan tempur seperti China ataupun Singapura, bahkan Malaysia yang sangat maju pertahanan keamanannya. Kelemahan kemiliteran TNI dari peralatan persenjataan yang terbatas membuat kita semakin khawatir terhadap ketahanan kedaulatan wilayah NKRI melihat keberadaan militer kita yang rentan untuk terkoyak ketika terjadi serangan dan konflik regional. Paling tidak harus ada maksimalisasi fungsi dari perjanjian kerjasama militer yang dijalin satu sisi memang sudah seharusnya melakukan itu tetapi hal yang lebih penting harus dibenahinya internalitas soliditas dalam tubuh TNI agar semakin solit dan terkomando dengan baik fokus terhadap pembenahan dan penjagaan pertahanan keamanan sehingga TNI atau akan kekurangan dan kebutuhan apa saja yang harus dibenahi dan dipenuhi dalam menjaga keutuhan bangsa dan kredibilitas nama harum Militer Indonesia karena di sebuah dinamika politik di mana banyak elit TNI yang masih bersingungan bahkan turun kepolitik praktis ini menjadi kekwatiran terjadinya benih konflik yang akan memecah soliditas dan semagat persatuan TNI karena Reformasi TNI belum berjalan dengan maksimal dan TNI selalu digembosi oleh pihak tertentu agar kredibilitas dan eksistensinya dimata masyarakat buruk. Kerjasama pertahanan seharusnya TNI kita banyak belajar mengenai profesionalisme prajurit di Rusia dan Jerman bagaimana negara-negara tersebut mampu membangun kekuatan militer yang kuat dengan prajurit yang professional dan sangat disayangkan kalau kerjasama pertahanan militer kita hanya membeli dan memakai senjata tetapi kredibilitas profesionalisme yang mana rakyat Indonesia sangat butuh sosok TNI yang professional mampu membangun bangsa dan negaranya dengan berpartisipasi aktif dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat lemah dan masyarakat wilayah perbatasan. Dua sisi yang harus diisi beiringan senjata dan nurani kepekaan terhadap realitas sosial berbangsa dan mengamankan keutuhan NKRI sehingga harapan untuk kuatnya pertahanan keamanan dan profesionalisme TNI semakin terwujud bukan seperti cacian masyarakat terhadap TNI yang memakai senjata menembak mati warga pasuruan dan seorang presiden dari angkatan keamanan yang kebijakannya banyak dicela dan merugikan masyarakat, kita mengimpikan munculnya sosok Jendral Soedirman yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk bangsa dan negara.

D. 10 Rangking Isu Periode 20-25 Agustus 2007

1. RI – Jepang Economic Partnership Agreement (EPA)

2. RAPBN dan Asumsi Ekonomi Makro 2008

3. Kelangkaan Minyak Tanah

4. Ketimpangan antara Pusat dengan Daerah

5. Gejolak Konflik Lokal

6. Kerjasama Pertahanan RI – Rusia dan RI – Jerman

7. Kenaikan Harga Bahan-bahan Pokok

8. Keutuhan Wilayah NKRI

9. Hasil Rapat Konsultasi Presiden - DPR

10. Political Image SBY

Jakarta, 26 Agustus 2007

M. Danial Nafis

Director Executive of INSIDé

Tidak ada komentar: