Sabtu, 02 Februari 2008

WEEKLY REPORT

No. IV/1 /07 Agustus 2007

A. EKONOMI

SUMMARY

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk tahun 2008 yang disampaikan pemerintahan SBY-JK dua pekan yang lalu masih mendapatkan reaksi pro dan kontra dari berbagai kalangan. Anggaran pendidikan dalam RAPBN 2008 yang belum memenuhi 20 persen sebagaimana ditetapkan UUD 1945 menjadi sorotan utama dari berbagai kritik yang ditujukan kepada anggaran yang bersifat ekspansif dan optimistis tersebut. Sementara itu, keterpurukan kondisi sektor pendidikan di Indonesia yang semakin terungkap melalui pemberitaan di beberapa media selama sepekan ini seolah-olah menjadi serangan telak bagi pemerintah yang cenderung tidak memprioritaskan pembangunan di sektor pendidikan. Kompleksitas persoalan pendidikan di negeri ini menjadi semakin carut-marut ketika Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHP) yang akan segera disahkan dan diberlakukan disinyalir justru akan mengarah kepada liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Ironis memang, di tengah kondisi sektor pendidikan Indonesia yang semakin terpuruk, pemerintah justru mendorong diberlakukannya Undang-Undang yang justru akan menyebabkan semakin mahalnya biaya pendidikan di negeri ini.

Kritik keras atas RAPBN 2008 tersebut tidak hanya terhenti pada persoalan anggaran pendidikan yang belum memenuhi batas ideal, tetapi juga melebar ke berbagai aspek dan cenderung bersifat politis. Berbagai fraksi di DPR mengambil sikap tegas atas RAPBN 2008 yang telah dirumuskan pemerintah tersebut. Salah satu sisi yang menjadi titik serangan adalah terletak pada isu pemberantasan kemiskinan yang belum menjadi fokus di dalam RAPBN 2008 tersebut. Selain itu, RAPBN 2008 ini juga masih dianggap menganut gaya lama dan tidak ada terobosan baru untuk mengatasi berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat. Terlebih dengan masih adanya alokasi utang luar negeri untuk pembiayaan anggaran pemerintah semakin memperkuat argumen bahwa pembangunan di Indonesia masih dilandasi oleh pembiayaan dari utang luar negeri.

Trend penurunan produksi minyak nasional yang terjadi selama hampir satu dekade terakhir juga memperkuat logika kritik yang menilai RAPBN 2008 tersebut tidak berlandaskan pada ekonomi riil Indonesia. Sementara target produksi minyak yang dipatok dalam RAPBN 2008 sangat tinggi mencapai 1,03 juta barel per hari, kenyataan bahwa produksi minyak tahun 2007 yang hanya sebesar 950 ribu bph seakan terlepas dari pengamatan. Sangat tidak masuk akal memang, jika produksi minyak dipatok pada angka yang sangat tinggi sementara pemerintah tidak memiliki strategi yang jelas untuk mengatasi berbagai kendala yang menghambat produksi minyak baik secara internal ataupun eksternal.

Kenaikan tariff tol sebesar 20 persenyang mulai berlaku pada 4 September 2007 yang sebelumnya sudah diawali dengan pembukaan Jakarta Outer Ring Road (JORR) dengan tariff flat dan mendapatkan reaksi keras dari pengguna jalan tol, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menutupi defisit RAPBN-P 2007 yang mencapai 1,6 persen atau sebesar Rp. 62 triliun. Terlebih lagi alasan pemerintah dalam menaikkan tariff tol tersebut adalah untuk menarik minta investor dalam bisnis jalan tol di Indonesia yang terkait dengan upaya privatisasi Jasa Marga, semakin merefleksikan bagaimana pemerintah berusaha keras menambah pendapatan untuk menutupi defisit tersebut.

Di sisi lain, pengalaman privatisasi di masa lalu masih menyisakan masalah yang terus menghantui pemerintah sampai saat ini, terutama dalam kasus pelanggaran persaingan usaha yang sehat oleh Temasek yang memiliki saham ganda di Indosat dan Telkomsel. Monopoli saham oleh satu perusahaan di dua perusahaan telekomunikasi yang menguasai 80 persen pasar telepon seluler di Indonesia ini mencerminkan dampak dari program privatisasi yang dilakukan secara premature tanpa adanya landasan regulasi yang jelas. Sekali lagi, paradigma neoliberalisme yang mendorong minimalisasi peranan negara dalam perekonomian menjadi biang di balik persoalan privatisasi di Indonesia.

Gonjang-ganjing pasar keuangan internasional yang diprediksikan pemerintah dengan segala optimismenya akan segera mereda dan berdampak tidak begitu signifikan terhadap perekonomian Indonesia pada kenyataannya telah mengeruk cadangan devisa negeri ini dalam jumlah yang cukup besar. Dengan kata lain, pemerintah juga panik sehingga melakukan intervensi untuk menstabilkan volatilitas pasar keuangan domestik dan nilai tukar rupiah. Sementara di berbagai media diberitakan bahwa BI belum melakukan banyak hal untuk mengantisipasi dampak krisis kredit perumahan di AS terhadap Indonesia, realitasnya BI telah menyuntikkan dana setidaknya sebesar US$330 juta. Tidak hanya untuk menstabilkan nilai rupiah, menurut laporan BI berkurangnya cadangan devisa tersebut juga disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo, yang sekali lagi semakin menjelaskan bahwa persoalan utang luar negeri masih menjadi momok yang menakutkan bagi perekonomian Indonesia.

Kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok terus terjadi di beberapa daerah selama satu pekan terakhir. Kenaikan harga atau inflasi tersebut diyakini sebagai inflasi impor, dikarenakan sebagian besar kebutuhan pokok Indonesia masih bergantung pada impor. Sementara itu, gejolak pasar saham internasional telah menyebabkan nilai tukar rupiah terus terdepresiasi selama satu bulan terkahir, sehingga biaya impor kebutuhan bahan-bahan pokok juga meningkat seiring dengan semakin lemahnya nilai tukar rupiah. Dengan kata lain, gonjang-ganjing pasar keuangan dunia tersebut telah berdampak langsung pada perekonomian riil yang dihadapi rakyat Indonesia. Pemerintah pun telah mengambil beberapa upaya untuk mengatasi trend kenaikan bahan-bahan pokok ini. Namun stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah masih memakai gaya lama dalam bentuk pungutan ekspor dan operasi pasar. Belum ada strategi stabilisasi harga komprehensif yang ditujukan untuk melindungi perekonomian rakyat miskin yang masih dalam jumlah besar.

Integrasi ekonomi di kawasan ASEAN terus digalakkan melalui berbagai komitmen negara-negara anggotanya dalam ASEAN Regional Forum. Cita-cita terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN masih menjadi prioritas utama integrasi ekonomi kawasan. Sementara itu, berbagai kerjasama ekonomi bilateral antara negara-negara anggota ASEAN dengan negara-negara lain di luar ASEAN dikhawatirkan oleh Sekjen ASEAN sebagai kendala dalam penyatuan ekonomi kawasan yang lebih terfokus dan juga disinyalir sebagai upaya negara-negara seperti China, Jepang dan India yang bersaing memperebutkan dominasi di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, kebijakan ekonomi domestik dan kerjasam ekonomi bilateral tersebut juga harus disinergikan dengan cita-cita pembentukan masyarakat ekonomi ASEAN di tahun 2015. Penyatuan sub-kawasan sendiri juga menjadi isu penting dalam integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Upaya penciptaan Free Trade Zone antara Indonesia dan Singapura juga terus mengalami progresitas beberapa pekan terakhir dengan diimplementasikannya beberapa action plans yang menjadi kewajiban kedua negara dalam kesepakatan pembentukan zona perdagangan bebas.

Pertemuan negara-negara APEC yang akan dilakukan di Australia pada bulan ini juga menjadi sorotan dalam agenda liberalisasi perdagangan yang terhambat di WTO. Dalam pertemuan APEC ini, Amerika Serikat disinyalir akan mendorong terjadinya percepatan liberalisasi perdagangan antara negara-negara anggota APEC, sebagai jalan keluar upaya liberalisasi perdagangan yang mengalami kebuntuan dalam Putaran Doha WTO. Ironisnya, Amerika Serikat sekali lagi memainkan standar ganda dalam menggalang percepatan perdagangan bebas di kawasan. Hal ini terlihat dari kebijakan proteksionis pemerintah AS dalam bentuk rancangan undang-undang yang melarang masuknya rokok yang mengandung cita rasa termasuk cengkeh yang terkandung dalam rokok produksi Indonesia.

RECENT ECONOMIC DEVELOPMENT

1. Komersialisasi di tengah keterpurukan sektor pendidikan Indonesia

Pendidikan merupakan salah satu elemen dasar dalam pembangunan sebuah bangsa. Pendidikan menyimbolkan kapasitas sosial atau “social capacity” dari sebuah masyarakat untuk menyerap pengetahuan yang dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi. ketersediaan human capital dan kemampuan untuk memanfaatkan pengetahuan merupakan determinan yang paling penting dalam pembangunan ekonomi. Faktor-faktor pendidikan dan institusional memainkan peranan yang sangat penting di negara-negara berkembang untuk dapat memenuhi persyaratan yang dibutuhkan dalam pembangunan. Social capacity mengacu kepada komponen manusia dan institusional dari sebuah masyarakat yang hanya dapat berkembang melalui pendidikan dan respon organisasional atas kesempatan pengembangan teknologi. Karenanya, dalam Pembukaan UUD 1945, yang notabene tak dapat diubah dan dianggap sebagai perjuangan bangsa yang sakral. Dan yang termuat di dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945, dimana pendidikan merupakan hak rakyat dan kewajiban pemerintah untuk membiayainya. Yang kemudian diatur lagi dalam amandemen ke-4 dari UUD 1945, Pasal 31 itu seiring dengan kesadaran akan arti penting pendidikan dalam pembangunan, terutama tercermin dalam, yang mengatur pembiayaan pendidikan oleh negara, dan juga seperti tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 Ayat 49, yang mensyaratkan pengeluaran minimal pemerintah di bidang pendidikan. Secara normatif konstitusional, dapat dinyatakan bahwa pendidikan di Indonesia merupakan sektor yang penting di mana pemerintah harus berperan besar dalam memajukannya.

Akan tetapi, jika kita menyimak realitas sektor pendidikan Indonesia selama 62 tahun kemerdekaannya, keterbelakangan masih menjadi warna yang dominan. Saat ini sedikitnya terdapat 8.000 anak Indonesia yang belum mampu mengakses pendidikan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti kondisi sosial yang tidak memungkinkan, seperti karena cacat mental atau fisik, terkena bencana alam, tempat tinggal yang terpencil dan merupakan komunitas suku terbelakang. Sementara itu, angka putus sekolah per tahun di Indonesia mencapai angka 344.000 per tahun. Bahkan terdapat sekitar 14,6 juta penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun masih berada dalam keadaan buta huruf.

Ironisnya pemerintah tidak memiliki strategi yang visioner dan integratif untuk mengatasi persoalan pendidikan ini. Bahkan untuk alokasi minimum pendidikan yang diatur sebesar 20 persen dari APBN, belum dipenuhi oleh pemerintah. Alasan ketidakmampuan RAPBN untuk mencukupi anggaran tersebut tampaknya harus dipertanyakan lagi jika kita mencermati kondisi pendidikan yang sangat terpuruk ini. Persoalan utamanya adalah apakah pemerintahan SBY-JK memang memiliki keinginan atau tidak untuk memenuhi anggaran 20 persen tersebut. Pada dasarnya anggaran ini dapat direalisasikan jika pemerintah memang berkomitmen untuk membangun pendidikan Indonesia. Jika anggaran pun tidak dialokasikan, terlebih lagi strategi. Sampai saat ini, pemerintah belum memiliki strategi untuk menyediakan pendidikan bagi komunitas adat terpencil yang selama ini belum terjamah oleh pendidikan. Bahkan jumlah dan keberadaan komunitas adapt terpencil ini tersebar di seluruh Indonesia, di masing-masing provinsi terdapat komunitas semacam ini. Jangankan strategi, mungkin terpikirkan pun belum oleh pemerintah untuk menanggulangi persoalan ini. Di tambah lagi dengan persoalan kendala ekonomi yang selalu menjadi masalah klasik pendidikan di Indonesia. Sampai saat ini masih terdapat sebesar 2,5 juta anak Indonesia yang tidak bisa bersekolah karena harus bekerja memenuhi tuntutan ekonomi.

Alokasi untuk Depdiknas dalam RAPBN 2008 yang hanya Rp. 48,3 triliun atau sebesar 5,7 persen dari total anggaran belanja negara sangatlah minim untuk mengatasi persoalan pendidikan ini. Terlebih lagi masih harus dipertanyakan mengenai efektifitas pengelolaan dana tersebut untuk benar-benar disalurkan dalam membangun pendidikan. Dana yang sangat minim dan ketiadaan strategi dalam pembangunan pendidikan menjadi simbol bahwa pemerintah SBY-JK tidak meletakkan pembangunan pendidikan sebagai prioritas, sehingga tidak heran jika kondisi sektor pendidikan Indonesia terus terpuruk sampai saat ini.

Di tengah kondisi seperti ini, ironisnya pemerintahan SBY-Jk justru mendorong diberlakukannya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHP), yang mengarah kepada liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. RUU BHP ini akan semakin menjadikan pendidikan sebagai komoditas dan semakin menegnggelamkan dunia pendidikan Indonesia ke dalam arus liberalisasi. Melalui undang-undang BHP ini pemerintah seolah-olah menganggap pendidikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan. Dampaknya yang pasti tidak dapat dipungkiri adalah semakin mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi. Esensi dari pendidikan bukanlah semata-mata untung-rugi sebagaimana pandangan pemerintah. Pendidikan pada intinya mencakup penanaman nilai-nilai luhur kebangsaan, di dalamnya terdapat visi dan misi ideologi bangsa. Karenanya institusi pendidikan merupakan sebuah ideological apparatus yang menanamkan ideologi kebangsaan kepada warga negara. Melalui UU BHP yang mengarah kepada swastanisasi dan liberalisasi ini tidak ada jaminan bahwa nilai-nilai ideologi akan tertanam ke dalam benak setiap warga. Dengan demikian, UU BHP tersebut hanya akan mencetak generasi mudah yang memiliki ketrampilan praktis dan pragmatis yang berorientasi keuntungan tanpa ada semangat ideologis untuk membangun bangsa.

Persoalan penting lainnya di balik UU BHP tersebut adalah adanya kepentingan asing yang ingin menguasai sektor jasa di Indonesia terutama sektor pendidikan. Terlebih komitmen liberalisasi sektor jasa ini telah disepakati dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) di WTO. Di dalam GATS, penyediaan jasa pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor jasa yang akan diliberalisasi. Liberalisasi perdagangan sektor jasa pendidikan berdampingan dengan liberalisasi layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, serta jasa lainnya. Sejalan dengan logika yang berlaku di WTO, penyediaan jasa pendidikan merupakan mekanisme perdagangan yang dianggap dapat memberi keuntungan ekonomis yang tidak kecil. Karena itu, pendidikan hanya akan menjadi barang komersial dan harus dijauhkan dari campur tangan negara. Kepentingan ekonomi negara maju disinyalir berada di balik agenda liberalisasi pendidikan. Setidaknya ada tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari bisnis pendidikan, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Pada 2000, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US$ 14 miliar. Di Inggris, sumbangan ekspor pendidikan mencapai 4 persen dari total penerimaan sektor jasa negara tersebut. Demikian juga dengan Australia, yang pada 1993 ekspor jasa pendidikan dan pelatihannya telah menghasilkan Aus$ 1,2 miliar. Tidak mengherankan tiga negara tersebut yang amat getol menuntut sektor jasa pendidikan melalui WTO.

2. Pro dan Kontra RAPBN-P 2007 dan RAPBN 2008

Setelah dua minggu bergulir, RAPBN 2008 pemerintahan SBY-JK yang dinilai terlalu optimisits, politis dan tidak rasional, terus mendapatkan kritik dari berbagai kalangan. Terdapat beberapa fokus kritik yang bergulir terhadap RAPBN 2008 pemerintah pada pekan ini. Pertama, terkait dengan isu pemberantasan kemiskinan. Kritik kali ini berasal dari Fraksi PAN di DPR yang menyatakan bahwa pemerintah dalam RAPBN 2008 tersebut seharusnya fokus dalam mengatasi kemiskinan. Fraksi PAN juga mempertanyakan jumlah penduduk miskin di Indonesia yang dilaporkan menurun oleh pemerintahan SBY-JK. Angka kemiskinan yang sebesar 16 persen versi pemerintah tersebut menggunakan standar BPS. Sementara jika menggunakan standar Bank Dunia yang berdasarkan pada pengeluaran hidup kurang dari US$ 2 per hari maka pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sebesar 108,7 juta jiwa. Sementara versi BPS pada tahun yang sama adalah sebesar 39,30juta jiwa. Kedua, masih dicantumkannya utang luar negeri untuk pembiayaan pembangunan yang nilainya mencapai Rp. 43 triliun, yang disebut sebagai penarikan pinjaman program dan pinjaman proyek. Fraksi PAN juga menyatakan bahwa secara akuntansi negara ini sudah bangkrut dengan menggunakan logika rasio utang luar negeri dengan asset negara, di mana total utang luar negeri per Desember 2006 sebesar Rp. 1.318,2 triliun dan asset negara pada periode yang sama sebesar Rp. 1.253,7 triliun. Hal senada juga disampaikan Fuad Bawazier yang menilai bahwa APBN 2008 masih menganut gaya lama, yakni anggaran defisit yang membuka peluang masuknya utang baru. Ia juga menilai asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen terlalu optimis dan harus dibuat indeks janji SBY serta realisasinya. Seharusnya, menurut Fuad Bawazier, RAPBN 2008 ini berani membebaskan Indonesia dari jebakan utang luar negeri yang merugikan kedaulatan negara. Ketiga, terkait anggaran pendidikan yang belum memenuhi alokasi minimum 20 persen. Kali ini Amien Rais yang menyatakan bahwa seharusnya pemerintah bisa di-impeach karena tidak memenuhi anggaran minimum tersebut. Meskipun pemerintah memiliki alasan logis untuk menunda realisasi anggaran 20 persen sesuai dengan UUD 1945 dan UU No 20/2003 melalui argumen kocek APBN yang tidak mampu merealisasikannya, namun secara hitam dan putih, pemerintah telah melanggar konstitusi. Dikarenakan APBN tidak memungkinkan, maka diperlukan permaafan nasional. Bahkan jika pemerintah terbukti tidak berniat untuk merealisasikan anggaran pendidikan 20 persen padahal sebenarnya mampu, maka pemerintah bisa di-impeach. DPR juga akan mengajukan nota keberatan kepada pemerintah karena tidak memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen tersebut. Terdapat sekitar 256 anggota DPR Ri yang telah menyampaikan nota keberatan dalam siding paripurna pengesahan RUU APBN-P 2007. Keempat, terkait dengan anggaran APBN untuk Lapindo. Pemerintah dinilai tidak cukup menyiapkan mekanisme penagihan atas alokasi Rp. 710 miliar untuk perbaikan infrastruktur yang terkena dampak luapan Lumpur Lapindo. Namun, penggunaan APBN untuk menangani kerusakan yang disebabkan ativitas pengeboran PT Lapindo Brantas Inc itu justru dikategorikan sebagai penyalahgunaan keuangan negara.

3. Tergerusnya Cadangan Devisa untuk Intervensi Pasar

Gejolak pasar keuangan global yang dipicu oleh krisis kredit perumahan di AS, ternyata cukup merepotkan Bank Indonesia, yang selama ini terlihat cenderung tenang dan optimis mengenai dampak guncangan pasar saham global tersebut. Hingga akhir pekan lalu, cadangan devisa dilaporkan turun sebesar US$170 juta, menjadi US$51,73 miliar dari posisi akhir Juli sebesar US$51,9 miliar. Menurut laporan BI, penurunan cadangan devisa tersebut terjadi karena intervensi BI untuk menjaga volatilitas nilai tukar rupiah dan pembayaran utang. Dana yang dikucurkan BI untuk intervensi pasar mencapai hampir US$330 juta atau melebihi penurunan devisa itu sendiri, karena pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan cadangan devisa.

Menurut Sri Mulyani, proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia akibat subprime mortgage tidak banyak terpengaruh. Tahun depan diperkirakan kondisi ini akan pulih. Sementara itu, Dradjad Wibowo mengkhawatirkan kondisi pasar rupiah yang cenderung mudah digoyang spekulan, di mana rupiah anjlok cukup drastis, tapi ternyata yang digunakan BI untuk intervensi 170 juta dolar AS. Ia mempertanyakan apakah memang pasar rupiah terlalu tipis.

Terlepas dari perdebatan tersebut, gejolak pasar keuangan internasional selama satu bulan terakhir ternyata cukup mempengaruhi perekonomian Indonesia. Pertama, intervensi BI dengan menggunakan cadangan devisa untuk menstabilkan nilai rupiah menyimbolkan valotilitas nilai tukar rupiah yang masih rapuh. Dengan kata lain, kondisi nilai tukar rupiah tidak jauh berbeda dibandingkan ketika krisis di pertengahan tahun 1997 lalu, di mana BI juga melakukan intervensi sebesar US$ 500 miliar sebanyak dua kali. Memang jumlah cadangan devisa Indonesia saat ini jauh melebihi jumlah 10 tahun lalu yang hanya sekitar US$33 miliar. Tetapi mengingat sepertiga dari cadangan devisa saat ini yang merupakan hot money yang bisa lari sewaktu-waktu, kewaspadaan hendaknya lebih ditngkatkan. Kedua, terdepresiasinya nilai tukar rupiah secara signifikan selama beberapa bulan terakhir yang juga merupakan pengaruh dari gejolak pasar keuangan global, tidak hanya memperngaruhi bursa saham domestik. Tetapi juga berpengaruh pada perekonomian riil dalam bentuk kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok yang masih bergantung pada impor. Secara keseluruhan, hal menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia cukup terpengaruh oleh gonjang-ganjing pasar keuangan dunia secara cukup signifikan, tidak seperti yang digambarkan oleh pemerintah akhir-akhir ini.

4. Kenaikan Tarif Tol an Privatisasi Jasa Marga

Pada tanggal 4 September 2007 pemerintah ahirnya menaikkan tariff tol sebesar 20 persen yang tadinya akan dilakukan pada akhir Agustus. Harga baru yaitu inflasi dikali kilometer tol, dibulatkan ke angka Rp. 500. Tercatat pemerintah terakhir kali menyesuaikan tariff tol pada 24 Agustus 2005. Kenaikan tariff tol ini mengundang reaksi keras dari anggota Komisi V DPR yang menilai pemerintah tidak memiliki kepekaan sosial dengan menaikkan tariff tol, di mana beban hidup rakyat sudah sangat besar, dan jika pemerintah menaikkan tariff tol, maka akan memicu kenaikan harga barang-barang lainnya dan menambah beban hidup masyarakat. DPR juga memandang bahwa tanpa dinaikkan sekalipun sudah banyak investor yang tertarik untuk investasi jalan tol di Indonesia. Yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah meningkatkan pelayanan oleh operator jalan tol Jasa Marga. Dari sisi pemerintah sendiri, terdapat dua argumen yang melatari kenaikkan tariff tol ini. Pertama, kenaikan tariff tol tersebut telah sesuai dengan aturan undang-undang dengan memperhitungkan tingkat inflasi dan tingkat ekonomisnya. Berdasarkan UU No. 38 Tahun 2004 mengenai Jalan dan PP No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, penyesuaian tariff dilakukan setiap dua tahun sekali mengikuti besaran inflasi. Kedua, tujuan kenaikkan tariff tol ini adalah agar jalan tol itu cukup menguntungkan, sehingga PT Jasa Marga bisa melakukan investasi lagi untuk memperpanjang jangkauan jalan tol.

Sementara itu, sebelum kenaikan tariff jalan tol di 13 ruas tersebut dilakukan pemerintah, beberapa hari sebelumnya kemacetan terjadi di beberapa daerah di Jakarta karena pengguna jalan tol lebih memilih menggunakan jalan biasa untuk menghindari biaya mahal Jakarta Outer Ring Road (JORR) yang menggunakan sistem terbuka (Flat). Persoalan ini mengundang reaksi dari YLKI yang menilai sosialisasi pemberlakuan tariff tersebut sangat minim dan meminta pemerintah untuk memberikan penjelasan yang transparan atas sistem penghitungan besaran kenaikan tariff tol kepada konsumen. YLKI juga menilai sistem perhitungan tariff baru ini sebagai akal-akalan operator jalan tol untuk meraup keuntungan berlipat-lipat. Seharusnya pengenaan tariff disesuaikan dengan penggunaan jarak tempuh tol. YLKI juga siap memfasilitasi konsumen alan tol yang merasa dirugikan dengan kebijakan pemerintah itu melalui class action. DPR juga meminta agar tariff JORR tersebut ditinjau ulang sekaligus menyesalkan minimnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah atas pemberlakuan tariff baru.

Upaya pemerintah menaikkan tariff tol ini pada dasarnya sangat terkait dengan kondisi anggaran pemerintah yang sedang mengalami defisit. Dalam RAPBN-P 2007 tercatat defisit anggaran pemerintah mencapai 1,6 persen dengan jumlah Rp. 62 triliun. Strategi menaikkan tariff fasilitas publik seperti jalan tol merupakan salah satu cara yang ditempuh pemerintah untuk menutupi defisit APBN tersebut. Dikarenakan pencabutan subsidi bahan bakar minyak dalam bentuk kenaikan harga BBM sudah tidak mungkin dilakukan pemerintah menjelang pemilihan umum karena dapat menurunkan popularitas pemerintah, maka kenaikan tariff tol menjadi pilihan dalam menaikkan pendapatan pemerintah. Latar belakang defisit APBN di balik kenaikan tariff tol tersebut juga terlihat dari upaya privatisasi pengelola jalan tol PT Jasa Marga yang terus didorong pemerintah. Meskipun gagal memperoleh hasil maksimal dalam privatisasi bank BNI, tidak membuat pemerintah kapok. Bahkan penjualan saham perdana PT Jasa Marga yang direncanakan pada bulan September ini akan segera direalisasikan, meskipun situasi pasar masih belum kondusif. Pemerintah juga optimis bahwa penawaran saham perdana Jasa Marga bisa memperoleh hasil maksimal. Berdasarkan persetujuan dengan DPR, saham Jasa Marga akan dilego di lantai bursa sebanyak 30 persen. Pelepasan saham sebesar 30 persen ini diyakini dapat menghasilkan dana sebesar Rp. 5 triliun, sementara dana minimal yang bisa didapatkan adalah sebear Rp. 3 triliun.

5. Kasus Kepemilikan Saham Temasek di Indosat dalam Konteks Keinginan Perusahaan Rusia untuk membeli saham dalam Kunjungan Vladimir Putin ke Indonesia

Kunjungan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Indonesia yang direncanakan pada 6 September ini akan mengikutsertakan petinggi perusahaan saham terbesar di Rusia yaitu Alfa Group untuk mencari peluang investasi di Indonesia. Tujuan utama kedatangan Alfa Group tersebut ke Indonesia adalah menegosiasikan dengan pemerintah Indonesia rencana untuk membeli 41 persen di Indosat. Pada Desember tahun lalu, Altimo, anak perusahaan Alfa Group telah mengumumkan rencananya di Jakarta untuk menginvestasikan sebesar US$52 miliar di industri telekomunikasi seluler di Indonesia. Alfa akan memanfaatkan kunjungan Putin ke Indonesia ini untuk menyepakati dengan pemerintah Indonesia dalam pembelian 41 persen saham Indosat dari anak perusahaan Temasek, Singapore Technologies Telemedia (STT) yang memiliki saham sebesar 41,9 persen di Indosat. Namun belum diketahui apakah Alfa telah melakukan pembicaraan dengan STT terkait rencana pembelian saham di Indosat ini.

Yang menarik dari isu rencana pembelian saham Indosat oleh perusahaan ini adalah pada saat yang sama kontroversi pembelian kembali saham pemerintah di Indosat terus berlanjut. Pemerintah didesak untuk mempercepat pembelian kembali saham yang terjual ke Temasek grup tersebut. Komposisi saham di Indosat antara lain 44 persen dimiliki publik, 14 persen oleh pemerintah dan 42 persen oleh Grup Temasek (Singapore Technologies Telemedia - STT). Kepemilikan saham grup Temasek di perusahaan telekomunikasi seluler tersebut memiliki permasalahan, di mana Temasek juga memiliki saham sebesar 35 persen di Telkomsel. Sementara kedua perusahaan telekomunikasi tersebut, Indosat dan Telkomsel, menguasai 80 persen pangsa pasar telepon seluler. Kepemilikan silang Temasek ini tentu saja melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun sampai saat ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum berani merekomendasikan Grup Temasek telah melakukan praktek monopoli.

Tekanan dari DPR juga terus bergulir terkait upaya pembelian kembali saham pemerintah di Indosat dan kasus kepemilikan silang Temasek Group di perusahaan tersebut. Anggota Komisis VI DPR Ri Nusron Wahid menyatakan bahwa pemerintah harus bergerak cepat membeli kembali saham grup Temasek di Indosat. Kalaupun angaran tidak ada, pemerintah harus mencari alternatif dengan membentuk konsorsium nasional untuk membeli saham Indosat. Terkait dengan pengusutan kasus kepemilikan silang tersebut, kalangan DPR mencium adanya intervensi terhadap penyelidikan kepemilikan silang bisnis telekomunikasi di Indonesia. Fahri Hamzah, anggota Komisi VI DPR meminta lembaga negara maupun pemimpin negara menahan diri untuk tidak mengintervensi proses investigasi KPPU terkait kepemilikan silang grup Temasek tersebut.

Terdapat dua hal yang patut dicermati mengenai tarik-menarik kepemilikan saham di Indosat ini. Pertama, persoalan monopoli pihak asing secara teoritis merupakan dampak langsung yang tidak dapat dihindari dari kebijakan privatisasi asset negara di tengah kondisi keuangan sektor swasta domestik yang lemah. Sebagai akibatnya, perusahaan asing yang kuat secara finansial akan mendominasi pembelian saham asset-aset strategis negara yang diprivatisasi. Kepemilikan silang grup Temasek di Indosat dan Telkomsel merupakan bukti dari dampak negatif kebijakan privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Akan tetapi, melihat getolnya upaya pemerintah untuk menjual saham Jasa Marga dan beberapa BUMN lainnya menunjukkan bahwa pemerintah tidak belajar dari pengalaman buruk Indosat tersebut. Kedua, terkait dengan pembelian kembali saham grup Temasek di Indosat terlihat bahwa motif pengejaran keuntungan sangat kental di dalamnya, bukan motif nasionalisme yang tujuan utamanya adalah merebut kembali asset strategis nasional yang dikuasai asing. Jika pengusutan KPPU membuktikan pelanggaran grup Temasek atas kepemilikan silang tersebut, maka posisi tawar pemerintah untuk membeli kembali sahamnya yang dikuasai grup Temasek tersebut akan sangat kuat. Akan tetapi, kalaupun pemerintah berhasil mendapatkan kembali sahamnya di Indosat, itu pun akan dijual kembali kepada Alfa Group yang telah lama menantikan momentum tersebut. Sehingga pemerintah mendapatkan keuntungan besar yang lagi-lagi untuk menutupi defisit APBN. Dengan kata lain, asset-aset strategis nasional seperti Indosat tetap akan dikuasai oleh pihak asing di balik tarik ulur pembelian saham Indosat ini.

6. Upaya Pemerintah dalam Stabilisasi Harga Bahan-bahan Kebutuhan Pokok

Kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok pada dua bulan ini terjadi di hampir 15 provinsi di Indonesia. Kenaikan tersebut mencapai 10-30 persen selama dua bulan terakhir. Menurut BPS, kenaiakan harga sembako akhir-akhir ini hanya merupakan dampak psikologis yang terlalu cepat. Wakil Ketua MPR meminta pemerintah diharapkan mampu mengendalikan harga bahan pokok yang cenderung naik menjelang Ramadhan. Sejauh ini Departemen Perdagangan telah berkoordinasi dengan produsen, distributor, departemen teknis terkait maupun pemerntah daerah untuk pelaksanaan pasar murah. Menurut Faisal Basri kenaikan harga bahan pokok akhir-akhir ini merupakan imported inflation atau inflasi yang berasal dari luar negeri. Kondisi ini mendorong peningkatan harga kebutuhan bahan-bahan pokok di dalam negeri karena ketergantungan impor masih tinggi. Sebagian besar kebutuhan masyarakat masih diimpor, sehingga ketika nilai tukar rupiah terpuruk, otomatis pengeluaran menjadi lebih besar dan kenaikan harga tidak dapat dielakkan.

Sementara itu, untuk menstabilkan harga minyak goreng yang selama beberapa bulan terakhir mengalami kenaikan drastis, kebijakan lanjutan pemerintah mengenai komoditas minyak sawit mentah beserta produk turunannya hanya akan difokuskan pada instrumen Pungutan Ekspor (PE) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang efektif pada 1 September 2007. Pemerintah akan menerapkan sistem tabel, yang akan memuat kisaran besaran tariff PE yang ditetapkan antara 0-10 persen. Kebijakan yang mewajibkan pasokan ke dalam negeri dalam bentuk DMO dan kuota ekspor tidak menjadi pilihan pemerintah. Kebijakan ini baru akan diberlakukan jika terjadi kekurangan bahan baku dalam negeri. Ketua Komisi VI DPR RI Didik J. Rachbini menilai kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi untuk komoditas minyak goreng merupakan kebijakan yang tidak tepat. Seharusnya, selain menerapkan kebijakan PE, pemerintah juga menerapkan kuota ekspor sehingga produsen CPO membanjiri pasar domestik dan harga pasar di dalam negeri dapat diturunkan. Ironisnya, justru DPR sendiri yang menyetujui alokasi subsidi minyak goreng sebesar Rp. 325miliar dalam APBN-P 2007, yang tujuannya justru untuk mengamankan harga minyak goreng terutama bagi rakyat miskin. Alokasi tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan subsidi minyak goreng bagi 15,8 juta rumah tangga miskin dan hanya diberikan untuk tiga bulan ke depan. Namun pemerintah belum menetapkan mekanisme penyaluran subsidi minyak goreng ini.

7. Produksi Minyak Nasional

Data statistik menunjukkan trend penurunan produksi minyak nasional yang secara konsisten selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 1999, produksi minyak mentah Indonesia tercatat sebesar 1,4 juta barrel per hari. Jumlah ini kemudian terus menurun selama tujuh tahun terakhir. Pada tahun 2002, jumlah produksi minyak nasional sebesar 1,288 juta barrel per hari, turun menjadi 1,179 juta bph di tahun 2003. Produksi minyak nasional selama 2006 gagal mencapai target yang ditetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara sebesar 1,050 juta barel per hari. Tahun lalu produksi minyak hanya 1,007 juta barel. Sedangkan produksi minyak pada 2005 merosot menjadi 1,060 juta barel dari 1,096 juta barel pada 2004. Pada tahun 2007 ini, pemerintah Indonesia mentargetkan produksi minyak nasional sebesar 1,050 juta bph, jauh dibawah produksi minyak Indonesia di tahun 1999, sementara itu, produksi riil minyak Indonesia per hari pada tahun 2007 ini hanya sebesar 1 juta barrel. Ironisnya, penurunan produksi minyak ini diiringi oleh semakin meningkatnya konsumsi minyak nasional yang pada 2007 mencapai 1,3 juta bph, meningkat pesat dibandingkan konsumsi tahun 2004 yang sebesar 1,131 juta bph. Dalam kondisi penurunan produksi minyak di tengah peningkatan konsumsi ini, berpengaruh terhadap impor minyak Indonesia yang saat ini sebesar 300.000-400.000 bph. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi sebesar 700.000 bph di tahun 2010. Tidak mengherankan jika ekspor minyak nasional hanya sebesar 0,3 juta bph dibandingkan impor yang mencaapi 0,4 juta bph. Ironisnya, di tengah kondisi keterpurukan produksi minyak nasional tanpa ada titik terang kapan akan berakhir dan bagaimana caranya, pemerintah justru mentargetkan produksi minyak untuk RAPBN 2008 sebesar 1,034 juta barel per hari. Sementara untuk RAPBN-P 2007 produksi minyak hanya sebesar 950 ribu barel per hari. Produksi minyak oleh Pertamina juga belum maksimal, yaitu sebesar 135,6 ribu bph. Ironisnya, penghasil minyak tanah di nusantara justru didominasi oleh tangan asing, di mana Chevron Pacific Indonesia menduduki posisi pertama dengan produksi 376,3 ribu bph, dua kali lipat dari produksi Pertamina.

Menurut Dirjen Migas, terdapat enam kendala internal dalam produksi minyak nasional. Pertama, lapangan minyak (oil field) yang sudah tua dan harus diakali dengan perawatan sumur minyak dan perawatan. Kedua, keterbatasan sumber daya manusia. Ketiga, prosedur tender barang untuk eksplorasi dan produksi. Keempat, masalah anjungan atau rig, kapal, serta instalasi apung/vessel. Kelima, lamanya pembahasan program dan anggaran operator. Terakhir, pembahasan masalah peralatan impor yang memakan waktu lama. Sementara itu, sedikitnya terdapat empat kendala eksternal dalam produksi minyak. Pertama, pemerintah mengeluhkan banyaknya auditor yang mengaudit kontraktor kontrak kerjasama migas di Indonesia. Selain oleh BP Migas, KKKS juga diaudit oleh BPK, BPKP serta audit internal. Kedua, ketidakpastian pajak, terutama bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) peralatan impor. Ketiga, KKKS sering mengeluhkan seringnya gangguan keamanan dan ketertiban di wilayah kerjanya. Keempat, permasalahan tumpang tindih lahan.

Kendala produksi minyak yang dikemukakan Dirjen migas di atas secara tidak langsung menyiratkan bahwa strategi untuk meningkatkan produksi minyak nasional adalah melalui liberalisasi total sektor migas. Berbagai kendala baik itu internal atau eksternal tersebut masih mengarah kepada tingginya biaya produksi dan waktu yang lama. Jikapun liberalisasi sektor migas yang memang selama ini telah dilakukan di bawah kerangka Undang-Undang Migas diimplementasikan secara total tidak menjamin bahwa produksi minyak Indonesia akan meningkat. Justru sebaliknya, dominasi perusahaan asing akan semakin menjadi jika liberalisasi tersebut benar-benar dilakukan secara total.

8. Integrasi Ekonomi ASEAN dalam Geliat Ekonomi Kawasan

Integrasi ekonomi ASEAN menuju terciptanya masyarakat ekonomi ASEAN tengah dilanda dilema saat ini. Di satu sisi ASEAN tengah mengintensifkan integrasi ekonomi internal sesama negara anggotanya. Di sisi lain, kemajuan ekonomi negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, China, Korea Selatan dan India seakan-akan menjadi magnet yang menyedot masing-masing negara anggota bahkan ASEAN secara keseluruhan ke dalam pusat pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut. Negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN mentargetkan untuk menyelesaikan semua pembicaraan perdagangan bebas dengan enam negara mitra dagang utama ASEAN meliputi China, Jepang dan Australia, menjelang 2013. Tahun depan ASEAN akan merampungkan kerjasama perdagangan bebas dengan Korea Selatan diikuti dengan Australia dan Selandia Baru di tahun 2009. Sementara itu, negosiasi dengan China akan diselesaikan pada 2010. Di sisi lain, skema perdagangan bebas antar negara anggota ASEAN sendiri semakin digencarkan. Melalui skema ASEAN Economic Community (AEC), seluruh hambatan-hambatan impor atas produk-produk yang disepakati akan dihapuskan pada tahun 2010 untuk Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Untuk anggota ASEAN lainnya diberikan waktu sapai 2015 dan tenggang waktu sampai 2018.

Negara-negara ASEAN sendiri mengkhawatirkan keberadaan pakta-pakta perdagangan bebas dengan negara-negara tersebut akan menyebabkan blok kawasan menjadi bias dan mengurangi manfaat secara ekonomi. Dorongan kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas yang dilakukan oleh negara mitra dagang ASEAN dapat menyebabkan terjadinya pergeseran pusat ekonomi jauh dari kawasan Asia Tenggara itu sendiri.

9. Pertemuan APEC di Australia menuju Percepatan Liberalisasi Perdagangan Kawasan

Pertemuan negara-negara APEC di Australia pada awal bulan ini diwarnai oleh agenda Amerika Serikat sebagai salah satu pendukung terbesar dari gagasan penciptaan kawasan bebas untuk mempercepat liberalisasi perdagangan di kawasan Asia Pasifik. AS meyakini bahwa penyatuan ekonomi bersama negara-negara anggota APEC dapat meningkatkan kesejahteraan di kawasan Asia Pasifik. Pertemuan APEC ini disinyalir akan digunakan AS untuk semakin mendorong liberaliasi perdagangan kawasan sebagai alternatif dari kebuntuan liberalisasi perdagangan di bawah kerangka WTO. Khususnya kebuntuan dalam Putaran Doha yang ditujukan untuk menghapuskan hambatan perdagangan global yang cenderung gagal disepakati. Namun demikian, liberalisasi perdagangan tersebut memiliki resiko di mana jika APEC gagal dalam mengharmonisasikan “noodle bowl”, istilah untuk kawasan perdagangan bebas yang tidak melebur sepenuhnya dalam sebuah “Melting pot”, maka resiko proteksionisme yang dilakukan masing-masing negara akan sangat tinggi di tengah ketiadaan kerangka aturan perdagangan global.

10. Tarik-menarik Perebutan Kursi Kepemimpinan di IMF

Menjelang suksesi kepemimpinan dalam tubuh IMF di usianya yang telah menginjak 62 tahun, keruntuhan tradisi kepemimpinan Eropa tampaknya akan segera tiba. Di tengah derasnya kritik dan kecaman yang ditujukan kepada lembaga tersebut yang dinilai tidak adil terhadap negara-negara berkembang terutama dalam hal pemilihan direktur pelaksana yang tidak berdasarkan asas satu negara satu suara tetapi lebih kepada kepemilikan saham di lembaga tersebut dan adanya tradisi tidak tertulis di mana pemimpin IMF harus dari dan ditentukan oleh negara-negara Eropa. Ditambah lagi dengan arus kecaman yang menuding institusi finansial tersebut sebagai biang dari berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi negara-negara berkembang melalui kebijakan-kebijakan neoliberal yang diusungnya, semakin membuat IMF berada dalam posisi yang terpojokkan. Pasca krisis Asia, Stiglitz menilai bahwa telah terjadi perubahan dalam cara pandang IMF, terutama terkait dengan intervensi negara yang telah mulai ditolerir di tengah ancaman resiko globalisasi keuangan global yang sangat besar. Tetapi akankah IMF benar-benar akan melakukan reformasi secara menyeluruh? Mampukah IMF melepaskan diri dari dominasi kepentingan AS?

Di usia IMF yang telah melebihi 60 tahun ini Uni Eropa berjanji akan mengakhiri tradisi kepemimpinannya di IMF, dan bakal menyerahkan posisi tertinggi di lembaga itu kepada negara-negara berkembang, syaratnya, saat ini negara-negara berkembang harus mendukung Dominique Strauss-Kahn (Tokoh Sosialis Perancis) untuk memimpin IMF periode mendatang. Janji manis tersebut dilontarkan oleh pimpinan Eurogroup (forum menteri keuangan Uni Eropa), Jean Claude Juncker. Dalam Eurogroup semua negara menyekapati Strauss-Kahn menjadi pimpinan IMF terakhir yang berasal dari Uni Eropa. Anggota Uni Eropa juga sepakat bahwa di amsa depan negara-negara berkembang harus memiliki kekuatan yang lebih di IMF. Sementara itu, Rusia mencalonkan Josef Tosovsky, mantan Perdana Menteri Ceska, sebagai direktur pelaksana IMF menggantikan Rodrigo De Rato. Namun pemerintah Ceska sendiri menanggapi dingin usulan Rusia tersebut bahkan menunjukkan tanda-tanda yang tidak mendukung.

Jika memang Uni Eropa berkomitmen pada janjinya untuk melepaskan dominasi kepemimpinan IMF pada periode mendatang, maka babak baru dalam sejarah institusi finansial ini akan segera dimulai, di mana negara-negara berkembang diberikan peluang untuk memipin lembaga yang menjadi lender of the last resort untuk mengatasi persoalan moneter yang dihadapi negara-negara anggotanya. Akan tetapi, jika kita mencermati kentalnya dominasi kepentingan AS di dalam tubuh IMF ini, sangat kecil peluang bagi terjadinya reformasi besar-besaran di lembaga moneter tersebut. Sejauh ini, analisis penulis dalam melihat fenomena reformasi IMF ini lebih cenderung mengarah kepada kamuflase negara-negara Eropa dan Amerika Serikat untuk memperlihatkan bahwa IMF akan melakukan perubahan sebagai evaluasi keberadaannya selama puluhan tahun di tengah derasnya kritik dan kecaman terhadap lembaga tersebut. Dengan demikian, kecil kemungkinan IMF akan kembali kepada format awalnya yang bertugas sebagai regulator dalam persoalan moneter dan finansial internasional sebagaimana dalam masa sistem moneter Keynesian empat puluh tahun lalu, sebelum sistem liberalisasi mata uang diusung lembaga ini. Sebagaimana halnya wacana reformasi PBB yang terus digulirkan tetapi realisasinya tak kunjung tiba, sehingga prinsip realisme masih mendominasi politik internasional. Begitu juga halnya dengan reformasi IMF, wacana tersebut sengaja digulirkan untuk memperlihatkan bahwa IMF akan segera melakukan perubahan mengakomodir tuntutan dari negara-negara berkembang, namun dalam kenyataannya realisme dalam arti kepemilikan saham dan kekuatan ekonomi masih menjadi faktor dominan dalam menentukan arah dan kebijakan lembaga ini.

11. Rancangan Undang-Undang Larangan Impor Rokok di Amerika Serikat

Standar ganda Amerika Serikat kembali mencuat terkait dengan rencana adopsi rancangan undang-undang yang melarang penjualan rokok yang mengandung cengkeh. Pengambil kebijakan di AS menggunakan argumen bahwa penjualan rokok dengan berbagai cita rasa di AS dapat merangsang anak di bawah umur menjadi perokok. Kandungan cengkeh yang memberikan cita rasa tersendiri juga dikategorikan sebagai rokok yang dilarang peredaran dan penjualannya di negeri Paman Sam tersebut. Ironis memang, di satu sisi melalui pertemuan APEC pada pekan ini AS mendorong dilakukannya perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik yang diyakininya akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara kawasan. Akan tetapi di sisi lain, AS sendiri justru melakukan proteksi atas pasar domestik dari produk-produk negara lain. Sehingga tidak heran jika banyak analisis yang mengemukakan bahwa kegagalan harmonisasi “noodle bowl” perdagangan bebas dapat meningkatkan resiko proteksionisme yang dilakukan masing-masing negara. Pemerintah Indonesia sendiri telah memperingatkan perwakilan dagang AS mengenai pelanggaran kesepakatan WTO jika AS tetap memutuskan untuk mengadopsi undang-undang yang melarang penjualan rokok yang mengandung cengkeh. Jika alasan perlindungan anak di bawah umur digunakan oleh AS untuk melarang penjualan rokok, maka cengkeh bukanlah merupakan salah satu cita rasa yang terdapat pada rokok yang dapat merangsang anak di bawah umur untuk merokok. Sehingga tidaklah masuk akal jika AS juga melarang penjualan rokok produk Indonesia yang memang memiliki ciri khas menggunakan cengkeh.

B. POLITIK

SUMMARY

Dalam pekan terakhir di bulan Agustus ini, perkembangan politik Indonesia di hadapkan pada dua kondisi yang sangat memprihatinkan, yakni: pertama, secara internal politik domestik disuguhi oleh fakta beberapa bentuk penyimpangan diantaranya terbongkarnya fenomena suap menyuap antar elit politik di lembaga legislatif. Lembaga yang seharusnya menjadi gerbong pengawal kinerja eksekutif sekaligus gerbong perumus kebijakan publik dan penyampai aspirasi masyarakat justru terjebak pada praktek-praktek yang berorientasi mengakumulasi kekayaan pribadi. Kedua, secara eksternal harga diri bangsa Indonesia telah dilecehkan dan diinjak-injak oleh sikap arogansi negara tetangga kita sendiri yaitu Malaysia terkait kasus pemukulan terhadap wasit karate delegasi Indonesia oleh polisi Diraja Malaysia. Meskipun serumpun namun Malaysia seolah-olah tidak mau disederajatkan dengan Indonesia sehingga dalam kasus pemukulan tersebut permintaan maaf atas kesalahan yang telah dilakukan menjadi satu hal yang sulit untuk diucapkan. Apa yang terjadi dengan Indonesia saat ini sehingga tidak lagi mempunyai kredibilitas di mata Negara tetangganya bahkan di mata Negara-negara di dunia terkait dengan kasus pemukulan Donald dan kasus perlakuan TKI di luar negeri.

Kondisi Indonesia saat ini yang tengah mengalami dekadensi kredibilitas di mata dunia tidak bisa dilepaskan dari konstelasi politik domestik saat ini di mana perilaku elit politik dan pejabat negara sudah tidak lagi mengedepankan prinsip moral melainkan prinsip pragmatisme (realisme politik). Individual interest menjadi dominan dibanding dengan national interest sehingga jabatan dan kedudukan politik dijadikan komoditas untuk mencapai kepentingan individu. Dampak yang ditimbulkan adalah terjadinya kemandulan atau disfungsi atas kinerja elit politik dan pejabat negara dari nilai-nilai ideal untuk melakukan proses state-building yang berakibat pada stagnasi pembangunan dan pada level yang kronis akan mengakibatkan dekadensi kredibilitas negara.

Fenomena seperti konflik kepentingan antar elit (dalam kasus pergantian Mendagri dan kontroversi ide pembentukan komisi nasional konstitusi oleh Presiden), tindakan penyimpangan oleh para elit politik dan pejabat Negara (dalam kasus aliran dana BI ke DPR, kasus uang pengganti kasus korupsi di kejakgung, kasus penyimpangan dalam sistem penempatan TKI, dan kurangnya kesadaran pejabat negara dalam melaporkan LHKPN), proses penegakan hukum yang dipolitisasi (dalam kasus PK Munir dan penyelesaian kasus BLBI), dan budaya politisasi permasalahan untuk persiapan jelang pemilu 2009 (dalam proses pembuatan RUU politik dan manuver-manuver politik partai politik jelang pemilu 2009) menunjukkan bahwa saat ini para elit politik dan pejabat negara lebih suka mengurusi masalah-masalah yang mempunyai nilai ekonomis bagi mereka ketimbang mengurusi masalah-masalah yang berkaitan dengan masa depan bangsa ini. Ironis memang namun inilah realitanya.

RECENT POLITICAL DEVELOPMENT

1. Aliran Dana dari BI ke DPR

Laporan audit keuangan BI oleh BPK tahun 2003 menyebutkan bahwa BI telah mengalirkan dana sebesar Rp 31,5 miliar ke sejumlah anggota DPR pada tahun 2003. Dana tersebut digunakan untuk membahas amandemen UU BI dan penyelesaian permasalahan BLBI. Dana diambilkan dari YPPI/LPPI senilai RP 100 miliar dimana Rp 31,5 miliar di alirkan ke DPR dan sisanya sekitar Rp 68,5 miliar digunakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum mantan pejabat BI. Pada awal Agustus ICW telah melaporkan adanya aliran dana sebesar total Rp 3,8 miliar dari BI kepada Komisi IX DPR (1999-2004). Dana itu diberikan pada September 2004 dan disebutkan terkait pembahasan RUU Kepailitan, RUU Lembaga Penjamin Simpanan, RUU Likuidasi Bank, dan RUU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, serta penetapan anggaran BI 2005. Koran Tempo pada awal agustus 2007 juga menurunkan laporan tentang aliran dana Bank Sentral ke DPR dengan jumlah lebih besar. Versinya menyebutkan jumlah dana yang mengalir mencapai Rp. 4,4 miliar. Rinciannya, pembahasan RUU Lembaga Penjaminan Simpanan Rp 500 juta, RUU SPPN dan RUU Kepailitan Rp2,65 miliar, Amendemen UU Perbankan Rp 650 juta, pembahasan Anggaran BI Rp 540 juta, dan breakfast meeting di Hotel Hilton, Jakarta Rp 75 juta. Meskipun sudah banyak data yang dilasir terkait dengan praktek suap di DPR namun sejumlah anggota DPR dan mantan pejabat BI mengaku tidak tahu menahu soal aliran dana tersebut.

Modus yang digunakan dalam melakukan praktek suap di tubuh lembaga legislative tersebut adalah melalui rapat-rapat kerja di komisi, Panitia anggaran, Kunjungan kerja, Pansus rancangan UU dan Pansus Kasus. Dari sini bisa kita lihat bahwa memang aliran dana tersebut sudah terencana secara sistemik dengan memanfaatkan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh lembaga legislative. Dan kemungkinan besar dana yang mengalir ke DPR tidak hanya dari BI saja tapi tidak menutup kemingkinan dari lembaga-lembaga pemerintahan lainnya termasuk juga dari para pelaku usaha. Praktek suap yang terjadi di DPR terjadi karena adanya kepentingan kelompok, instansi ataupun individu terkait dengan pembahasan perundang-undangan sehingga ada semacam pemberlakuan tariff untuk per pasalnya.

Relasi BI dengan DPR seharusnya diwujudkan dalam dua bentuk yakni kontrol langsung dari parlemen, serta kewajiban BI untuk bersikap transparan dan menyampaikan laporan secara periodik kepada dewan. Akuntabilitas BI sebenarnya diatur dalam UU Nomor 23/1999 tentang BI yang merumuskan konstruksi hubungan antara BI dengan DPR yang mememang merupakan lembaga tinggi negara yang secara institusional mempunyai fungsi pengawasan. Namun yang terjadi jauh dari idealita di atas karena relasi yang dibangun didasarkan pada kepentingan bukan pada fungsi.

Fenomena suap di DPR ini bisa dikategorikan sebagai praktek korupsi politik karena terjadi silang anggaran antara legislatif dan mitranya. Terlepas dari itu, praktek suap di DPR akan berdampak luas bagi masyarakat karena menyangkut proses pembuatan kebijakan publik yang sudah tidak lagi menggunakan prinsip independensi lembaga. Alhasil, kebijakan yang dikeluarkan lebih mengakomodir kepentingan si donatur.

Menyikapi fenomena ini, KPK seharusnya melakukan tindakan hukum untuk menyelidiki dan menyeret para pelakunya baik itu oknum yang menerima suap ataupun oknum yang memberi suap ke meja hijau. Persoalan ini tidak bisa hanya diselesaikan secara internal oleh Badan Kehormatan DPR karena dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur suap dan gratifikasi dijelaskan secara jelas mengenai sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada para pelakunya. Oleh karena itu, proses penyelesaian secara hukum harus dilakukan sekaligus sebagai upaya untuk membersihkan tubuh DPR dan BI dari praktek suap (korupsi politik).

2. Penolakan AMPB terhadap figur Mardyanto

Misteri seputar siapa yang akan menggantikan Ma’aruf sebagai mendagri akhirnya terjawab ketika Presiden SBY mengumumkan bahwa Gubernur Jawa Tengah Mardyanto sebagai Mendagri baru menggantikan Ma’aruf. Meskipun sebelumnya pencalonan figur Mardyanto banyak di tentang banyak kalangan termasuk oleh mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Bangsa (AMPB). Penolakan tersebut dilakukan atas dasar dugaan keterlibatan Mardyanto dalam tindak pidana korupsi APBD 2003 senilai Rp 32,6 miliar dan dugaan kasus korupsi mobil pemadam kebakaran. Nampaknya Presiden SBY lebih suka mendengarkan masukan dari orang-orang di sekelilingnya ketimbang mendengarkan aspirasi dari arus bawah.

Terlebih sebelum diumumkannya siapa mendagri baru, SBY dan JK melakukan pertemuan empat mata secara tertutup di Istana Kepresidenan. Tidak bisa dipungkiri bahwa JK mempunyai kedekatan dengan Mardyanto. Kalla memang sangat mengenal Mardiyanto. Sebab, alumnus Akmil 1970 itu kerap bertugas di Makassar. Di antaranya, Dan Yonif 725 Ujung Pandang 1985-1987, Dandim 1412 Ujung Pandang 1987-1988, dan Dandim 1408/BS Ujung Pandang 1988-1989. Karena mengenal Mardiyanto sebagai figur yang jujur dan apolitis, Kalla dikabarkan membela Mardiyanto ketika Presiden SBY menanyakan aksi massa yang mempersoalkan keterlibatan Mardiyanto dalam dugaan kasus korupsi. Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto paling pantas menduduki jabatan Mendagri menggantikan Muhammad Ma’ruf. Sebagai gubernur Jateng dua periode, Mardiyanto dinilai Kalla sangat berpengalaman dalam pemerintahan daerah. ”Pak Mardiyanto paling pantas karena sejak 2003 sudah berpengalaman di pemerintahan. Itu memudahkan beliau memahami aspirasi daerah,” kata Kalla dalam paparan di Editor’s Forum di Kediaman Dinas Wakil Presiden, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa malam.

Terlepas dari kontroversi seputar pengangkatan Mardyanto sebagai Mendagri Baru, ada hal yang lebih urgen yaitu keseriusan Mardyanto dalam menindak lanjut agenda penyusunan paket RUU Politik yang waktu pembahasannya sampai Desember mendatang. Termasuk, revisi UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengakomodasi calon independen dalam pelaksanaan pilkada di seluruh Indonesia. Gerak cepat dari Mendagri baru dalam menyelesaikan pekerjaan rumah departemen dalam negeri sangat dituntut karena jika tidak akan berpotensi menimbulkan gejolak politik bahkan bisa memicu konflik.

3. Konfrontasi Kesaksian Ongen oleh Matius Salempang

Pencabutan kesaksian Ongen terhadap BAP kasus pembunuhan munir melahirkan polemik baru dalam PK pembunuhan aktivis HAM Munir. Dalam persidangan selanjutnya yang menghadirkan Ketua Penyidik Mabes Polri Brigjen Pol Mathius Salempang sebagai saksi sebagai upaya untuk mengkonfrontir kesaksian Ongen yang menyatakan bahwa dirinya telah diintimidasi oleh pihak penyidik mabes polri dalam proses pembuatan BAP. Dalam kesaksiannya Mathius Salempang membantah telah melakukan intimidasi terhadap Ongen. Meski demikian Ongen tetap berpegang teguh pada kesaksiannya dimana dia tidak melihat Polly sewaktu di Coffe Bean dan intimidasi yang dilakukan oleh Mathius Salempang bahkan dalam persidangan tersebut M Assegaf selaku pengacara Ongen mengatakan, pihaknya akan menghadirkan tiga saksi yang meringankan kliennya. Namun identitas ketiganya masih dirahasiakan. Ketiga saksi ini, menurut dia, mengaku melihat Polly ketika keluar dari pesawat Garuda Indonesia dan langsung menuju hotel. Mereka melihat Polly tidak mampir ke Coffee Bean di Bandara Changi, Singapura dan mengobrol dengan Munir di kafe tersebut.

Apa yang dilakukan ongen mulai dari pencabutan kesaksian hingga tuduhan intimidasi atas dirinya sebenarnya justru semakin menjadi blunder buat dirinya. Pertama, Ongen dianggap telah mengaburkan identitas pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Kedua, kesaksian ongen membuat kasus ini menjadi mengambang dan melebar sehingga tanpa di sadari jauh dari substansi. Ketiga, kesaksian Ongen bisa berimplikasi terbalik dimana status saksi Ongen selama ini bisa berubah menjadi tersangka. Keempat, konfrontasi kesaksian Ongen oleh Mathias Salempang menunjukkan bahwa Ongen merupakan bagian dari konspirasi besar pembunuhan Munir dimana ada kekuatan besar yang mengintimidasi ongen sehingga dia mencabut kesaksiannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ongen hanyalah bagian terkecil dari skenario besar untuk mempolitisir kasus pembunuhan Munir. Skenario besar itu bisa berasal dari kubu birokrasi, kubu militer bahkan kubu LSM karena banyak kepentingan yang bermain. Munir hanya dijadikan sebagai martir untuk pencapaian kepentingan tersebut.

4. Uang Pengganti Kasus Korupsi di Kejagung

Isu mengenai dugaan korupsi atas uang pengganti di Kejagung mencuat setelah ditemukan adanya perbedaan jumlah nominal uang pengganti antara data hasil audit dari BPK dengan data laporan dari Depkeu soal uang pengganti kasus korupsi. Sehingga muncul dugaan adanya tindak korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan terkait selisih uang pengganti yang belum di setor ke kas Negara. Terlebih lagi ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut angkat bicara. Sebagaimana dilansir Harian Kompas, Jusuf Kalla meminta Kejagung agar transparan dalam mengelola uang pengganti. Hendarman Supandji langsung meresponnya dengan cepat. Kejagung telah merangkul Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait pemeriksaan uang pengganti ini dengan memberi tenggat waktu selama satu bulan. Pihak kejagung menegaskan bahwa keterlibatan BPKP bukan untuk mengaudit melainkan untuk memverifikasi perbedaan data antara BPK dan Depkeu.

Data di Kejagung, JAM Pidsus Kemas Yahya Rahman membeberkan, total uang pengganti yang ditangani kejaksaan Rp 10,704 triliun dan USD 5.500. Dari jumlah itu, Rp 2,568 triliun sudah dibayar terpidana, Rp 1,114 triliun dijalani dengan penjara, dan Rp 78,530 miliar dilimpahkan ke bagian perdata dan tata usaha negara (Datun) untuk digugat perdata. Sedangkan yang belum tertagih Rp 6,969 triliun dan USD 5.500.

Dari data audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2005, total uang pengganti yang belum tertagih oleh kejaksaan seluruh Indonesia Rp 6,667 triliun. Rinciannya, uang pengganti yang ditangani kejaksaan bernilai total Rp 5,314 triliun dengan jumlah perkara 227. Uang pengganti yang dilimpahkan ke Datun untuk digugat perdata senilai Rp 1,353 triliun dari 107 perkara.

Dalam kasus ini, pihak kejagung menolak keterlibatan BPK untuk ikut melakukan audit dengan alasan bahwa audit yang dilakukan BPK adalah bersifat investigasi sedangkan audit investigasi baru bisa dilakukan bila terdapat indikasi kasus. Perbedaan data jumlah uang pengganti antara BPK dan Laporan Depkeu belum bisa dijadikan dasar dan setiap tahunnya Kejagung sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara umum sehingga dalam permasalahan ini audit dari BPK belum diperlukan.

Masalah dana uang pengganti yang mengendap di Kejaksaan Agung merupakan masalah hukum yang unik, dilematis, dan tidak pernah terdengar jauh sebelum era reformasi. Pandangan masyarakat luas akan memberikan cap bahwa Kejaksaan Agung telah melakukan "penggelapan" atas uang yang seharusnya menjadi milik negara, apalagi jika uang pengganti tersebut sudah mengendap bertahun-tahun. KUHP memang tidak mengatur tindak pidana penggelapan atas harta kekayaan negara, kecuali atas harta kekayaan perorangan, yakni pelaku dan korban adalah perorangan (Pasal 372-377). Namun, bukan berarti tidak ada pendekatan normatif yang dapat diterapkan, kecuali dengan menggunakan penafsiran hukum yang diperluas bahwa perbuatan "menahan" dana uang pengganti tersebut terlepas dari ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian selain melanggar UU tentang PNBP, juga melanggar ketentuan Pasal 3 UU No 31/1999 yang memang secara khusus ditujukan terhadap penyelenggara negara dengan syarat semua unsur dalam pasal tersebut terpenuhi.

Dalam masalah uang pengganti ini, ada banyak hal yang di pertaruhkan oleh sebuah institusi penegak hukum seperti Kejaksaan Agung. Sebuah lembaga yang sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi atas beberapa kasus korupsi seperti BLBI, korupsi VLCC, korupsi Soeharto, korupsi Tommy dll justru terjebak oleh praktek korupsi itu sendiri sebuah paradoks yang sangat memalukan. Akan tetapi, bisa jadi masalah yang di picu oleh laporan dari BPK ini hanya merupakan skenario terselubung dari para koruptor yang sedang di buru kejagung untuk menjatuhkan “keagungan” kejaksaan di mata publik atas upaya penanganannya terhadap beberapa kasus korupsi karena dalam realisme politik segala cara halal digunakan untuk mencapai tujuan.

Masalah ini tentunya akan membawa implikasi besar terlebih apabila terbukti ada praktek korupsi dalam masalah uang pengganti kejagung. Kredibilitas Kejagung sebagai lembaga penegak hukum akan tercoreng oleh insiden ini. Apalagi secara eksternal hal ini juga akan berpengaruh terhadap proses kerjasama ekstradisi dengan Australia yang sedang di upayakan oleh kejagung untuk menangkap buronan BLBI di Singapura. Stigma buruk atas kejagung oleh pemerintah Australia akan menimbulkan ketidakpercayaan mengenai komitmen Kejagung dalam hal penegakan hukum sehingga besar kemungkinan pihak pemerintah Australia akan menolak kerjasama tersebut.

5. Tuntutan Penegakan hukum atas koruptor terbesar BLBI oleh Aliansi Organisasi Mahasiswa

Kasus korupsi BLBI adalah satu dari sekian banyak kasus tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah mengakibatkan kerugian negara/ rakyat lebih dari Rp 650 trilliun. Angka yang cukup fantastis tersebut selayaknya dapat dimanfaatkan oleh negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan membayar utang-utang negara. Namun kenyataannya uang tersebut justru diberikan kepada bankir-bankir yang tidak bertanggung jawab yang kemudian membawanya kabur. Ironisnya lagi dalam penanganannya pemerintah justru bersikap diskriminatif dan kooperatif yaitu tidak menindak mereka secara pidana melainkan secara perdata meskipun jelas-jelas perbuatan mereka masuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Bahkan pemerintah tidak punya malu untuk mengemis dan menggelar karpet merah kepada para koruptor tersebut untuk meminta kesediaan mereka mengembalikan uang yang telah mereka korupsi. Padahal peraturan perundang-undangan sudah jelas mengatur mengenai mekanisme penegakan hukum bagi para koruptor.

Hal inilah yang kemudian menyulut kemarahan rakyat terlebih kasus BLBI ini sudah berjalan selama sepuluh tahun namun hingga saat ini belum ada satupun koruptor yang mendekam di penjara. Tidak heran jika kemudian muncul aksi-aksi perlawanan oleh masyarakat, mahasiswa dan ormas yang menuntut pemerintah menuntaskan kasus BLBI secepatnya. Di antara aksi-aksi tersebut adalah aksi Jihad melawan Koruptor BLBI yang terdiri dari aliansi berbagai ormas dan organisasi mahasiswa di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, ICMI, IMM, BKMT, PMII, Alwasliyah, Wanita Islam, KAHMI, DMI, PI, Al Irsyad, HMI, DDII. Dalam aksi ini muncul kejadian yang unik dimana ada klarifikasi dari Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi yang menyatakan bahwa dirinya tidak tau menahu kalau dukungannya tersebut (dalam bentuk penanda tanganan dukungan) akan di muat di media cetak dan ikut menyertakan elemen-elemen lainnya sehingga dirinya merasa telah dibohongi. Untuk itu dirinya meminta agar pernyataan aksi tersebut tidak di publikasikan lagi.

Aksi lainnya datang dari aliansi BEM, organisasi mahasiswa, dan organisasi massa seperti: KMI, BEM FH UMJ, BEM UI Syarif Hidayatullah, FAM UI, BEM MERCUBUANA, PMII, MHI, LMND, BOR, FKMPS UI, KAMPUD, BEM UHAMKA, HMI Cab. Jakarta Raya, ISMAHI, ISMEI. Kedua aksi di atas pada intinya mempunyai tuntutan yang sama yaitu penyelesaian kasus BLBI secepatnya melalui mekanisme penegakan hukum yang tegas dan menuntut penyelesaian di prioritaskan terhadap konglomerat penerima BLBI terbesar yaitu Salim group. Meskipun hingga saat ini aksi yang dilakukan hanya sebatas publikasi pernyataan sikap melalui media namun Gerakan aksi ini mengancam akan melakukan aksi yang lebih radikal yaitu dengan membakar simbol salim group.

Pada dasarnya tidak ada yang ganjil dalam kedua aksi di atas karena apa yang mereka tuntut adalah demi penegakan hukum di Indonesia. Namun ada hal penting yang harus di pertanyakan terkait dengan tuntutan mereka yaitu mengapa tuntutan mereka hanya di arahkan pada koruptor BLBI terbesar padahal dalam kasus BLBI ini tidak hanya sekedar melibatkan satu atau dua orang koruptor. Terlebih kalau dilihat secara struktur organisasi dari aksi pertama dengan aksi yang kedua sebagian organ masih mempunyai hubungan struktural seperti HMI dengan KAHMI, IMM dengan Muhammadiyah dan PMII dengan NU. Hal ini lah yang perlu dikritisi dan dicari apa sebenarnya yang melatar belakangi aksi ini. Apakah murni tuntutan penegakan hukum atau hanya sekedar upaya politisasi isu BLBI untuk mengalihkan perhatian pemerintah terhadap koruptor-koruptor BLBI yang lainnya (nilai merugikan negaranya kecil). Isu BLBI ini memang sangat sensitif dan seksi untuk dimainkan sehingga kita harus berhati-hati dalam menyikapinya. Terakhir, sebagai saran bagi pemerintah agar lebih serius lagi dalam proses penyelesaian kasus BLBI ini tanpa pandang bulu dalam artian tidak melihat dari besar kecilnya nominal kerugian negara dan tentunya dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip penegakan hukum ketimbang hanya sekedar pengembalian aset. Apapun alasannya setiap perbuatan tindak pidana korupsi harus di hukum seberat-beratnya bahkan kalau perlu hukuman mati layak diberikan sebagai upaya untuk membuat para koruptor lainnya jera sebagaimana yang telah di terapkan di China.

6. Pemukulan Wasit Donald oleh Polisi Diraja Malaysia

Hubungan antara dua negara tetangga yang serumpun yaitu Indonesia dengan Malaysia nampaknya sedang di uji kembali. Setelah ketegangan yang di akibatkan oleh konflik perbatasan di Ambalat kini ketegangan muncul kembali yang di picu oleh aksi pemukulan 4 polisi diraja Malaysia terhadap delegasi wasit karate Indonesia Donald Luther Kolobita. Peristiwa ini otomatis memicu reaksi keras dari masyarakat dan pemerintah Indonesia. Sejarah hubungan Indonesia dengan Malaysia yang selalu di warnai dengan politik konfrontasi menjadikan insiden tersebut sebagai pelatuk pemicu emosi masyarakat dan pemerintah Indonesia. Akibatnya, pemerintah langsung melayangkan nota protes keras kepada pemerintah Malaysia sementara itu masyarakat Indonesia yang tergabung dalam berbagai macam kelompok seperti Pemuda Pancasila dan atlet karate Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di Kedubes dan Konjen Malaysia bahkan aksi sweeping pun sempat dilakukan di beberapa daerah.

Emosi pemerintah Indonesia dan masyarakat seakan di sulut dengan bara api ketika pemerintah Malaysia tidak mau melakukan permintaan maaf atas insiden tersebut. Kata maaf seolah-olah menjadi hal yang sulit untuk di ucapkan sehingga yang di ucapkan hanyalah “Deeply Regret” adalah kata yang di ucapkan oleh dubes Malaysia untuk Indonesia Dato Zainal Abidin Muhammad Zain setelah membacakan surat dari Kepala polisi diraja Malaysia. Penyesalan tidak bisa di artikan dengan permintaan maaf karena penyesalan hanya sebatas pengakuan atas kesalahan yang telah dilakukan dan bersifat searah berbeda dengan minta maaf yang menunjukkan pengakuan atas kesalahan yang telah dilakukan sekaligus memohon agar perbuatan tersebut di maafkan oleh pihak yang bersangkutan. Dalam konteks ini terlihat jelas bahwa Malaysia sebagai sebuah negara tidak mau dan enggan untuk menengadahkan tangan memohon permintaan maaf dari Indonesia. Bahkan kata “Deeply regret” tersebut di maksudkan sebagai bentuk penyesalan yang berasal dari oknum pelaku (4 polisi diraja Malaysia) bukan bentuk penyesalan yang berasal dari Negara. Meskipun pada akhirnya pemerintah Malaysia meminta maaf kepada pemerintah Indonesia namun insiden ini telah membuktikan betapa arogannya Malaysia terhadap Indonesia. Terlebih permintaan maaf tersebut hanya dilakukan lewat telephone tidak secara terbuka. Bisa jadi sebenarnya yang terjadi hanya dealing politik yang bertujuan untuk menenangkan situasi.

Sikap arogan yang ditunjukkan Malaysia atas insiden pemukulan terhadap wasit Donald Luther Kolopita membuat bangsa Indonesia harus berbenah diri. Sebab hal tersebut dinilai telah merendahkan Indonesia di luar negeri apalagi insiden seperti ini tidak hanya terjadi sekali. Insiden tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa Malaysia tidak mau disederajatkan dengan Indonesia dimana Malaysia menganggap bahwa negaranya lebih unggul dan lebih maju di banding Indonesia sehingga dalam masalah apapun Malaysia tidak mau mengalah. Nampaknya mainstream seperti ini sudah merasup ke seluruh rakyat Malaysia dimana mereka memperlakukan warga negara Indonesia layaknya sebagai seorang budak yang tidak pantas untuk di hormati. “Meskipun serumpun namun tidak akan pernah bersatu” adalah idiom yang tepat untuk menggambarkan bagaimana hubungan antara Malaysia dengan Indonesia.

7. Kontroversi Usulan pembentukan Komisi Nasional Konstitusi

Sebagai seorang Presiden, SBY nampaknya harus lebih berhati-hati di dalam mengeluarkan ide, gagasan ataupun statemen karena hal tersebut akan dengan cepat mengundang reaksi dari berbagai pihak dan bisa menjadi boomerang. Pihak yang pro akan menganggap bahwa hal tersebut merupakan langkah baik demi kemajuan bangsa ini namun bagi pihak yang kontra/oposisi tentunya hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyerang dan menjatuhkan kredibilitas SBY. Demokrasi di Indonesia belum bisa sepenuhnya dijadikan acuan untuk bebas mengutarakan pendapat dan gagasan.

Otomatis, ketika SBY memunculkan ide untuk membentuk komisi nasional amandemen yang berfungsi untuk melakukan kajian terhadap konstitusi sebagai salah satu mekanisme amandemen, langsung di sambut dengan sentimen positif dan negatif. Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan Komnas Amandemen UUD`45 nanti bertugas menelaah sistem ketatanegaraan, sistem pemerintahan, dan pranata hukum yang tepat untuk negara. Anggotanya terdiri dari pakar dan tokoh yang memiliki kearifan serta pengalaman luas di bidang tata Negara. Pada satu sisi, ide ini dianggap dapat membantu kinerja MPR untuk lebih mengefektifkan fungsinya namun di sisi yang lain ide tersebut dianggap cacat hukum dan telah melangkahi kewenangan MPR sehingga mengacaukan sistem ketatanegaraan serta secara finansial pun di anggap pemborosan terhadap anggaran negara. Bahkan ada yang menganggap bahwa tindakan SBY tersebut semata-mata hanya karena khilaf.

Apapun prespektif yang digunakan dalam menilai ide pembentukan komisi nasional amandemen oleh SBY janganlah di politisir sehingga semakin menambah keruh suasana. Biarkan itu berjalan sesuai etika dealektika yang konstruktif demi kemajuan bangsa ini.

8. RUU Politik

Setelah sekian lama DPR sempat dibuat gusar mengingat Pemerintah tidak kunjung pasti kapan akan mengirimkan draf paket UU Politik, akhirnya penantian DPR terhadap janji Pemerintah yang akan menyerahkan rancangan perubahan (revisi) paket UU Politik terjawab sudah. Jum’at, 25 Mei 2007, Pemerintah secara resmi menyerahkan draf paket UU Politik kepada DPR yang kemudian langsung ditindak lanjuti dengan memulai pembahasan RUU Politik dengan membentuk pansus RUU politik. Adapun RUU bidang politik yang menjadi prioritas pembahasan adalah RUU tentang Penyelenggaaran Pemilu, RUU Susunan dan Kedudukan (Susduk) Keanggotaan MPR, DPR, DPD dan DPRD, RUU Pemilihan Presiden, RUU Keormasan dan RUU Partai Politik. Dari kelima RUU politik tersebut hanya RUU Keormasan yang draf rancangannya belum diserahkan ke DPR.

Pembentukan pansus pun di bagi menjadi dua yaitu: RUU Pilpres dan RUU Pileg ditangani oleh Pansus yang diketuai oleh Ferry Mursyidan Baldan sedangkan untuk RUU Susduk dan Parpol, ditangani oleh Pansus yang diketuai oleh Ganjar Pranowo. Dalam menjalankan tugasnya, Pansus DPR menggunakan mekanisme rapat dengar pendapat umum (RDPU), kunjungan ke daerah, pengumpulan daftar isian masalah (DIM), dan melakukan pembahasan. Untuk pembahasan, nantinya akan ada tiga menteri yang terlibat. Mereka antara lain Mendagri Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa, dan Menteri Hukum dan HAM. Pembahasan RUU politik tersebut di targetkan selasai selambat-lambatnya Desember 2007. Revisi UU bidang politik ini juga menjadi salah satu prioritas tugas mendagri baru yang harus diselesaikan secepatnya.

Begitu signifikannya pembahasan RUU politik menjelang pemilu 2009 menjadikan proses pembahasannya syarat akan nuansa politis. Tarik menarik antar kepentingan merupakan hal yang tidak bisa di hindari sehingga pansel RUU Politik DPR dituntut untuk bekerja secara profesional dan menjaga independensinya. Apalagi RUU paket politik politik tersebut akan menjadi acuan pelaksanaan pemilu 2009. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana kontroversi yang terjadi menyoal draf RUU politik sebagai contoh adalah proses Judicial Review terhadap UU tentang Pileg mengenai prinsip electoral threeshold yang diajukan oleh 13 parpol kepada MK. Mekanisme pembahasan yang representatif dan transparan tidak akan ada gunanya ketika dalam finalisasinya intervensi kelompok kepentingan masih mendominasi terutama intervensi dari partai besar.

9. Penyimpangan dalam sistem penempatan dan perlindungan TKI

Kasihan sekali nasib TKI kita, meskipun TKI merupakan salah satu penyumbang devisa negara terbesar namun fakta menunjukkan bahwa perlakuan yang mereka dapat tidak sebanding bahkan jauh dengan kontribusi yang mereka berikan kepada Negara. Istilah yang paling tepat untuk mendeskrepsikannya adalah air susu di balas dengan air comberan. Penyiksaan, pemerkosaan, pemerasan, bahkan pembunuhan terhadap TKI oleh majikannya di luar negeri bukan lagi barang baru di telinga kita. Ironisnya, meskipun hal ini sudah sering terjadi namun tidak ada keseriusan pemerintah dalam menanganinya akibatnya kasus tersebut selalu terjadi setiap tahunnya dan semakin meningkat jumlahnya.

Di tengah minimnya kesadaran pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap TKI, muncul fakta baru dimana KPK menemukan 11 penyimpangan dalam sistem penempatan dan perlindungan TKI di antaranya indikasi korupsi melalui praktek suap dalam pengurusan dokumen calon tenaga kerja. Meskipun nilai nominalnya tidak signifikan yaitu Rp 20-40 ribu per dokumen atau berkas namun tetap saja termasuk tindakan korupsi. selain menemukan praktek suap, KPK menemukan maraknya praktek percaloan dalam proses perekrutan calon pekerja. Bahkan pelayanan pengurusan dokumen calon tenaga kerja kurang profesional, meliputi tidak digunakannya sistem antrean serta Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia dan dinas tenaga kerja tidak punya loket pelayanan. Selain itu, juga terjadi kontak langsung antara pengguna jasa dan petugas serta pejabat back office, tidak ada tanda terima berkas, serta informasi dan sarana pelayanan yang kurang memadai. Penyimpangan ini terjadi karena belum adanya standar pelayanan baku yang mengatur prosedur, persyaratan biaya, dan waktu penyelesaian pelayanan. belum ada standardisasi pelatihan prapenempatan calon tenaga kerja, belum ada standardisasi biaya penempatan pekerja, pengawasan terhadap lembaga penempatan kurang memadai, serta belum ada pemeriksaan substansi perjanjian penempatan dan perjanjian kerja.

Realitas ini menunjukkan bahwa pemerintah hanya menjadikan TKI sebagai komoditas eksploitasi. Semakin banyak TKI yang dikirim semakin banyak pula devisa yang didapat dan semakin banyak pula uang yang masuk ke kantong-kantong pribadi. Insiden penganiayaan, pemerasan, pemerkosaan bahkan pembunuhan yang di alami oleh TKI di anggap sebagai sebuah konsekuensi logis yang harus di terima dengan pasrah oleh para TKI.

Persoalan mengenai TKI ini sebenarnya mempunyai pengaruh besar terhadap dekadensi kredibilitas bangsa kita saat ini dimana pertama, kurangnya skill yang dimiliki para TKI menyebabkan TKI diposisikan hanya sebagai pembantu rumah tangga dan pekerja kasar. Kedua, ketidak seriusan pemerintah dalam menangani berbagai kasus kekerasan terhadap TKI di luar negeri mengakibatkan Indonesia dianggap sebagai Negara inferior di mata dunia karena tidak mampu melindungi warga negaranya. Dan ketiga, praktek penyimpangan oleh BNP2TKI bisa dinterpretasikan sebagai bentuk legalisasi tindak kekerasan terhadap TKI di luar negeri.

10. Kesadaran Pejabat Negara dalam melaporkan LHKPN

Mekanisme LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) dimaksudkan sebagai salah satu langkah pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi. Waluyo, Deputi Bidang Pencegahan KPK, menuturkan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Bidang Pencegahan KPK meliputi pendaftaran dan pemeriksaan terhadap Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) dan menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi sebagaimana di atur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang wewenang dan kewajiban KPK dimana salah satunya adalah dengan melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.

Disamping itu persoalan LHKPN juga sudah diatur dalam Undang-Undang No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Bersih KKN, dimana pasal-pasalnya memuat secara tegas mengenai kewajiban pejabat negara melaporkan kekayaannya ketika dilantik, sedang menjabat, dan ketika masa jabatannya berakhir, berikut sanksi administrasi dan pidana bagi yang melanggar.

Meskipun perangkat hukum sudah secara jelas mengatur betapa pentingnya LHKPN demi menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN namun masih saja banyak pejabat negara yang bandel dalam pelaporan LHKPN. Data KPK menyebutkan pejabat Negara yang sudah melapor adalah pejabat yudikatif 41%, pejabat legislatif 69,9%, pejabat eksekutif 66,9%, dan pejabat BUMN, BUMD 73%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa pejabat yudikatif termasuk lembaga yang kesadaran pejabatnya untuk melaporkan LHKPN terbilang rendah dibandingkan dengan lembaga negara lainnya. Rendahnya kesadaran pejabat yudikatif tersebut sangat kontradiktif dengan institusi dimana mereka bernaung. Lembaga yudikatif yang berfungsi sebagai motor penggerak penegakan hukum para pejabatnya justru kesadaran hukumnya tidak ada.

Secara umum, rendahnya kesadaran pejabat Negara dalam melaporkan LHKPN mengandung dua indikasi yaitu pertama, indikasi mereka telah melakukan tindak pidana korupsi semasa menjabat sehingga dengan pelaporan tersebut korupsi mereka akan ketahuan. Kedua, indikasi bahwa mereka benar-benar tidak sadar hukum (tipikal pembangkang). Yang jelas permasalahan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja dengan kata lain harus ada sanksi tegas bagi pejabat yang tidak mau melaporkan LHKPN. Perlu di ingat lagi bahwa ini semua dilakukan demi penciptaan penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN.

11. Persiapan Parpol Jelang Pemilu 2009

Pemilu 2009 masih dua tahun lagi namun partai politik sudah sibuk mempersiapkan strategi mengumpulkan resources untuk memenangkan pemilu 2009. Segala daya dan upaya dikerahkan baik itu melalui parlemen dengan bermain dalam pembahasan RUU Politik, politisasi penyikapan kasus guna meraih dukungan publik seperti kasus Lapindo, kasus kenaikan tariff tol ataupun di luar parlemen dengan cara menggalang dukungan massa dengan program-program kampanye terselubungnya, membangun konsolidasi internal partai dan membangun koalisi antar partai termasuk dengan mengusung figur-figur capres yang mempunyai daya jual tinggi.

Manuver-manuver politik partai jelang pemilu 2009 ini menjadi suatu hal yang wajar dalam konteks demokrasi secara prosedural namun secara substantif hal tersebut hanya merupakan bentuk pembodohan terhadap publik dimana masyarakat disuguhi janji-janji manis oleh para elit dan partai politik menjelang pemilu. Tetapi setelah pemilu usai janji-janji tersebut tidak di realisasikan karena yang terjadi adalah elit dan partai politik sibuk menghitung political costs yang telah mereka keluarkan semasa kampanye untuk didapatkan kembali sewaktu mereka berkuasa sedangkan masalah kepentingan rakyat, itu urusan belakangan karena yang penting bagi mereka adalah bagaimana caranya untuk memaksimalkan gain of politic.

C. SECURITY

SUMMARY

Perguliran pertahanan keamanan pada akhir bulan Agustus masih pada sekitar tindak lanjut kerjasama pertahanan keamanan RI-Jerman yang draft perjanjiannya sedang dipelajari oleh DPR selain itu perjanjian pertahanan RI-Selandia baru semakin menguat setelah Dephan dikunjungi oleh Menteri Pertahanan dan Menteri Perdagangan dari Selandia Baru untuk menjalin kerjasama pertahanan dalam penangan bencanan alam seperti Tzunami di Aceh karena TNI dinilai sukses dalam penaganan bencana Tzunami oleh Selandia Baru. Dinamika keamanan kawasan di pertemuan ASEAN akan ada sebuah program dimana dibentuk suatu rehabilitasi untuk pelaku terorisme dimana nanti akan diperoleh sebab dan faktor dibalik aksi teror. Lemhamnas pun akan melakukan hal yang sama akan melakukan kajian strategis terhadap permasalahan terorisme di Indonesia disisi lain Menhan akan mencoba untuk mengaktifkan kembali pendidikan bela negara melihat dinamika kaum muda yang dinilai semakin kurang kecintaan dan pemahamannya tentang NKRI dan Dephan akan membangun sebuah Skuadron tempur di Biak Papua dalam upaya peningkatan patroli wilayah perbatasan yang mana peralatannya menjalin kerjasama dengan Rusia yang nanti presiden Rusia berkunjung ke Indonesia. sikap juwono yang menolak dilakukannya pemekaran kodam yang dinilai akan memboroskan akan mewarnai isu keamanan minggu ini sebuah dinamika penguatan keamanan yang melemah dan kelambatan pembenahan sistim pertahanan selalu dikaitkan dengan minimnya anggaran negara. Jika kita melihat kejadian seperti terbunuhnya TKI di Malaysia dan Arab Saudi serta aksi kekerasan pada proses pemilihan Gubernur Aceh Tenggara dimana massa melampiaskan kekesalan dengan cara membakar madrasah sangat ironis sekali kenapa fasilitas untuk mencerdaskan anak bangsa ini harus dijadikan korban laagi-lagi aparat keamanan di Aceh tidak bisa melindungi saranan pendidikan publik yang strategis ini justru Marsekal Joko Santoso sang Panglima TNI malah ditakuti dengan akan adanya sebuah usaha sistimatis oleh pihak asing yang akan merusak keutuhan dan kedaulatan NKRI pada wilayah perbatsan dilain pihak keamanan dan perlindungan terhadap warga negara semakin melemah dan tragedi konflik didalam masyarakat semakin tidak bisa dikontrol dan dikendalkan oleh aparat keamanan ditambah permasalahan pembalakan liar di Riau yang cukup besar merugikan negara tidak bisa dikontrol dan dijangkau pihak TNI hutan kita semakin gundul dan banyak kayu yang diekspor keluar hanya untuk memenuhi keuntungan pihak cukong dan kapitalis lokal. Kalau situasi keaman bertambah hari semakin buruk buat apa dilakukan kerjasama pertahanan keamanan jika yang seharusnya diamankan semakin tidak kondusif untuk aman dan masyarakat semakin resah dalam ketidak pastian. Sebenarnya apakah yang terjadi dibalik motivasi kerjasama pertahanan keamanan Indonesia dengan negara-negara maju ini apakah dengan iklas pihak yang berkerjasama memberikan dukungan atau ada agenda lain dibalik kerjasama ini, bila ditilik dari konsesi antara perjanjian pertahanan RI-Rusia dimana pihak Indonesia melakukan barter energi dengan senjata untuk mensiasati keterbatasan anggaran. Apakah ini hanya sebuah strategi Dephan dalam menutupi kekurangan anggaran disebuah kebutuhan yang cukup mendesak untuk membenahi pertahan keamanan domestik atau memang ada motivasi agenda terselubung dari pihak Asing untuk menguasai Sumber Daya Alam Indonesia yang masih sangat kaya raya melimpah ruah dan mengiyurkan untuk dikeruk seperti apa yang terjadi di Freeport dan Cepo yang telah terkeruk oleh Asing. Memprihatinkan dan ironis pertahanan keamanan Indonesia yang tidak lagi memperhatikan keamanan domestik sebagai prioritas utama padahal aksi-aksi penculikan semakin marak, perlindungan keselamatan TKI yang dikesampingkan dan konflik lokal yang tak terkontrol memunculkan fakta bahwa aparat keamanan dipemerntahan SBY-JK tidak berfungsi dengan baik justru malah mempersibuk dengan permasalah hak politik TNI dan POLRI dalam pemilu 2009. Artinya rezim sekarang tidak konsisten dan sungguh-sungguh melakukan reformasi dalam tubuh TNI dalam memaksimalkan keamanan domestik. Kalau situasi seperti ini dipertahankan terus-menerus akan berpotensi makin maraknya konflik lokal disebuah dinamikan pilkada dan penanganan keamanan semakin buruk menuju Pilres 2009 karena keseriusan aparat keamanan dalam melindungi warga negara tidak menjadi prioritas karena elit dari petingi-petinggi TNI dan POLRI lebih memikirkan hal-hal politis untuk kekuasaan jangka pendek sedangkan faktor yang sangat fundamen dibangun dalam bangsa dan negara ini untuk menjaga keutuhan NKRI dikesampingkan atau memang ini kesengajaan dari skenario pihak aparat keamanan yang membiarkan potensi konflik meletus dan nanti aparat muncul seolah-olah sebagai pahlawan bertopeng dalam situasi kekacauan dan kerusuhan mencapai pada titik klimaknya didalam masyarakat dan keutuhan kedaulatan Indonesia Raya retak tak terbingkaikan NKRI.

RECENT SECURITY DEVELOPMENT

1. Kerjasama Pertahanan RI-Rusia

Salah satu perjanjian pertahanan RI-Rusia adalah bantuan sejumlah Radar yang akan dipasang di Biak Papua untuk memperkuat peralatan pertahanan RI dalam melindungi dan mengontrol wilayah timur perbatasan pulau-pulau terluar Indonesia. TNI yang hanya memiliki 2 buah radar diwilayah timur Indonesia kiranya masih sangat kurang untuk memantau pulau-pulau terluar yang selama ini rentan aksi pencuriaan sumber daya alam oleh pihak tertentu terlebih diwilayah perbatasan kerap sekali terjadi pencurian kekayaan lautnya pada wilayah perairan perbatasan. Rencana kunjungan presiden Rusia Vladimir Putin ke Indonesia khusus pada kerjasama pertahanan keamanan berupa kerjasama perlengkapan peralatan militer seperti yang diterima angkatan darat ialah pembelian 10 unit Mi-17-V5 transport helikopter (2007-2009), paket perlengkapan untuk heli Mi-17-V5 (2007), 5 unit heli angkut-serbu Mi-35P (attack-tranport helicopter, 2007-2009), paket perlengkapan militer dan amunisi heli Mi-35P (2007). Untuk TNI-AL, RI memesan dua unit kapal selam Kilo Class Submarines Project 636, 20 unit tank ampibi BMP-3F Combat Infrantry (2007-2010), dan dua kapal ship-borne Yakhont Missile complex with antiship missile and fire-control system (2008-2009). Selanjutnya, persenjataan TNI-AU yang dibicarakan menyangkut pembelian enam unit Su-27 dan Su-30 MK2 SKM Multyrole Fighter Aircraft (2006), dan empat paket amunisi untuk skuadron Sukhoi.

Kemajuan teknologi dan modernisasi peralatan pertahanan membuat Indonesia harus mengimbangi dan mengejar ketertingalan peralatan militer dan pertahanan akan tetapi cukup relevankah semua itu melihat kondisi Indonesia berbeda dengan rusia konteks wilayah dan sumber daya manusia keprajuritan TNI apakah bisa mengimbangi kemajuan teknologi pertahanan militer Rusia atau tidak bisa mengoprasionalkan karena keterbatasan kemampuan SDM TNI akan modernisasi persenjataan seperti pengunanaan Radar yang berbeda jenis dan fungsinya yang sudah dimiliki TNI sekarang dalam hal pengoperasian seharusnya prajurit kita mampu jangan sampai yang mengoprasionalkannya memakai parajurit Rusia. Gencarnya beberapa kerjasama pertahanan seperti kemarin Dephan menerima kunjungan Menhan dan Menperdag Selandia Baru dalam kerjasama pertahanan penangan bencana alam Tsunami. Indikasi Indonesia keluar dari ketergantungan dan dominasi kerjasama pertahanan yang selama ini bergantung kepada AS hingga 65% peralatan TNI dipasok dari negeri paman sam kini mulai mengurai dominasi monopoli kerjasama pertahanan AS. Kerjasama pertahanan RI pada dasarnya harus ditingkatkan dengan sangat maksimal apalagi dengan Rusia agar ketergantungan dan dominasi yang selama ini terikat pada AS dapat dilepas sehingga pencitraan kebebasan jalinan kerjasama Indonesia semakin terlihat politik luar negerinya yang bebas aktif terbuka kepada negara manapun termasuk Rusia yang sangat potensial untuk dipelajari kemodernisasian teknologi pertahanan keamanannya. Keselarasan kemajuan militer Indonesia sangat tergantung pada alokasi anggaran untuk jalinan inipun Indonesia harus membarter dengan sumber energi dalam menutupi angaran yang minim. Indonesia harus lari ektracepat untuk mengejar ketertinggalan pertahananan militernya kalau tidak diimbangi dengan peralatan yang muktakhir keamanan NKRI khususnya diwilayah perairan perbatasan dan pulau terluar akan semakin terkeruk oleh peronpak asing dan berpotensial lepasnya pulau-pulau terluas oleh negara tetangga yang selama ini mengincar dan selalu memantaunya pasangkudada untuk mengusasi pulau-pulau terluar wilayah timur yang oleh militer Indonesia jarang sekali dikontrol karena keterbatasan radar dan pesawat intai udara dan laut. Alutista Indonesia yang sudah kuno sampai sekarangpun masih dipakai bahkan ada yang usianya setua nenekmoyang saya mustahil mampu menjaga keutuhan wilayah dengan optimal oleh karenanya kerjasama dengan Rusia militer Indonesia harus tanggap cerdas dan kreatif memanfaatkan kecangihan teknologi sebagai multifungsi efek sealain untuk mengoptimalkan keamanan wilayah perbatasan tetapi juga melakukan pemberdayaan masyarakat wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar yang kerap terjadi penyelundupan dan pencurian, bagaimanapun pemcegahan secara konvensional antara TNI dan masyarakat harus selalu ditingkatkan disebuah kerjasama yang moderen karena faktor dukungan masyarakat dalam menciptakan semangat kecintaan terhadap NKRI sangat diperlukan. TNI tidak dapat berkembang maju tanpa dukungan masyarakat palagi selama ini bau baju loreng TNI telah memubculkan image yang tidak baik semasa ordebaru. Komitmen RI-Rusia dalam kerjasama pertahan tidak lepas dari kepentingan ekonomi Rusia yang sedang menanjak cukup tajam dan antusiasme pengusaha Rusia untuk menjalin hubungan investasi bisnis di Indonesia jangan sampai kerjasama ini hanya untuk pegang senjata saja tapi juga harus mengasah profesionalisme prajurit TNI sejajar kemampuannya dengan prajurit negara beruang merah ini. Membangun profesionalisme prajurit, mentalitas yang kuat dan sensifitas terhadap permasalahan keamanan domestik harus beriringan dengan kerjasama kemodernisasian teknologi bagaimanapun juga TNI tidak hanya diisi pelor otaknya tapi perlu diimbangi dengan kesadaran pemberdayaan masyarakat daerah-daerah terpencil dan tertinggal terutaman pada wilayah perbatasan dan pulau terluar yang masih kurang tercerdaskan serta terberdayakan potensi sumberdaya alamnya dan sumber daya manusianya sehingga minimnya anggaran dapat ditutupi dengan pemberdayaan masyarakat lokal pulau terluar perbatasan dengan kesadaran pentinggya menguatkan kedaulatan NKRI karena konflik yang sering diwilayah perbatasan ataupun pencurian perampokan diperairan terluar karena kurang terbangunya kesadaran masyarakat tertinggal jangan sampai nanti dengan kemajuan teknologi pertahanan keamanan dengan senjata yang modern tetapi permaslahan fundamen kenapa munculnya pencurian dan penyelundupan tidak dipecahnya secara substansi yang terjadi senjata hanya dipakai untuk menembaki manusia tapi tidak untuk memberdayakan manusia dan potensi ekonomi dan kekayaaan lokal. Kecangihan teknologi hasil kerjasama pertahanan keamanan harus digunakan untuk kemaslahatan umat dan keutuhan kedaulatan NKRI bukan untuk pasang peluru tantang manusia apalagi bantai rakyat sendiri yang melakukan aksi-aksi pencurian ataupun kejahatan lain karena faktor ekonomi akibat dari kemiskina dan penganguran yang tak teratasi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

2. Ancaman Asing Terhadap Kedaulatan NKRI

Apakah benar kekwatiran Joko Susanto bahwa ada skenario sistematis kekuatan luar untuk merusak NKRI atau hanya ketakutan Panglima TNI saja. Patut dicurigai kiranya ketika akhir-akhir ini marak munculnya nuansa separatisme di daerah seperti Aceh, Ambon, Papua dan daerah yang berpotensi tumbuh suburnya gerakan separatis apalagi kekuatan asing kerap ada dibalik gerakan ini untuk kepentingan menguasai sumber daya alam Indonesia yang berlimpah. Separatisme menjadi konsekwensi logis dari sebuah arus global kapitalisme negara dalam mengekspansi impreialisme yang tak mengenal batas teritorial negara. Kepentingan asing dibalik gerakan separatisme memang sering diprediksi oleh beberapa pihak mendalangi aksi-aksi gerakan kemerdekaan untuk referendum seperti di Aceh dan Papua dimana penguasan aset bangsa ini menjadi target penguasaannya dengan memanfaatkan masyarakat lokal yang selalu dilanda kemiskinan dan kelaparan dampak dari kebijakan pemerintah yang tidak sampai kemasyarakat lokal disuburkan oleh kepentingan luar untuk menciptakan konflik melalu sentimental SARA yang sangat manjur dihembuskan sebagai benih konflik sosial atau melalui aksi-aksi kekerasan guna mengacaukan stabilitas keamanan domestik berupa ledakan bom dan terror kekerasan yang sangat menguatirkan keamanan masuarakat. Pantas jika ada sebuah skenario asing secara sistimatis berusaha untuk memecah belah NKRI menjadi negara federal tetapi apakah kekwatiran ini sudah diantisipasi dengan baik oleh TNI melihat dari beberapa konflik lokal pihak keamanan selalu gagal mengantisifasi dan mengontrol potensi konflik justru yang terjadi terkadang pihak aparat keamanan memacu munculnya konflik lokal agar ada sebuah situasi yang kacau dan anggaran untuk pengamanpun dialokasikan disini terkadan politik ekonomi militer terkadang bermain untuk mendapatkan keuntungan dari situasi konflik yang pragmatis dengan menorbankan masyarakat Indonesia yang terkenal dengan toleransi dan ramah tamahnya. Kecerdasan seorang panglima TNI seharusnya tidak mengeluarkan statement yang meresahkan dan memicu timbulnya gerakan anti terhadap NKRI. Sangat disanyangkan kalau kalau militer Indonesia hanya bertindak saat konflik terjadi tetapi tidak berupaya untuk mengobati bibit-bibit munculnya konflik kekerasan lokal yang memicu separatisme disini logika gerak aparat keamanan kita harus dirubah dengan lebih bertindak progressive dalam melihat keutuhan dan kedaulatan NKRI karena sebagai institusi negara yang mempunyai kapasitas untuk menghadang serangan pihak asing yang ingin menghancurkan NKRI maka aparat keamanan seharusnya bisa bertindak kongkrit langsung bertindak tegas jika memang ada pihak luar yang mengancam kedaulatan NKRI jangan memunculkan isu yang memperkeruh konlik lokal yang marak akibat kebutuhan hidup masyarakat yang semakin mahal dan langka menjelang puasa, lebaran dan natal dalam sebuah kebijakan pemerintah selalu menaikkan harga dan memberatkan hidup masyarakat yang ini menjadi sebuah faktor utama yaitu kemiskinan dan penganguran sebagai bibit separatisme yang negara sendiri melahirkannya ketika konflik lokal bergejolak justru pihak aparat tidak bisa berbuat bijak dan arif yang terjadi bersikap reaksioner memperkeruh konflik dengan tindakan yang tercela dengan senjata yang bicara tidak lagi mengunakan akal sehat dan nurani kebangsaan dalam melestarikan keutuhan bangsa dan negara dalam mensejahterakan dan melindungi masyarakatnya disebuah bingkai NKRI yang arief.

3. Kekerasan Pilkada Aceh Tenggara

Konflik kekerasan masih saja terjadi bahkan makin marak dipilkada ketika calon yang bersangkutan tidak terpilih atau kecurangan yang dilakukan oleh pemerintahan daerah yang tidak adil dalam menjalankan roda demokrasi lokal sebagai bentuk kekecewaan massa sering meluapkan dalam bentuk aksi kekerasan dan terror seperti yang terjadi di Aceh Tenggara luapan emosi masyarakat diprovokasi dengan pembakaran madrasah dan aksi terror pelemparan granat nanas ke rumah salah satu pejabat pemda. Jika konflik kekerasan politik telah mengarah pada tindakan perusakan fasilitas public apalagi merusak sarana pendidikan terkadang tidak waras cara berdemokrasi masyarakat Indonesia dimana madrasah tempat pencerdasaan anak bangsa yang seharusnya dijaga dan dilestarikan justru dibakar akibat korban politik yang tidak beradab. Keamanan sewaktu berlangsungnya pilkada dimana aparat keamanan selalu menjaga berlangsungnya proses demokrasi lokal yang rentan konflik SARA seperti Aceh kenapa tidak bisa diatasi dan selalu berulang terus menerus seakan-akan menjadi hal yang biasa dengan aksi bakar membakar dan tembak menembak lempar melempar geranat tanpa ada kejelasan hukuman yang jelas untuk menjerakan pelaku kekerasan dengan cepat justru terlihat semakin brutal dan tidak memakai akal sehat. Dampak dari desentralisasi jika tidak diimbangi dengan intensitas keamanan yang maasif semakin memicu aksi kekerasan yang menguat disebuah realitas lokal yang belum dewasa dan matang menerima demokrasi dan berpolitik. Kenapa pihak keamanan tidak bisa mengantisipasi keadaan lokal yang sensitive konflik dengan pengerahan aparat keamanan yang tanggap mengantisipasi potensi konflik yang akan muncul dimana aparat keamanan bisa melebur menjadi satu rasa dalam menjaga keamanan domestik tidak menjadi musuh masyarakat yang ditakuti kebutuhan rasa aman masyarakat saat berlangsungnya proses pilkada seharusnya makin dioptimalkan melihat pontensi kekerasan gejolak politik lokal sangat tinggi dan sangat mudah terbakar dalam sebuah kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi yang sangat mentah dan sudah menjadi keharusan aparat keamanan seharusnya memperhatikan khusus faktor-faktor yang mampu memicu konflik bukannya bersikap pasif dan justru memicu konflik dengan sikap yang reaksioner memicu memperkeruh konflik dengan penanganan konflik mengunakan cara-cara represif dengan kekerasan yang tidak memperhituingkan dampak yang lebih luas dan sangat konyol jika aparat keamanan jutru membiarkan benih-benih konflik ini menyala dan membiarkannya saja atau memang ada kesengajaan dari beberapa kekerasan di Aceh bahwa pihak aparat ikut bermain dalam menciptakan konflik sehingga keamanan dan kedaiman diaceh berlarut-larut tidak pasti kapan akan damai dan makmur sejahtera masyarakatnya.

4. Pemekaran kodam pemborosan anggaran keamanan

Otonomi khusus memaksa akan diberlakukannya pemekaran kodam apakah ini cukup efisien dan perlu dilakukan untuk mengintensifkan keamanan saat berjalannya otonomi khusus dan pemekaran wilayah jika melihat dinamika demokrasi politik lokal yang belum berjalan baik maka sangat dibutuhkan sekali penguatan keamanan daerah ditempat otonomi khusus dilaksanakan karena persingungan politik lebih rentan ditingkat lokal memunculkan dampak kekerasan konflik dimana elit politk lokal belum matang dan bijaksana berdemokrasi dalam mengelola aspirasi masyarakat lokalit yang unik. Akan tetapi apa yang seperti terjadi didaerah Papua dimana pemekaran kodam yang direncanakan oleh TNI dinilai tidak perlu karena akan memboroskan anggaran negara dengan minimnya keterbatasan devisa sehingga alokasi untuk pertahanan keamanan diminimalisasi sehingga cukup logis apabila Dephan tidak melalukan pemekaran kodam pada perimbangan otonomi khusus kalau pemekaran harus dengan pembangunan markas baru dan teknis operasional keamanan. Maksimalisasi fungsi aparat keamanan khususnya didaerah rentan konflik seperti Papua sudah sewajarnya aparat keamanan berperan ektra aktif mengamankan roda demokrasi dalam mengamankan jalannya otonomi khusus jika pengamanan wilayah diukur dengan cara pemekaran kodam dan tidak mengfungsikan perangkat-perangkat keamanan lokal maka akan memakan biaya banyak jika harus memekarkan kodam karena fungsi kodam dapat dioptimalkan dengan strategis tanpa harus melakukan pemekaran yang seharusnya ada perluasan koordinasi keamanan ditingkat lokal yang selama ini tidak berjalan baik dengan cara intensitas keamanan ditingkatkan untuk bersinergis dengan masyarakat lokal dalam membangun kesadaran berbangsa dan bernegara yang bijak dalam dinamika otonomi khusus sehingga paling tidak aparat keamanan dan pemerintahan lokal mampu membangun kesadaran akan tujuan kenapa harus dilakukannya otonomi khusus sehingga tidak dimanfaatkan untuk mencari kekuasaaan atau kepentingan kelompok yang berorientasi tidak untuk kemakmuran dan pemberdayaan masyarakat dengan potensi ekonomi kekayaan sumber daya alam dan pencerdasan masyarakat lokal. Otonomi khusus yang muncul karena pemerintahan pusat tidak peduli dalam memberdayakan potensi lokal berdampak pada gejolak politik dan gejolak perlawanan masyarakat dalam menuntut hak-haknya yang semestinya dirasakan tetapi diselewengkan maka keluarlah kebijakan khusus dalam upaya memberdayakan masyarakat. Pemerintah seharusnya memperhatikan guliran jalannya otonomi khusus lebih serius sebab potensi konfliknya cukup tinggi dan sangat mudah untuk diprovokasi disini peran aparat keamanan semestinya bertindak lebih progresif dan strategis tidak harus adanya pemekaran kodam yang menghabiskan anggaran negara tetapi dengan memberdayakan nilai-nilai kearifan lokal dalam berdemokrasi sehingga masyarakat sadar berdemokrasi dan mampu dengan sendirinya mencegah terjadinya pertikaian konflik politik menjadi konflik kekerasan, sehinga masyarakat sadar dengan sendirinya dan dewasa dalam berdemokrasi. Pola pengamanan masyarakat pada realitas otonomi khususpun harus khusus berbeda dengan pengamanan seperti wilayah lainnya karena dibutuhkan cara-cara yang lebih halus bijaksanan dan penuh kearifan dalam menciptakan keamanan masyarakat yang tadinya harus dikondisikan dengan pasukan dan persenjataan yang maasif maka pada otonomi khusus dengan pendidikan dan pengsosialisasikan funsi dan tujuan kenapa harus dilakukan otonomi khusus sehingga apa yang dicita-citakan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat adat tidak hanya memperkaya elitnya saja dan aparat keamanan mampu mengotimalkan fungsi senjata dalam mencegah kepentingan asing yang coba masuk mengambil keuntungan dari otonomi khusus yang hanya mengorbankan masyarakat dan mengeruk kekayaan alamnya saja seperti di Papua.

5. Program rehabilitasi untuk terorisme di ASEAN

Rehabilisasi terorisme yang akan menjadi program di ASEAN apakah cukup efektif menangani permasalahan terorisme di Asia seperti di Indonesia saja pelaku teroris sangat sulit direhabilitasi untuk total tidak melakukan terorisme. Rencana kerjasama penanganan terorisme di ASEAN guna mengetahui sebab dan motivasi kenapa pelaku melakukan aksi terror apakah cukup masuk diakal kalau seorang pelaku terror akan berhenti melakukan terror setelah direhabilitasi atau justru dalam proses rehabilitasi dimana nanti berkumpulnya pelaku terror ini semakin termotivasi kuat untuk semakin menyebarkan paham terorisme karena menjadi sebuah komunitas berkumpul pelaku terror se ASEAN. Teroris yang dipenjara di Indonesia saja belum sepenuhnya menyesal akan tindakanya justru yang terjadi bangga melakukan peledakan bom. Apakah rehabilitasi ini mampu mengurangi dan mengentikan pelaku terror ini untuk tidak melakukan aksi-aksi terorisme lagi yang mana pelaku terror sangat kental dengan ideologisasi gerakannya dan sulit untuk disembuhkan. Kekwatiran negara-negara dalam ASEAN melihat dinamika terorisme yang terjadi di Asia maupun di Indonesia menjadi cukup alasan kenapa rehabilitasi diprogramkan untuk mencegah aksi-aksi terror. Kesepakatan bersama menteri-menteri luar negeri ASEAN untuk melaksanakan rehabilitasi terorisme seharusnya dijalin secara sistimatis dan mendasar jangan hanya yang sifatnya lunak dalam menangani terorisme. Harus ada kerjasama pengamanan atas terorisme yang terkoordinasi dengan matang dan sistematik bukannya justru saling merugikan dan memojokkan negara-negara yang marak aksi-aksi terorismenya seperti aksi terror di Indonesia yang disikapi sentimental bahwa Islam di Indonesia dan masyarakat Indonesia adalah teroris dan pemerintahannya gagal tidak bisa menangani permasalahan terorisme sehingga mengundang negara-negara ASEAN untuk melakukan bantuan kerjasama pengamanan dalam penanganan terorisme. Rehabilitasi pelaku terror apakah cukup efektif dan mampu menangani terorisme atau justru sebagai sarana untuk mendiskriminasikan negara yang terbanyak terorismenya atau justru sebagai legitimasi bahwa islam adalah sumber terorisme karena negara-negara dan pelaku terror ini adalah mayoritas Islam.

6. Pembalakan liar di Riau

Dampak dari pembalakan hutan yang terjadi di Riau mengakibatkan kerugian negara yang besar dan tindakan pihak kepolisian yang menyita alat berat pengusaha lokal mengancam PHK besar-besaran industri Pulp di Riau karena sengketa hutan yang tidak jelas landasan izin hukumnya apakah legal atau terlarang untuk dibalak. Maraknya pembalakan hutan di Riau tanpa izin sudah semestinya ditindak tegas tetapi sangat ironis jika surat izin bagi pengusaha dalam status sengketa legalitas yang ditidak jelas dan mengancam PHK besar-besaran perusahaan karena mensin produksinya disita polisi tidak benar juga tindakan seperti ini sangat merugikan pihak yang terancam PHK kehilangan penghasilan untuk hidup. Kayu hutan dari pembalakan ironisnya diselundupkan ke Malaysia yang harga jualnya lebih tinggi dibandingkan digunakan untuk keperluan domestik yang sangat kekurangan bahan baku untuk kertas dan industri lainnya yang mengunakan bahan mentah kayu. Pelaku pembalakan liar sepertinya harus ditindak tegas oleh pemerintah karena Illegal logging tetapi karena penegakan hukum di Indonesia yang lemah tentang lingkungan akibatnya memicu memarakkan aksi-aksi pembalakan liar di Riau. Patut menjadi pertanyaan besar kemana fungsi aparat keamanan selama ini sehingga aksi-aksi pembalakan hutan ini marak terjadi apakah aparat keamanan tidak bertindak cukup tegas dan aktif dalam menangani pembalakan hutan dan penyelundupan kayunya ke Malaysia atau justru aparat keaman bermain dibalik pembalakan hutan dan penyelundupan di Riau karena bagaimanpun juga akses dan monitoring aparat keamanan mampu mendeteksi aksi-aksi pembalakan semacam ini tetapi tidak tegas dan bersifat lembek bahkan membiarkannya dengan banyaknya oknum aparat keamanan yang ikut bermain dibalik keuntungan pragmatis pembalakan dan penyelundupan. Kekuatan hukum yang lemah dalam melindungi kekayaan hutan dan lemahnya ketegasan aparat keamanan dalam menindak pelaku pembalakan akan memicu makin banyaknya pelaku pembalakan di Riau kalau tidak ada keseriusan dan komitmen yang kuat untuk benar-benar memberantas aksi illegal logging ini. Ketegasan hukum dan keberanian aparat keamanan sangat menentukan dalam memberantas aksi-aksi pembalakan hutan dan penyelundupan hasil kayunya ke Malaysia yang telah merugikan Negara milyaran rupiah atau malah semakin marak karena hasil dari pembalakan sangat mengiurkan pelaku dan apalagi oknum aparat yang sangat minim gajinya untuk kesejahteraan hidupnya akan lebih terjamin dengan melindungi pembalak liar dengan mendapatkan uang berlimpah mengadaikan tugas pengamanan aset strategis negara hanya untuk kepentingan jangka pendek pribadi melacurkan jabatannya dan mengabdikan diri kepada cukong.

D. 10 Rangking Isu Periode 26-31 Agustus 2007

1. Komersialisasi di tengah keterpurukan sektor pendidikan Indonesia

2. Penurunan cadangan devisa untuk intervensi rupiah

3. Ketegangan RI - Malaysia

4. Kenaikan tariff tol dan privatisasi Jasa Marga

5. Kontroversi figur Mendagri baru

6. Manuver politik jelang pemilu 2009

7. Rancangan Undang-Undang Politik

8. Kerjasama RI -Rusia

9. Alutsista TNI dan pengamanan Pulau Terluar

10. Stabilisasi harga kebutuhan pokok

Jakarta, 01 September 2007

M. Danial Nafis

Director Executive of INSIDé

Tidak ada komentar: